Ads
Mutiara

Kiai Musaddad, Pendiri UIN yang Pernah “Nyantri” di Sekolah Kristen

Avatar photo
Ditulis oleh A.Suryana Sudrajat

Dia adalah salah seorang perintis dan sangat berjasa bagi lahir dan berkembangnya IAIN yang sekarang sebagian besar sudah  berubah nama menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Mengapa keturunan  dua sunan  Tanah Jawa ini gagal jadi Rais Aam PBNU?

Kiai Haji Anwar Musaddad adalah ulama yang punya garis keturunan istimewa. Kelahiran Garut, Jawa Barat, ini ayahnya bernama Abdul Awwal bin Haji Abdul Karim. Sang kakek merupakan keturunan Kiai Nurkalim, yang tak lain merupakan anak turun Syekh Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati. Kiai Nurkalim sendiri menikah dengan keturunan Sunan Kalijaga. Jadi secara tidak langsung, rektor pertama IAIN (sekarang UIN) Sunan Gunung Jati ini merupakan keturunan dua wali besar Tanah Jawa itu.

Nama kecilnya adalah Dede Masdiad. Ketika berumur empat tahun ia ditinggal ayahnya. Dalam keadaan yatim itulah ia dibesarkan ibunya, yng berwirausaha memproduksi dodol Garut yang diberi nama “Kuraetin”, nama ini diambil dari nama putrinya. Selain memproduksi dodol, dia juga menjadi pengusaha batik Garut yang sekarang telah berkembang luas.

Latar belakang pendidikan Musaddad diperoleh dari guru ngaji yang tidak jauh dari rumahnya. Tahun 1916 -1918 ia nyantri di Pondok Pesantren Cipari, Wanaraja, pimpinan Kiai Haji Yusuf Tauziri. Semangat nasionalisme yang terbangun di pesantren tersebut kemudian mengilhami Dede Masdiad untuk berganti nama dengan nama Anwar Musaddad. Nama “Musaddad” dipilih olehnya sebagai bentuk penghormatan atas keluhuran seorang perawi hadis yang sangat masyhur bernama Musaddad ibn Musarhad ibn Arandal, salah seorang guru Imam Bukhari. Adapun “Anwar” berarti “cahaya”, bentuk jamak dari kata “nur”.

Pendidikan formal Musaddad ditempuh HIS Christeljik. Dia kemudian Melanjutkan ke sekolah MULO Christelijk di Sukabumi. Selama belajar di sekolah Kristen itu, dia mempelajari nilai-nilai keislaman dan mengaji kepada Ustadz Sachroni. Pendidikan di MULO Christelijk Sukabumi itu diselesaikannya pada 1925 dan dinobatkan sebagai pelajar teladan. Iapun ditawari beasiswa untuk melanjutkan sekolah ke AMS, juga sekolah swasta Kristen, di Jakarta dan kemudian memilih untuk melanjutkan sekolahnya di sana.
Di sekolah AMS ini, semua pelajar wajib tinggal di asrama milik lembaga pendidikan Kristen itu, tepatnya di Jl. Kramat Raya No. 47 Jakarta Pusat. Memasuki tahun ke dua belajar di AMS, ibundanya menyuruh kembali ke Garut setelah mendapat informasi tentang pendidikan di AMS Christelijk yang berusaha mempengaruhi keimanan para peserta didiknya termasuk putranya tercinta, dan ibundanya merasa khawatir akan keimanan putranya sebagai seorang muslim. Keluarganya berhasil membawanya kembali dan dia pun akhirnya meninggalkan Jakarta kembali pulang ke Garut.

Tahun 1919 Musaddad belajar di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto (H.O.S. Tjokroaminoto) untuk fokus belajar bahasa Arab di Madrasah Al-Ikhlas Jakarta. Setelah merasa cukup menguasai bahasa Arab dia pada tahun 1930 berangkat ke Mekah untuk belajar sumber keislaman secara langsung di Madrasah Al-Falah. Pada 1934 dia memperoleh syahadah (ijazah), dan langsung diangkat sebagai guru tetap untuk mengajar di sekolah tersebut. Dia mengajar bahasa Inggris dan ilmu-ilmu agama yang lain. Di antara muridnya yang terkenal adalah Syaikh Muhsin Bachrum, pengusaha penerbitan buku terbesar di Jeddah, dan Zakky al-Yamani, mantan Menteri Perminyakan Saudi Arabia.

Pulang dari Mekah, Anwar Musaddad mengamalkan ilmunya di masyarakat Garut. Di sana, dia membuka halaqah ilmu-ilmu agama dan mengajar di rumah orangtuanya. Karena kepiawaiannya berdakwah, Musaddad sangat dikenal masyarakat Garut dan sekitarnya. Setelah kemerdekaan Indonesia, pada 1950 Musaddad diminta oleh Menteri Agama RI K.H. Faqih Usman untuk mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta.

