Ads
Muzakarah

Yang Dua Pahala dan yang Satu

Tetapi, Saudara Fadil, ibadah Jumat adalah satu subjek yang banyak sekali khilafiyah (kontroversi)-nya. Untuk segi jumlah jamaahnya saja, Ibn Hajar Al-Asqalani (Fathul Bari) mengemukakan tidak kurang dari 15 pendapat. Mulai dari yang minimal hanya satu orang (dinukil oleh Ibn Hazm; lihat Bughyah), satu orang bersama imam (Ath-Thabari, An-Nakha’i, Mazhab Zhahiri), dua orang di samping imam (Abu Yusuf, Muhammad Asy-Syaibani, Abu Nashr, dan dituturkan dari Al-Auza’i), tiga orang, tidak termasuk imam (Abu Hanifah, juga dituturkan dari Auza’i, Sufyan Ats-Tsauri, Al-Muzanni, Al-Laits), tujuh (dituturkan dari Ikrimah), sembilan (Rabi’ah), 12 (Al-Mutawalli, Al-Mawardi, Az-Zuhri, Muhammad ibn Al-Hasan), 13 (Ishaq ibn Rahawih), 20 (Imam Malik), 30 (juga dituturkan dari Malik), 40 termasuk imam (Syafi’i), 40 di luar imam (juga diriwayatkan dari Imam Syafi’i, di samping Ahmad ibn Hanbal dan Khalifah Umar ibn Abdil Aziz), 50 (riwayat lain dari Imam Ahmad), 80 (dituturkan oleh Mawardi), sampai kepada jumlah yang banyak, yang masyhur pada mazhab Maliki (lihat Bughyatul Mustarsyidin, 81; Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, I, 158-159).

Mengenai mereka yang menganggap salat Jumat cukup dikerjakan  satu orang (misalnya kalau tak ada orang lain), kalau nukilan tersebut persis, itu hanya bisa terjadi kalau mereka menilai khutbah hanya berhukum sunah tapi ini sebuah topik lain. Sudah tentu mereka menyalahi ijmak tentang mutlaknya jamaah.

Mengenai pendapat Malik yang terakhir, di dalamnya terdapat syarat: “jumlah yang banyak” itu, sebagai syarat sah Jumat, harus penghuni satu desa (tempat) yang di dalamnya terdapat aktivitas jual-beli. Pengarang Bughyah, Abdurrahman Ba’alwi, menganggap pendapat ini “yang paling rajih (berat timbangannya) dari segi dalil”.

Dengan mengingat pendapat tersebut, sambil menukil As-Suyuthi, pengarang Tafsir Jalalain itu, yang seperti juga para ulama lain menyebut tidak adanya satu hadis yang menentukan jumlah anggota Jumat, dan mengingatkan kedudukan hukum salat Jumat sebagai fardhu ‘ain, Ba’alwi berpendapat: “Jika terkumpul di suatu desa jumlah yang kurang, yang tidak mungkin pergi ke tempat yang lebih sempurna, mereka wajib menyelenggarakan Jumat di situ. Dan jika mereka hanya mengalami kesukaran pergi, penyelenggaraan Jumat menjadi berhukum jaiz (boleh).”

Tetapi, katanya, kalau ibadah itu bisa diundur, untuk mencapai jumlah 40, ke waktu yang kira-kira cukup untuk khutbah dan salat, pengunduran itu menjadi wajib meski ia mengingatkan dosa pengakhiran seperti itu jika sampai menyebabkan jamaah ketinggalan waktu (lihat Bughyah, 81).

Yang juga patut dicamkan, Saudara Fadil, adalah terdapatnya variasi antar atau di dalam satu mazhab fikih. Abu Hanifah menentukan empat, tapi dua pengikut yang menegakkan mazhabnya, Abu Yusuf dan Syaibani, memilih tiga. Suyuthi, yang bermazhab Syafi’i, menyatakan pendapat Imam Hanafi tersebut sebagai “pilihan saya”. Ia menganggap pendapat itu juga pendapat Syafi’i, yang baginya lebih kuat dari pendapat Syafi’i yang menunjuk angka 40. Sementara menurut pengarang Bughyah, “yang paling benar pada mazhab Syafi’i” adalah jumlah 40 yang di dalamnya termasuk imam. Bukan yang satu lagi, yang tidak. Apalagi yang empat.

Sementara itu Maliki mengenal tiga “model”: 20, 30, dan yang paling mahsyur yang tidak menentukan jumlah, asal “banyak, dan seterusnya”. Melihat ini, Saudara Fadil, misalnya Anda kemudian merasa bahwa masalah jumlah itu sebenarnya relatif, Anda tidak salah.

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda