Saudara R. Bambang Notolegowo, di Jawa Tengah, sedang menghadapi persoalan pelik. Ayahnya, yang sudah uzur, meminta dia kawin dengan wanita yang tidak dia sukai. Celakanya , wanita itu, yang juga berasal dari keluarga priayi, sudah mereka pinang.
Mengapa buru-buru mereka Lamar, ada ceritanya, dan Saudara Bambang memohon dengan amat sangat untuk tidak dipaparkan pada forum ini. Tapi pada pokoknya, cerita itu berpangkal pada kesalahpahaman. Persoalannya sekarang: jika ia mundur, dikhawatirkan akan terjadi perpecahan dua keluarga, selain “putus”-nya hubungan Bambang dengan saudara-saudaranya sendiri. Di samping itu, Bambang mengkhawatirkan kondisi ayahnya yang sakit keras, yang jangan-jangan semakin parah jika ia tetap berkukuh dengan penolakannya. “Sebagai keluarga priayi Jawa, sangat pantang bagi kami untuk melawan kata orangtua. Islam kan juga mengajar kita berbakti kepada orangtua?” katanya.
Sampai-sampai, ayahnya bilang begini: “Sudahlah, kamu kawin saja deh. Perkara kamu mau menceraikannya seminggu setelah itu, terserah kamu.” Saudara Bambang mengaku pusing. Dalam beberapa hari ini ia sering salat (mungkin salat istikharah, maksudnya) untuk memohon kepada Tuhan agar memberi petunjuk kepada orangtua si wanita. Di akhir suratnya dia bertanya: “Apa yang mesti saya lakukan?”
Jawaban Tim Muzakarah
Ini memang betul-betul “problem”. Kami memahami benar kepusingan Saudara. Maklum, ada beberapa soal yang terkandung dalam kasus Anda: (1) soal pemaksaan orangtua kepada anak; (2) soal kawin untuk sementara; (3) soal berbakti kepada orangtua; (4) soal nasib wanita; dan (5) soal hubungan antar-keluarga.
Mari kita bahas satu per satu. Pertama, posisi anak dalam perkawinan. Hukum Islam menetapkan bahwa anak laki-laki punya kebebasan penuh untuk menentukan nasibnya sendiri dalam hal perkawinan: apakah ia mau terus melajang atau tidak, dan tentang siapa yang akan dikawininya. Jadi, orang tua tidak punya hak untuk memaksa anak lelakinya untuk kawin, atau kawin dengan seseorang, baik anak itu sudah akil balig maupun belum (misalnya pada kebiasaan kawin gantung di sementara daerah adat di tanah air kita, setidak-tidaknya di masa lalu (lihat Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, V:4).
Bahkan, terhadap anak perempuannya orangtua tidak bisa berlaku sewenang-wenang. Ia mesti ditanya atau dimintai izin sebelum pinangan seorang lelaki diterima. Kecuali jika ia belum balig (menurut mazhab-mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali), atau masih gadis (menurut mazhab Hanbali dan mazhab Maliki).:”Janda lebih berhak atas dirinya, perawan harus dimintai izinnya untuk perkara dirinya, dan izinnya adalah diamnya,” demkian Rasulullah bersabda, seperti dikutip Ibn Abbas dan diriwayatkan Imam Al-Bukhari. (Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, VII/212; Ibnu Rusyd, op. cit., 11:5; Sayid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 11:115).
Orangtua juga dilarang menghalangi anak perempuan mereka untuk kawin dengan laki-laki pilihannya, yang seiman, kecuali jika ada alasan-alasan yang bersifat prinsipiil-syar’i. Untuk janda, larangan itu didapat dari firman Allah: “Dan jika kalian menalak istri kalian, lalu sampailah mereka ke tempo (akhir idah) mereka, jangan-lah kalian (para wali) menghalangi mereka untuk kawin dengan (calon) suami mereka.” (Az-Zuhaili, op. cit., VII:215; 1bn Rusyd, op.cit., II:15). Sedangkan untuk gadis, larangannya bisa dipahami dari kisah berikut ini, yang bahkan bisa agak mengejutkan:
Dituturkan oleh Abu Buraidah. Seorang wanita muda datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam., lalu berkata: “Ayah saya mengawinkan saya dengan kemenakannya agar bisa mengangkat kesusahannya.” Maka Rasulullah memulangkan perkaranya kepada perempuan itu. Ia lalu berkata, “Sebenarnya saya mengizinkan yang diperbuat Ayah. Tapi saya ingin memberitahu pars wanita bahwa masalahnya sebetulnya tidak sedikit pun terpulang kepada Bapak.” (Riwayat Ahmad, An-Nasa’i, dan Ibn Majah). Pada penuturan Abu Salamah, hadis itu sedikit berbeda: Seorang wanita datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam., lalu berkata: “Ayah saya mengawinkan saya dengan seorang laki-laki yang tidak saya sukai.” Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. bersabda kepada sang ayah: “Tidak ada (hak) pernikahan pada kamu. (Kepada si wanita) Pergilah, nikahi dengan laki-laki yang kamu suka.” Hadis riwayat Sa’id ibn Manshur. (Lihat Nailul Authar, VI:253; Subulus Salam, 111:122; Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, 11:469470;).
Dari dua hadis di atas, yang “sahih maknanya dan sahih riwayatnya” (A. Hassan, Soal-jawab, III-IV:1048- 1049), bisa disimpulkan bahwa persetujuan seorang gadis (yang belum pernah menikah; bukan janda) dalam hal perkawinan adalah mutlak.
Dengan kata lain, wanita sebenarnya juga independen—kecuali dalam hal upacara nikah. Dalam hal itu ia tidak bisa mengawinkan dirinya sendiri. Harus s ada kehadiran wali—kecuali menurut mazhab Hanafi. Toh jika wali, orangtua, misalnya, menghalanginya kawin dengan laki-laki pilihan-nya, ia bisa minta hakim untuk menjadi walinya.
Adapun soal kawin untuk sementara, Islam melarang kawin untuk jangka tertentu (yang disebut nikah mut’ah), dan seluruh umat muslimin sepakat mengenai keharamannya. Hanya kaum Syi’ah Imamiyah (Syiah 12 Imam, Syiah Iran) yang membolehkannya. Jadi, kalau diembel-embeli dengan persyaratan mengenai jangka waktu tertentu, akad nikah jadi batal. Sebab, persyaratan demikian berlawanan dengan syariat, di samping tidak sejalan dengan tujuan luhur dari sebuah perkawinan, sebagai-mana sering kita dengar dari orang tua, para ustadz di pengajian, seperti membangun keluarga yang bahagia, mengukuhkan tali ikatan, dan seterusnya.
Tetapi mut’ah model Syiah adalah nikah sementara (boleh untuk bertahun-tahun, boleh satu jam), yang hanya dilakukan antara berdua, laki-laki dan perempuan. Tanpa wali, tanpa saksi, tanpa pemberian nafkah, perumahan, dan seterusnya. Hanya ada mahar, tapi tanpa waris-mewaris, dan tanpa talak (karena akan putus dengan sendirinya kalau waktunya habis, dan tidak bisa diper-barui atau diperpanjang lagi seperti KTP atau paspor), tetapi dengan ketentuan idah untuk si wanita. Lamanya perkawinan itu disebutkan di dalam ijab-kabul. (Lebih luas lihat Panji, 21 Juli). Nah, bagaimana kalau perkawinan dilakukan dengan cara biasa, ada wali, saksi, dan se-terusnya, tapi diniatkan hanya untuk sementara?
Kalau niat sementara itu diucapkan dalam ijab-kabul, perkawinan tidak sah. Semua ulama sepakat. Kalau tidak diucapkan, tetapi didorong iktikad di pihak laki-laki untuk mempermainkan wanita, perkawinan sah, dan si laki-laki, pada waktu menceraikan si wanita, mendapat dosa. Kalau niat kawin sementara itu datang dari kedua pihak (diam-diam, tanpa perjanjian, melainkan “saling tahu”, seperti yang mungkin terjadi pada sementara daerah kebudayaan), perkawinan itu sah, hanya mereka tidak mendapat hikmah disyariatkannya perkawinan yang sudah dikemukakan.
Ketiga, soal bakti kepada orangtua. Anda betul, Saudara Bambang, Islam memang memerintahkan bakti kepada orangtua, baik mereka muslim maupun kafir. Kita di-perintahkan patuh kepada mereka. Jadi, selama tidak memerintahkan kekafiran, kejahatan atau maksiat, kita wajib patuh kepada mereka. Bahkan, kita mesti menyahut panggilan mereka, kala kita sedang salat sunah (bukan salat wajib).
Kita pun dilarang menyakiti hati mereka. Jangankan memukul atau mengumpat, berkata “cuh” saja kita dilarang. Allah berfirman: “Dan Tuhan-Mu menetapkan agar kalian tidak menyembah kecuali kepada-Nya dan agar kalian berbuat baik kepada dua orangtua. Adakalanya salah seorang atau keduanya berangkat tua (lalu biasanya mereka berperilaku seperti anak kecil lagi), maka janganlah kamu berkata “uff!” (cuh!) dan janganlah membentak mereka. Berbicaralah kepada mereka dengan perkataan yang baik.”
Yang dimaksud ayat itu, tentu bukan mengiyakan semua perkataan mereka. Bisa saja mereka keliru dalam berpendapat atau berprasangka. Kita boleh bermusyawarah dengan mereka. Kita dapat membetulkan pen-dapat atau sangkaan mereka yang (kita pandang) salah dengan cara yang baik, dengan perkataan yang baik. Kita pun boleh menasihati mereka, jika kita lihat mereka ber-buat keliru atau melalaikan suatu kewajiban. Sekali lagi, dengan cara dan perkataan yang baik. Sebab, adalah kewajiban muslim untuk saling menasihati. “Agama itu nasihat,” sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman: “Sung-guh manusia dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, dan saling menasihati dengan kebenaran dan saling menasihati dengan kesabaran.”
Keempat, soal martabat wanita. Allah berfirman: “Dan pergaulilah istri kalian dengan baik.” Hukum Islam, khususnya di bidang kekeluargaan, dirancang untuk menghargai martabat wanita. Tak sedikit hadis yang menuturkan murka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. kepada laki-laki yang bermain-main dengan talak, guna melampiaskan kemarahan kepada istri. Dalam hadis lain, Ma’qil ibnul Yasar bercerita bahwa ia pernah menghalangi adiknya untuk kawin dengan bekas suaminya yang dia pandang telah mempermainkan adiknya itu. Allah lalu menurunkan ayat yang, mengecam perbuatan Ma’qil ini (Q. 2:232).
Soal kelima, kemaslahatan umum. Saudara Bambang, kami sangat menghargai pertimbangan Anda. Islam memang sangat menjunjung tinggi hidup rukun, penuh perdamaian, tanpa konflik. “Dan beribadahlah kepada Allah, dan janganlah sekutukan Dia dengan suatu apa pun. Berbuat baiklah kepada dua orangtua, kerabat dekat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat, tetangga jauh, kawan karib, musafir, dan budak belian milik kalian.” Ayat yang sejenis atau senafas dengan ini bertebaran dalam Al-Quran. Begitupun hadis Nabi.
Sekarang kita kembali ke persoalan Anda, Saudara Bambang. Apa yang mesti Saudara lakukan? Melihat betapa peliknya persoalan Anda, maka jawabannya tidak hitam-putih. Kalau disimak uraian di atas, maka keputusan Anda bisa didasarkan pada semua keterangan di atas itu. Anda bisa lebih dulu memikirkan dengan baik, apakah Anda berat ke ayah (dan sanak keluarga) ataukah kepada kecenderungan Anda sendiri. Segalanya berpulang kepada Anda “Istafti qalbaka” (Tanyakan pada hatimu), demikian sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Sabda yang lain: “Tinggalkanlah apa yang meragukanmu, kepada yang tidak meragukanmu.”
Bisa saja Anda berpegang pada otoritas Anda, pada independensi Anda, jika memang hati Anda lebih siap (dan mantap) dengan itu. Anda lebih tahu dengan ling-kungan Anda, dengan konteks persoalan Anda, dan dengan kemaslahatannya. Yang penting adalah keyakinan Anda. Tentu saja, bukan keyakinan terhadap kepentingan Anda, melainkan terhadap ajaran Islam, seperti yang Anda pahami, setelah bertanya kepada ahlinya. Syekh Rasyid Ridha berkata, “Hal-hal yang menyangkut pencabutan kemerdekaan (anak) dalam soal-soal pribadi dan rumah tangga sedikit pun tidak termasuk dalam makna berbuat kebajikan kepada orangtua.” (Al-Manar, V:88). Artinya, boleh dikerjakan. Tetapi, kalau Anda orang yang bisa berkorban demi ayah dan keluarga, menuruti kemauan ayah Anda yang sakit-sakitan dan sudah uzur tampaknya menjadi pilihan terbaik. Tetapi, nasihat kami, kalau Anda sudah berniat berkorban, lebih baik jangan Anda berniat bercerai. Silakan baca Q. 4:19: “Dan pergauliah mereka (istri kalian) dengan budi. jika kalian tidak menyukai mere-ka, bisa jadi kalian tidak menyukai sesuatu yang (justru) Allah menjadikan di situ kebajikan yang banyak.” Lagi pula, untuk menceraikan istri Anda nanti, ada persoalan nasib wanita. Apakah dia tidak sengsara, padahal dia tidak berdosa apa-apa? Kecuali kalau dia (dari semula sudah) ridha. Itu lain. Pilihan ini tam-paknya bisa menghindarkan Anda dari perasaan dosa kepada orangtua. Dosa itu sebenarnya tidak ada, tapi kalau Anda menuruti kemauannya, memang benar Anda lebih berbakti. Perkara nasib rumah tangga Anda nanti, baiklah diserahkan kepada Allah, sambil berdoa agar Dia memberikan takdir yang paling balk. Amin