Pada tahun 1951 berdirilah PTAIN di Yogyakarta, yang kemudian atas prakarsa dia dengan Prof. Hasbi Ash-Shiddieqy pada tahun 1960 berubah menjadi IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pada 1967 dia mendirikan IAIN Sunan Gunung Djati Bandung dan menjadi rektor pertama sampai dengan tahun 1972. Jadi, dia adalah salah seorang perintis dan sangat berjasa bagi lahir dan berkembangnya IAIN yang sekarang sebagian besar sudah berubah nama menjadi Universitas Islam Negeri (UIN).

Kiai Anwar Musaddad juga berkiprah di organisasi Nahdlatul Ulama. Kiprahnya diawali pada muktamar Partai NU yang diselenggarakan di Palembang pada 1952. Dalam muktamar ini, dia dipercaya sebagai anggota inti PBNU dan memimpin bagian Al-Ma’arif (pendidikan). Kedekatannya dengan K.H. Idham Chalid menjadikan dia sering diminta untuk menyertai kunjungan K.H. Idham Chalid ke berbagai daerah, bahkan ke luar negeri. Pada muktamar NU di Semarang dia terpilih sebagai Wakil Rais Aam Syuriah PBNU. Tatkala KH Bisri Syansuri sebagai Rais Aam Syuriah PBNU wafat pada tahun 1980, para ulama bersepakat memilih dan mengangkat Rais Aam Syuriah PBNU untuk mengisi “jabatan” yang lowong karena wafatnya ulama pemangku jabatan itu. Namun, beredarlah isu bahwa Kiai Musaddad “belum” memenuhi satu syarat tidak tertulis, yaitu memiliki dan mengasuh pondok pesantren. Akhirnya, “jabatan paling bergengsi” di NU itu tidak jadi diembannya karena syarat tidak tertulis itu. Pesantren Al-Musaddadiyah yang kini berdiri megah di Garut, memang baru didirikan pada tahun 1990.

Pesantren Al Musaddadiyah Garut Jawa Barat

Selain pendidik, K.H. Anwar Musaddad juga dikenal sebagai ahli tafsir. Dia memang menjadi salah seorang anggota Tim Penerjemah dan Tafsir Al-Qur’an yang dibentuk Kementerian Agama RI. Proses pengerjaan terjemah dan tafsir Al-Qur’an ini merupakan proyek yang dilaksanakan oleh Kementerian Agama. Ide penulisan terjemah dan tafsir tersebut dilandasi oleh komitmen Kementerian Agama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia di bidang pengadaan kitab suci, terjemah dan tafsirnya. Setelah Al-Qur’an dan Terjemahnya dicetak untuk pertama kalinya pada 1965, Kementerian Agama kemudian menggagas penyusunan Al-Qur’an dan Tafsirnya.

Sebagai ulama dan guru besar yang banyak terlibat dalam dunia pendidikan tinggi, Musaddad ikut pula membuka era baru, yaitu upaya integrasi model perguruan tinggi dan pondok pesantren. Integrasi ini dianggap sangat penting karena sistem pendidikan dan kelembagaannya merupakan mekanisme alokasi posisional yang sangat menentukan bagi peningkatan kualitas sumber daya umat. Pendirian Yayasan Al-Musadaddiyah pun tidak lepas dari idealisme itu. Sistem pendidikan dan kelembagaan itu ternyata mendapatkan kepercayaan penuh dari masyarakat. Tidak sedikit dari mereka yang mempercayakan pendidikan bagi putra putrinya ke lembaga tersebut dan bangga menjadi bagian dari keluarga besar Al-Musaddadiyah Garut. Fokus sistem pendidikan dan kelembagaan ini untuk mengantisipasi pengaruh negatif dari globalisasi, menghendaki integritas pendidikan baik menengah maupun pendidikan tinggi dengan pondok pesantren sebagai satu kesatuan. Lembaga pendidikan berupa sekolah (TK-SMA), perguruan tinggi, dan Pondok Pesantren Al-Musaddadiyah memiliki kemampuan untuk dapat menyalurkan lulusannya sesuai dengan harapan masyarakat.


K.H. Anwar Musaddad wafat pada tahun 2000 dan dimakamkan di kampung halamannya di Garut, Jawa Barat.


Sumber: Yies Sa’diyah, dkk, Prof. K.H. Anwar Musaddad, Biografi, Pengabdian dan Pemikiran Ulama-Intelektual (2012)

Tentang Penulis

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading