Pertentangan antara Islam Abangan dan yang Mutihan setiap waktu dapat dikorbankan dan dibakar oleh para pemimpin untuk mencari kedudukan. Tapi ada kalangan tradisi yang lebih apresiatif terhadap peran Islam politik.
Sidang Konstituante 12 November 1957 tercatat sebagai salah satu forum paling panas. Atmodarminto dari Partai Gerindo tampil di podium dan mengklaim dirinya sebagai wakil Islam Abangan. Dia, memulai pidatonya dengan mengatakan bahwa masyarakat Indonesia belum masyarakat Islam. Umumnya, mereka masih berpangkal pada kepercayaan dan adat istiadat tinggalan nenek moyang. Ini, katanya, dapat disaksikan dari bau dupa di mana-mana di malam yang dianggap suci, juga banyaknya peziarah ke tempat-tempat keramat dan makam-makam di hari-hari nyadran maupun nyekar. “Pun Nabi kita Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam bilamana ada orang mempunyai kerja, tak luput pula diberi sesaji, santapan yang berupa nasi gurih dengan adu lembaran ayam,” katanya.
Menurut Atmodarminto, berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Tanah Air dulu bukan akibat berkembangnya Islam, bukan juga karena rakyatnya yang terbanyak sudah memeluk agama ini, melainkan karena kehendak raja dan beberapa pengikut yang berpengaruh. Rakyat terbanyak, yang suka memeluk Islam, katanya, memeluknya dengan paham Islam Abangan yang dipenuhi kepercayaan lama tadi. Sejak zaman para wali selalu ada pertentangan antara paham Islam Abangan dan yang Mutihan. Sering timbul perang, juga perpindahan keraton, misalnya keraton Demak ke Pajang, keraton Pajang ke Mataram. “Pertentangan itu setiap waktu dapat dikorbankan dan dibakar oleh para pemimpin untuk mencari kedudukan.” Dengan sendirinya, Atmodarminto menolak Islam dijadikan dasar negara. “Bilamana dilaksanakan, risikonya mungkin terlalu besar. Yang pasti akan menimbulkan perpecahan di antara kita sama kita, dan mungkin menghebat hingga pecah perang saudara.” Pidato itu mendapat aplaus besar dari PNI dan PKI. Mereka senang. Sebelumnya belum ada pembicara, yang mengaku Islam, yang secara blak-blakan mengatakan adanya perpecahan di kalangan Islam. Di pihak lain, tentu saja, muncul kemarahan partai-partai Islam (Herbert Feith & Lance Castles (peny.), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965).
Atmodarminto mengakui, berbagai dasar dan alasan partai-partai Islam semuanya baik, juga tidak merugikan golongan lain. Hanya, itu semua janji-janji belaka. Karena itu, dia sangsi. Ada satu alasan dari kontroversi sejarah Islam di Tanah Air yang ia bawakan, yang tentu memerlukan pembicaraan tersendiri. Tapi untuk alasan aktual, diberikannya penilaian ini: setelah RIS diganti dengan Negara Kesatuan RI, sudah tiga kali partai- portal Islam menjadi inti dan memegang jabatan perdana menteri dari kabinet koalisi, Kenyataannya? “Rakyat tidak menjadi makmur, sebab setelah memegang kekuasaan, mereka lupa kepada janji-janjinya.” Siapakah Atmodarminto?
Penulis buku-buku berbahasa Jawa kelahiran Yogyakarta 1894 ini, dikenal sangat tinggi menjunjung sinkretisme. Ia aktivis Boedi Oetomo, Sarekat Islam, kemudian Front Demokrasi Rakyat. Ayah mantan Gubernur Jakarta Wiyogo Atmodarminto ini pernah menjadi redaktur beberapa majalah dan koran, selain pegawai Kantor Penerangan DIY. Lalu, masuk ke parlemen dan Konstituante hasil Pemilu 1955, mewakili Gerindo, partai gurem kaum tradisionalis Jawa yang dipimpin Pangeran Surjodiningrat. Tradisionalisme Jawa, demikian kata Feith dan Castles, paling banyak terdapat di kalangan pamong praja—korps administratur wilayah, yang di masa kolonial dan pendudukan Jepang membawakan etos ningrat, tetapi setelah kemerdekaan sedikit demi sedikit berubah. Pengaruhnya terlihat dalam berbagai perdebatan mengenai identitas nasional. Boleh saya tambahkan, tidak hanya di zaman Soekarno (Agustus—Oktober 1945 dan setelah 1959) gaung tradisi ini sangat kuat, tetapi juga pada rezim Soeharto—yang mengeluarkan 36 butir P4 yang “Jawa-sentris” itu.
Toh, ada juga di kalangan tradisi, yang bahkan agak jauh dari gerakan Islam, yang lebih apresiatif kepada agama ini. Termasuk R.A.A. Wiranata Koesoema, bangsawan Sunda yang pada 1948 menulis risalah Islamitsche Democratie in Theorie en Praktijk. Katanya, dengan gaya seorang penganjur Islam, agama ini mengajarkan prinsip-prinsip perwakilan dan kesamaan sosial dan hak-hak sipil kepada setiap orang, tanpa membedakan kebangsaan dan agama. “Demokrasi Islam berdasarkan kebebasan rohaniah individual. Tak seorang pun punya hak ilahiah untuk memerintah. Tak seorang pun dipilih Tuhan sebagai alat khusus untuk menyatakan kehendak-Nya.” En dalam praktijk, Wiranata merujuk masa Khalifah Empat yang demokratis, dengan tak lupa menyertakan pidato pelantikan khalifah pertama Abu Bakar yang terkenal itu.
Wiranata Koesoema kelahiran 1888, sempat mengenyam pendidikan di Eropa. Di zaman kolonial menjadi bupati, kemudian anggota Volksraad. Di akhir pendudukan Jepang, dia penasihat masalah-masalah dalam negeri, jabatan tertinggi pribumi waktu itu. Setelah kemerdekaan, dia menjadi Menteri Dalam Negeri dalam kabinet pertama RI dan ketua DPA. Pada 1948 dia menjadi walinegara Negara Pasundan. Negara boneka bikinan Belanda ini dibubarkan awal 1950 dan sang bangsawan menarik diri dari pergaulan masyarakat. Meninggal pada 1965.