Ads
Mutiara

Munafik Manusiawi dan Munafik yang Hanya Allah yang Tahu

Avatar photo
Ditulis oleh A.Suryana Sudrajat

Apakah relevan Muslim mencap Muslim sebagai munafik sehubungan dengan pilihan politik? Tidakkah itu melampaui wewenang atau hak Allah Swt. dan menyalahi ajaran Rasulullah? Tapi siapa di antara kita yang sama sekali bebas dari dari satu dua butir hipokrisi sebagaimana ditengarai oleh Nabi?

Sungguh gegabah orang yang mencap orang lain munafik. Gejala yang memunculkan rasa kebencian ini biasa marak pada masa-masa pemilihan umum. Pemilu legislatif maupun terutama pemilihan presiden dan kepala daerah. Menyebar melalui media sosial, menempel di spanduk-spanduk yang dipasang di berbagai rumah ibadah, dan menghiasi khotbah-khotbah Jumat dan berbagai pengajian. Tuduhan munafik ini, ironisnya, dialamatkan kepada kaum Muslim yang memiliki pilihan politik yang berbeda dengan para penuduh. Lebih jauh, Muslim yang dicap munafik ini pernah ditolak jenazahnya untuk disalati di masjid atau musala yang mereka kuasai. Padahal, jika Rasulullah Saw. dijadikan teladan, sungguh tidak mudah bagi kita untuk mencap munafik terhadap sesama muslim. Ambisi kekuasaan, tidak syak lagi, sudah mengesampingkan ajaran yang justru telah dipraktikkan sendiri oleh Rasulullah Saw.

Hanya Allah yang Tahu
Syahdan, pada masa Rasulullah di Madinah dikenal seorang tokoh berpengaruh bernama Abdullah bin Ubay. Ucapan-ucapan dan perbuatan pemuka suku khazraj ini sering dinilai merugikan kaum Muslim. Hampir setiap fitnah di Madinah selalu melibatkan Abdullah bin Ubay. Termasuk dalam berita hoax (haditsul ifki) yang menimpa istri Nabi, Aisyah r.a. yang dituduh berbuat selingkuh. Meski begitu, ketika Abdullah bin Ubay sakit, Rasulullah Saw. menyempatkan diri untuk membesuknya. Betapapun, di permukaan Abdullah bin Ubay menunjukkan dirinya sebagai seorang Muslim. Oleh karena itu pula, ketika putra Abdullah bi Ubay, yang juga bernama Abdullah, datang menemui Rasulullah saw, meminta salah satu kain Rasulullah Saw. untuk dijadikan sebagai kafan bagi ayahnya, Rasulullah mengabulkannya. Kemudian ketika Abdullah juga meminta Rasulullah untuk menyalatinya, beliau pun berkenan.

Waktu itu Umar bin Khaththab sempat menarik baju Rasulullah, dan berkata: “Wahai Rasulullah, Anda akan menyalatinya? Bukankah Allah melarangmu untuk menshalatinya?”

Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya Allah Swt. memberikan kepadaku dua pilihan kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka. Meskipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka. Yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. (QS At-Taubah:80) Dan saya akan menambahnya lebih dari tujuh puluh kali.”

Umar berkata: “Sesungguhnya dia itu orang munafik.”

Setelah Rasulullah Saw. menyalati jenazah Abdullah bin Ubay, barulah turun ayat: “Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangi (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam Keadaan fasik. (Q.S. At-Taubah:84). Rasulullah menyalati jenazah Abdullah bin Ubay ketika itu mengacu kepada pengakuan Abdullah bin Ubay bahwa ia seorang Muslim. Dan Islam mengajarkan ummatnya untuk memperlakukan manusia sesuai dengan kondisi yang diperlihatkan, sedangkan urusan hati dan batinnya adalah kewenangan Allah Swt.

Itulah gambaran orang munafik, yang bahkan Nabi Muhammad sendiri tidak mengetahuinya kecuali Allah yang memberitahunya. Yakni orang yang berpura-pura mengikuti ajaran agama Islam, namun sebenarnya hati mereka memungkirinya. Mereka tidak beriman namun berpura-pura beriman. “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”, dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta. Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan. Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti. (Q.S. Al-Munafiqun:1-3) ”

Boleh dikatakan, Abdullah bin Ubay merupakan representasi dari perilaku kemunafikan (nifaq) atau hipokrisi yang berkaitan dengan akidah, di mana hanya Allah belaka yang mengetahui apakah seseorang itu munafik atau tidak. Ini pula yang disebut nifaq besar, yang dapat mengeluarkan seseorang dari keislamannya dan menggugurkan seluruh amalnya.

Hipokrisi Manusiawi
Lalu bagaimana dengan hadis Nabi yang menyatakan tanda-tanda orang munafik? Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah bersabda: “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu; jika berbicara berdusta, jika berjanji mengingkari dan jika dipercaya berkhianat.” Inilah jenis hipokrisi atau nifaq kecil, yakni perbedaan antara lahir dan batin yang tidak bersangkut paut dengan akidah. Jenis hipokrisi yang satu ini bisa menimpa siapa saja, termasuk setiap orang yang beriman. Karena itu Anda boleh saja bertanya: “Siapa di antara kita yang sama sekali bebas dari dari satu dua butir hipokrisi sebagaimana ditengarai oleh Nabi?” Dengan kata lain, tanda-tanda hipokrisi yang dikemukakan Nabi tersebut merupakan bagian dari kelemahan manusiawi. Nabi bersabda, “Sudah diturunkan hipokrisi kepada satu kaum yang lebih baik dari kamu.” Justru karena itu kita bermohon kepada Allah, dalam satu doa yang diajarkan oleh Nabi: “Allahumma inni a’udzu bika minasy syiqaaqi wan-nifaaqi wa suu-il akhlaaq (Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari perpecahan, dari sikap hipokrit dan akhlak yang buruk).” (H.R. Abu Daud dan Nasa’i)

Benar, jenis hipokrisi ini tidak menyebabkan pelakunya keluar dari agama. Namun, jika perilaku-perilaku tersebut terus dilakukan, tidak menutup kemungkinan seseorang akan terjerembab dalam kemunafikan, dan bahkan merugikan kepentingan banyak orang. Salah satu sifat hipokrit yang perlu diwaspadai adalah khianat, lawan dari amanah, yang sekarang banyak dilakukan oleh pejabat publik.

Merujuk kepada nifaq besar yang berkaitan dengan akidah di mana pelakunya hanya diketahui oleh Allah, dan kemunafikan atau hipokrisi atau nifaq kecil yang tanda-tandanya dikemukakan oleh Nabi Saw., maka bukan hanya tidak relevan mencap seorang Muslim sebagai munafik sehubungan dengan pilihan politiknya, tetapi juga melampaui wewenang atau hak Allah Swt. dan menyalahi ajaran Rasul-Nya. Jika dikembangkan, tuduhan munafik ini justru akan merusak ukhuwah di kalangan kaum Musim sendiri. Wallahul Haadi.

Tentang Penulis

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda