Ads
Muzakarah

Yang Dua Pahala dan yang Satu

Tetapi mengapa terdapat perbedaan yang begitu “heboh”? Pertama karena perbedaan pengertian kata “jamak” (jam’): Tiga, empat, ataukah dua; dan apakah imam termasuk di situ. Kedua, apakah praktek Nabi s.a.w. dalam salat Jum’at (dalam jamaah besar, di masjid jami’, di sebuah kota, yakni Madinah) dapat dijadikan argumen untuk menetapkan wajibnya penyelenggaraan Jumat persis seperti itu (Lihat Ibn Rusyd, 159).

Untuk masalah argumen, sebenarnya terdapat satu hadis yang bersumber dari Jabir r.a., diriwayatkan Al-Baihaqi. Kata Jabir, “Yang berlaku dalam sunnah ialah bahwa dalam setiap jumlah 40 ke atas terdapat Jumat.” Ini menjadi alasan pengarang Kifayatul Akhyar. Katanya, ucapan seorang sahabat “yang berlaku dalam sunnah” sama artinya dengan sabda Nabi s.a.w. Tetapi ia juga mengutip kata-kata Baihaqi sendiri, periwayat terakhir: “Hadis Jabir tidak dapat dijadikan argumen.”

Sedangkan sebuah hadis yang disahihkan Ibn Hibban, Baihaqi, dan Al-Hakim mengantarkan penuturan Ka’b ibn Malik: “Orang pertama yang (mengimami) salat Jumat bersama kami di Baqi’il Khudmat adalah As’ad ibn Zurarah. Kami berjumlah empat puluh.” Menurut jalan pikiran Kifayatul Akhyar: Bilangan 40 adalah jumlah minimal yang pernah dituturkan. Nabi sendiri berjumat di Madinah dan tidak ada riwayat beliau melakukannya bersama kurang dari 40 orang. “Karena itu, siapa yang mempromosikan jumlah di bawah 40, harus mengemukakan dalil” (Ad-Dimasyqi, Kifayatul Akhyar, I, 147-148).

Sayangnya, bagi yang tidak setuju, dua riwayat di atas bukan dalil. Hanya informasi. Sayyid Sabiq, misalnya, bersandar pada hadis lain, dan ini adalah sabda Nabi s.a.w: “Dua orang ke atas adalah jamaah,” mengutip Syaukani: “Segala jenis salat menjadi salat jamaah jika dilakukan dua orang, berdasarkan ijmak. Sedangkan Jumat adalah satu jenis salat; ia tidak menjadi khusus dengan hukum yang berbeda dari yang lain, kecuali dengan dalil. Dan dalil itu tidak ada.”

Syaukani, ulama besar Syi’ah Zaidiyah (bukan Syiah Iran) itu, juga mengutip Abdul Haqq yang seperti juga Imam Suyuthi, menyatakan tidak adanya sebuah hadis yang menetapkan jumlah jamaah Jumat. (Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, I, 257).

Demikianlah, Saudara Fadil. Seperti kata fakih dan filosof dari Cordoba, Ibn Rusyd: Pembicaraan ini sudah menjadi (terlalu) mendalam di bab ini. Padahal agama Allah itu mudah. Boleh saja orang berkata: Sekiranya semua (jumlah-jumlah) itu memang syarat sahnya salat (Jumat), tidak boleh Nabi s.a.w. tidak menerangkannya, berdasarkan firman Allah, “agar engkau (Muhammad) menerangkan kepada khalayak apa yang diturunkan kepada mereka” (QS.16: 44); dan “agar engkau menerangkan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan” (QS.16: 64). (Bidayatul Mujtahid, 1,160). Hanya saja, perselisihan yang dimaksudkan ayat terakhir itu menyangkut kebenaran (antar) agama. Sedangkan ini sekadar perbedaan kesimpulan yang seperti dikatakan hadis, hanya berbeda derajat: Yang mana mendapat dua pahala, dan yang mana hanya menjadi satu.

Edisi 004 – 11 Maret 2019 (PANJI No. 06 Tahun 1 – 26 Mei 1997)

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading