Saudara Hafidz Hamzah, dari Bekasi, terperangah ketika mendapati khatib Jumat di Masjid As-Syafi’iyah hanya memakai bahasa Arab. Ia berusaha mendengarkan seluruh khutbah, meski tidak mengerti. Ibarat makan, ia merasa terpaksa mengunyah makanan yang dia tidak tahu rasanya. Hal itu, pada akhir khutbah, menimbulkan sesal di hatinya. Ia merasa rugi. “Orang seperti saya, yang bekerja, dari pagi sampai petang, sangat membutuhkan siraman rohani di antaranya dari khutbah katanya. Ternyata ia tidak sendiri. Banyak pula jamaah yang seperti dirinya: tidak mengerti isi khutbah. Tentu saja.
Jadi, ia bertanya, bolehkah khutbah Jumat di tengah masyarakat Indonesia, yang umumnya tidak paham bahasa Arab, menggunakan bahasa Arab? Atau memang begitukah yang seharusnya? Kalau itu memang wajib, bagaimana dengan para khatib lain yang memakai bahasa Indonesia, misalnya?
Jawaban Tim Muzakarah:
Kami ingin memulai jawaban kami, Saudara Hafidz, dengan terjemahan tiga ayat Qur’an dalam Surah Al-Ma’arij tentang sifat-sifat manusia. Begini: “Sungguh manusia diciptakan dengan sifat gelisah. Jika ditimpa kesulitan, ia berkeluh kesah. Jika mendapat kebaikan, bederma ia susah” (Q.S. 70:19-21) Berdasarkan ayat ini Syekh Ali Ahmad Al-Jurjawi menyimpulkan bahwa manusia itu pada dasarnya punya kecenderungan pada sesuatu yang buruk. “Kecuali mereka yang sembahyang, yang dalam sembahyang mereka itu kontinu”, disebutkan dalam dua ayat berikutnya. (Lihat Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuh, Juz I, hlm. 136).
Kecenderungan semacam itu mendapatkan lahannya yang kian subur dalam situasi kini, dengan karakter zaman yang serakah, yang menjauhkan manusia dari dirinya sendiri. Saudara Hafidz, misalnya, menyinggung soal ritme kerjanya yang berlangsung dari pagi hingga petang hari. Bisa jadi Anda salah seorang dari sekian banyak orang modern yang, ekstremnya, kalau tidak hati-hati, bisa merasa diri bagai mesin, atau seperti pendulum jam yang tidak tahu untuk apa ia bergerak ke kiri dan ke kanan.
Anda pun, Saudara Hafidz, bicara tentang siraman rohani. Itulah hal yang memang menjadi urgen sekarang ini. Dan agama dalam hal ini menempuh dua cara: dengan membidik akal, tetapi untuk tujuan yang bukan duniawi, dan dengan menyentuh hati. Cara pertama biasanya berlangsung melalui dakwah dalam pengertiannya yang harfiah, atau verbal, yakni mau’izhah, wejangan, nasihat. Cara kedua melalui amalan ibadah, zikir, dan semacamnya.
Khutbah Jumat, untuk bagiannya yang umumnya dianggap lebih penting, tergolong cara yang pertama. Persisnya mau’izhah atau wejangan. Toh ia tidak sama dengan kuliah atau ceramah ilmiah. Misalnya, tidak mesti ada sesuatu yang baru di situ. Mungkin isi khutbah sama saja dengan yang sudah disampaikan para khatib lain, atau dengan yang sudah Anda baca. Tetapi tidak apa. Mau’izhah memang mesti diulang-ulang bukan cuma karena manusia gampang lupa, tetapi juga agar yang dinasihatkan benar-benar masuk ke bawah sadar. Bukankah Al-Qur’an, sebagai kitab suci yang maksud utamanya memberi mau’izhah, mengulang-ulang topik-topiknya di banyak tempat, malah dengan ungkapan yang sering sama persis? Tentu, yang penting ialah cara penyampaiannya yang menyebabkan Al-Qur’an, misalnya, tidak membosankan. Demikian pula khutbah, mestinya.
