Pakaiannya, yang sudah kehilangan warna aslinya, tampak makin lusuh di waktu ia mengajar lantaran campuran keringat. Di malam hari dia mengarang, dengan hanya diterangi lampu minyak yang kecil. Alat penerang yang disebut misrayah ini, biasanya hanya dipakai mengantar orang mencari pintu keluar rumah. Badannya yang bungkuk berjalan seolah dunia sebuah kitab besar yang sedang asyik dia baca. Orang yang belum mengenalnya mungkin bisa tinggal satu malam di rumahnya tanpa memperhatikan bahwa dia seorang ulama yang menghasilkan puluhan karangan, dalam bahasa Arab, yang enak dibaca.
Istrinya konon lebih “duniawi”. Berkat usaha dagang wanita inilah tamu-tamu syekh ini mendapat hidangan yang baik, walaupun si mahaguru berbuat seolah berada di ruma orang lain. Dia memang tidak berbakat mencari uang. Walau ia menerima banyak hadiah, cara hidupnya terlalu sederhana, lebih-lebih untuk seorang yang diberi gelar Saiyid ulama’il Hijaz. Saiyid adalah penghulu alias pemuka, sedangkan Hijaz sekarang merupakan wilayah Saudi Arabia yang ke dalamnya termasuk antara lain Mekah dan Madinah.
Dari Pesantren ke Pesantren
Snouck Hurgronje
Siapakah orang besar yang dideskripsikan oleh Snouck Hurgronje dalam karyanya Mecca yang terkenal itu? Dia adalah Syekh Muhammad Nawawi. yang lebih dikenal orang Mekah sebagai Nawawi Al-Bantani, atau Nawawi Al-Jawi seperti yang tercantum dalam kitab-kitabnya. Dia lahir di Tanara, beberapa kilometer dari Kota Serang, pada tahun 1230 H atau 1815 M. Sebelum menuntut ilmu di Mekah dan kemudian menjadi ulama besar di sana sampai akhir hayatnya, beliau belajar di beberapa pesantren antara lain di Purwakarta, yaitu kepada Kiai Yusuf yang banyak santrinya dari seluruh Jawa. Sebelum itu, tentu saja Nawawi bersama dua sauadaranya yang lain Tamim dan Ahmad memperoleh pelajaran dari ayahnya sendiri Umar Ibnu Arabi. Dari sang ayahlah, yang juga penghulu setempat, Nawawi memperoleh pengetahuan dasar bahasa Arab, fikih, dan tafsir.
Adapun Snouck Hurgronje, dia adalah orientalis Belanda yang pernah tinggal di Mekah selama enam bulan itu, antara tahun 1884 dan 1885, masuk ke Tanah Suci dengan menggunakan nama H. Abdul Ghafar, alias dalam penyamaran. Banyak kontroversi di sekitar tokoh besar yang pernah menjadi penasehat pemerintah polemik apakah dia benar seorang Muslim atau sekadar izharul Islam, alias pura-pura sebagai Islam. Di sementara kalangan orang Banten, haruslah diakui, Snouck Hurgronje punya kedudukan yang cukup unik. Dialah yang mengantarkan dan sekaligus promotor utama Husein Djajadiningrat, orang Indonesia pertama yang meraih gelar “Doktor”, yakni dari Universitas Leijden di tahun 1913. Mecca karya Snouck Hurgronje yang cukup detail menggambarkan keadaan Mekah di abad ke-19 itu, termasuk kegiatan para ulama Nusantara yang bermukim di Mekah, diduga sebagian besarnya merupakan sumbangan dari Abu Bakar Djajadiningrat, yang tak lain adalah paman Husein. Sebagai tambahan, Husein adalah adik bupati Serang Ahmad Djajadiningrat, dan merupakan orang Indonesia pertama yang memperoleh pendidikan Barat di Batavia. Pangeran Achmad Djajadiningrat menulis buku kenang-kenangan, yang juga menceritakan pengalaman masa anak-anaknya semasa di pesantren.
Nawawi masih dalam usia remaja, sekitar 15 tahun, ketika dia dan saudara-sudaranya menunaikan ibadah haji, dan tinggal selama 3 tahun di Mekah untuk belajar. Setelah kembali ke Tanara dan meneruskan pengajaran ayahnya. Tapi rupanya kehidupan intelektual di Kota Suci itu rupanya terus mengiang-ngiang dalam diri si sulung ini, sehingga ia memohon kepada ayahnya untuk dikembalikan lagi ke Mekkah. Kabar lain menyebutkan kembalinya Nawawi ke Mekkah karena situasi politik di Tanah Air tidak begitu menguntungkan. Waktu itu di pemerintah kolonial Belanda semakin menancapkan kuku kekuasaannya di Tanah Jawa. Kiranya kedua-dua alasan mengenai kembalinya Nawawi ke Mekkah ini benar. Dan di kota inilah Syekh kemudian tinggal, kembali menekuni studinya, menorehkan karya-karyanya, sampai akhir hayatnya.