Sebagai wejangan, khutbah tidak perlu panjang. Tidak dibutuhkan pemaparan argumen secara lihai, diperkuat dengan teori-teori. Yang penting: ada, tidak, bekasnya dalam hati? Di sini cara penyampaian itu sebenarnya berhubungan dengan figur si khatib. Kalau kita hendak berpegang pada karakter khutbah yang asli dari Nabi SAW dan para generasi pertama yang salih (salafush shalihin), seharusnya bukan kualifikasi kesarjanaan atau keilmuan yang diprioritaskan dalam memilih khatib. Tetapi kualitas moral, iman, dan wibawa atau kadar keterpercayaan si khatib di mata publik. Begitulah yang terjadi pada awal-awal sejarah Islam. Penyakit yang sedang berkembang di masyarakat mereka paparkan dalam khutbah singkatnya, bersama usaha penyampaian “obat” dengan cara yang menyentuh kalbu (Al-Jurjawi, 136-137).
Dari sisi pandang itu, khutbah memang selayaknya disampaikan dalam bahasa yang dimengerti jamaah. Nabi SAW selalu menggunakan bahasa Arab karena audiens yang dihadapi berbahasa Arab. Meski sebagian besar dari kita memegangi keyakinan bahwa khutbah ada lab pengganti dua rakaat salat zuhur, ia tidak bisa disamakan dengan salat yang mesti berbahasa Arab. Buktinya: topik khutbah bisa diganti-ganti, disesuaikan dengan situasi aktual. Artinya, ada faktor aktualitas sebagai komponen khutbah. Para jamaah tidak boleh bicara, agar pesan-pesan khutbah sampai kepada mereka.
Toh, diakui, ada nuansa ibadah di balik pelarangan bicara itu suasana seremonial yang hendak ditimbulkan. Khutbah, misalnya, dilakukan dua kali padahal sebenarnya satu kali pun mencukupi, kalau tujuannya hanya mau’izhah. Nuansa ibadah itu juga dipahami dari kedudukan khutbah menurut Umar dan Aisyah, r.a. Beliau itu berkata, “Salat (zuhur) dipangkas karena khutbah.” Hadis lain mengatakan, khutbah sama dengan separo salat (Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, II:282). Memang, itu pendapat para sahabat, bukan sabda Nabi. Orang bisa saja mengajukan pertimbangan: kalau khutbah pengganti dua rakaat salat (yang wajib dikerjakan), Iha mengapa orang, kalau ketinggalan khutbah (datang terlambat), tidak harus mengganti khutbah yang tak diikutinya itu dengan, misalnya, dua rakaat lagi?
Abu Hanifah tidak memandang khutbah sebagai pengganti salat. Berbeda dengan Malik dan Syafii. Toh, status khutbah yang satu ini tetap: ia ibadah murni (mahdhah) yang mengandung unsur aktual. Sebagai seremoni, ia punya syarat-rukun khusus. Dan berdasarkan hadis-hadis Nabi, urut-urutan khutbah lalu menjadi: hamdalah, selawat kepada Nabi, wasiat takwa, bacaan ayat Al-Qur’an di salah satu dari dua bagian khutbah, mau’izhah, dan doa buat kaum muslimin. Ini, menurut mazhab Syafi’i merupakan rukun, jadi tak boleh ditinggalkan. Wasiat takwa tidak selalu harus menggunakan kata takwa. Yang penting maksudnya sampai sebagai wejangan yang menggiring kepatuhan kepada Allah (Zuhaili, II:286).
Imam Malik bisa memberikan tambahan kesan bahwa wasiat itu pun sebenarnya “sekadar syarat seremonial”. Menurut Malik, wasiat itu cukup dengan kata-kata yang oleh orang Arab sudah bisa disebut khutbah meski cuma dua kalimat. Misalnya, “Bertakwalah kepada Allah, dengan mematuhi segala yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan segala yang Dia larang”. Selesai. Malahan Imam Abu Hanifah berpendapat, jika seorang khatib hanya mengucap hamdalah, tasbih atau tahlil (la ilaha illallah), itu cukup. Tanpa isi khutbah. Tambahan lagi, menurut mazhab Hanafi, kehadiran jamaah tidak wajib. Satu orang yang dikhutbahi sudah memadai. Sementara mazhab-mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali sebaliknya: mereka berpegang pada pengertian tentang hadirin yang umumnya bisa disebut jamaah, dengan segala variasinya (Panjimas, 23 Juni 1997). Mereka bahkan mensyaratkan diperkerasnya suara khatib, sehingga jamaah dalam jumlah tersebut mendengarnya (Zuhaili, II:282-290).
Tampaknya, Imam Abu Hanifah lebih memandang khutbah sebagai seremoni. Apa lagi ia juga mewajibkan kontinuitas antara kedua khutbah: tidak boleh terputus oleh hal-hal lain yang tidak berkaitan dengan khutbah. Toh, sebaliknya, ia membolehkan khutbah dengan bahasa Indonesia, misalnya, meski sang khatib mampu berbahasa Arab. Sementara itu Syafi’i, Hanbali, dan Maliki menyebut bahasa Arab sebagai syarat sahnya khutbah, kecuali bila khatibnya tidak bisa berbahasa Arab (Zuhaili, ibid.).
Itulah sebabnya, berbeda dengan pada masyarakat muslimin yang tidak berpegang pada mazhab, yang berkhutbah langsung dengan bahasa Indonesia (kecuali bacaan hamdalah, dan seterusnya, pada pembuka), di masjid-masjid yang lebih “tradisional” khutbah tetap dilaksanakan dengan bahasa Arab (kewajiban ritual), kemudian diterjemahkan (pertimbangan aktual). Tetapi Almarhum Prof. KH Taib Tahir Abdul Mu’in, waktu itu guru besar IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang tidak mengikatkan diri pada mazhab tertentu, termasuk yang mendukung pandangan tentang khutbah Jumat yang (hampir) murni ritual. Tidak perlu diterjemahkan.
Dalam pengamatan kami, cukup banyak masjid yang masih mempertahankan tradisi khutbah seperti yang terakhir itu tidak hanya di As-Syafi’iyah seperti yang dilihat Saudara Hafidz Hamzah. Memang agak repot, jadinya, kalau Anda mengandalkan semata-mata kepada khutbah untuk siraman rohani dalam bentuk santapan pikiran. Sebab, bagi mereka, khutbah bukan tempatnya. Malahan sebagian masjid, dan cukup banyak, yang bertujuan tetap memelihara “keaslian” khutbah tetapi juga ingin memenuhi kebutuhan jamaah dari jenis Saudara Hafidz, menyediakan waktu untuk ceramah singkat menjelang khutbah. Ini sebenarnya juga tidak pas dengan garis Nabi. Sebab, kita tiba-tiba teringat untuk bertanya: lho, lalu apa arti khutbah? Setidak-tidaknya, dua acara sekaligus itu tidak pernah dilakukan Nabi SAW. Tentu, mereka juga bisa mengatakan, toh tidak ada Jarangannya. Bisa dijawab lagi: tidak ada, karena tidak ada yang berbuat begitu pada masa Nabi.
Tetapi, yang agaknya perlu diulangi di sini: khutbah tidak bisa disamakan dengan ceramah. Tentang itu semua sepakat. Berbeda dengan ceramah, dalam khutbah, kadar dimensi ritual dan dimensi aktualnya barangkali fifty–fifty. Di kalangan muslimin yang berkhutbah hanya dalam bahasa Arab, khutbah dipahami sebagai ibadah mahdhah yang dirancang untuk menimbulkan efek-efek seperti layaknya ibadah mahdhah yang lain, yang memenuhi rasa keberagamaan yang menenteramkan. Dan itu, tentu saja, memelihara ketakwaan jamaah yang cocok dengan model ini. Barangkali juga karena mereka berada dalam lingkungan yang sudah “terlalu banyak” mendengarkan pengajian atau ceramah agama.
Nah, kalau Saudara Hafidz tidak termasuk anggota lingkungan seperti itu, toh Saudara bisa memilih. Ini hanya menyangkut masalah rincian yang tidak mengenai benar dan salah. Termasuk khutbah yang, selain untuk hamdalah dan seterusnya, dilakukan langsung dalam bahasa Indonesia atau daerah. Paling-paling, ini hanya menyangkut soal: mana yang “lebih sepantasnya”. Atau, mana yang lebih efektif. Tapi di situ juga orang mungkin berbeda-beda. Tidak apa. ■
Sumber: Panji Masyarakat, 28 Juli 1997