Para pemimpin politik punya caranya sendiri untuk mengatasi frustrasi. Kekuatan sebenarnya seorang pemimpin di tangan orang-orang lemah.
Penampilannya khas. Janggut dan kumis yang setengah putih. Kemeja yang selamanya putih, peci, dan terkadang sarung. A.R. Baswedan menyebutnya sebagai pejuang ideologis yang teguh. Pemimpin yang berwatak, menurut I.J. Kasimo. Seorang yang, kata Mochtar Lubis, mudah senyum, sopan, dan amat sangat mahir menahan perasaan.
Dialah Prawoto Mangkusasmito. Di masa-masa akhir hidupnya, ketua umum terakhir Partai Masyumi itu lebih banyak tinggal dengan petani. Konon, itu untuk mengobati frustrasinya di lapangan politik. Langkah itu ternyata manjur. “Apabila saya kembali dari tour melihat kampung-kampung dan desa yang lemah desa, berbicara dengan pak tani tidak pandai membaca surat kabar, itu, yang dan yang tidak pernah disebut namanya dalam surat-surat kabar,” katanya kepada Mohammad Natsir, “Saya mendapat kekuatan baru. Hal itu tidak saya jumpai di suatu dalam masyarakat di kota-kota yang besar yang bertimbun-timbun dengan lekturnya yang banyak.”
Usaha pertama Prawoto, sekeluarnya dari penjara pada 1966, adalah merehabilitasi Masyumi. Tapi, Pemerintah Orde Baru, yang semula diharapkan memberi iklim kehidupan yang lebih demokratis, menolak. Dalam surat Presidium Kabinet Ampera yang ditandatangani ketuanya, Jenderal Soeharto (6 Januari1967), antara lain, disebutkan:“Alasan-alasan yuridis, ketatanegaraan, dan psikologis telah membawa ABRI pada satu pendirian bahwa ABRI tidak dapat menerima rehabilitasi bekas partai politik Masyumi. Mengenai bekas anggota Masyumni, sebagai warga negara, tetap dijamin hak-hak demokrasinya sesuai dengan perundangan yang berlaku.”
Tapi, surat yang diberi sifat “Amat Segera” itu baru diterima Prawoto pada tanggal 23 Januari. “Kelihatannya jarak antara Istana Merdeka dan rumah saya di Jl. Kertosono 4 tidak dekat,” kata Prawoto. Anehnya lagi, salinan surat itu, dalam bentuk stensil, sudah beredar di kalangan wartawan pada 11 Januari.
Prawoto Mangkusasmito tak segera membalas surat itu. Katanya, dia tidak ingin mengganggu Soeharto yang kala itu tengah berjuang menghilangkan dualisme kekuasaan. Setelah Soeharto diangkat jadi pejabat presiden, 12 Maret 1967, baru Prawoto menulis surat kembali pada 30 Maret. Di situ ia antara lain mengatakan, perjuangan Masyumi dan Orde Baru hakikatnya sejalan. Keduanya sama-sama ingin menegakkan hukum dan konstitusi sebagai landasan bersama (“idiil dan strukturil”). “Maka itu, tidaklah ada alasan kekhawatiran akan timbul hal-hal yang dapat mengganggu keseragaman dan kelancaran perjuangan mengisi hari depan bersama.”
Keesokan harinya, surat itu disusul dengan permintaan untuk bertemu dengan Soeharto. Tapi sampai akhir hayat Prawoto, baik surat maupun permintaan untuk ketemu itu tidak pernah dijawab. Dari seorang perwira yang dekat dengan Soeharto, Prawoto mendapat berita bahwa Pj. Presiden pernah mengatakan, “Jika mereka terus hendak memaksa, penjara masih tersedia.”
Prawoto menjadi ketua umum Pusat Pimpinan Masyumi pada Muktamar IX di Yogyakarta, 27 April 1959. la rupanya sudah menyadari bahwa partainya bakal menghadapi kesulitan. Ini berkaitan dengan keterlibatan beberapa pemimpin terasnya, antara lain M. Natsir dan Syafruddin Prawiranegara, dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Benar, pada 17 Februari 1959, Pimpinan Partai (dengan tanda tangan Wakil Ketua I Dr. Sukiman Wirjosandjojo dan Sekretaris Umum M. Yunan Nasution) sudah menyatakan pembentukan PRRI inkonstitusional. Hanya, tuntutan pemerintah agar Masyumi mengutuk para pemimpinnya yang terlibat pemberontakan itu tidak dilakukan.
Pada 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit kembali ke UUD 1945 dan membubarkan Konstituante. Prawoto menandai peristiwa itu sebagai tahun “terpukulnya front idiil oleh amuknya palu godam politik kekuasaan.” Masyumi pun ikut dalam “Liga Demokrasi”, yang antara lain pernah meminta penangguhan pembentukan DPR Gotong Royong, karena jalan yang akan ditempuh Bung Karno itu tidak demokratis.
Apa yang dikhawatirkan keluarga Bulan Bintang pun terjadi. Masyumi dibubarkan pada 17 Agustus 1960. Alasan pelarangan: para pemimpin partai itu terlibat pemberontakan PRRI/Permesta, atau memberikan bantuan, sedangkan partai tidak mau dengan resmi menyalahkan mereka.
Lalu, Soekarno mulai main tangkap. Prawoto dapat giliran 16 Januari 1962. Ia dijebloskan dalam tahanan antara lain bersama Moh. Roem, Princen, Sutan Sjahrir, Subadio Sastrosatomo, Anak Agung Gde Agung, Sultan Hamid, dan Mochtar Lubis. Mereka ditempatkan di RTM Madiun dan RTM Jakarta. Terakhir mereka menghuni Wisma Keagungan (penjara), bersama M. Natsir, Syafruddin Prawiranegara, dan Burhanuddin Harahap, sampai dibebaskan pada 17 Mei 1966.
Lahir 4 Januari 1910 di Grabag, Magelang, Jawa Tengah, sebagai putra sulung Mangkusasmito, Prawoto menyelesaikan pendidikannya di AMS-B Yogyakarta pada 1932. Ia menjadi anggota Jong Java, selain aktif dalam Jong Islamieten Bond (JIB). Pada 1935 melanjutkan studi di Recht Hoge School (RHS), Jakarta. Di sini ia masuk Studenten Islam Studie Club (SIS) dan menjadi ketuanya yang terakhir. Untuk menghidupi keluarganya, ia mengajar di sekolah Muhammadiyah, selain menjadi redaktur majalah Moslemese Revielle.
Prawoto gagal menyelesaikan kuliah hukumnya, hanya sampai tingkat IV, karena pendudukan Jepang. Semasa clash kedua, ia ikut bergerilya bersama R. Pandji Suroso, I.J. Kasimo, dan Kasman Singodimedjo. Setelah Indonesia menjadi Negara kesatuan (1950), ia menjadi anggota DPRS RI, memimpin fraksi Masyumi. Sesudah Pemilu 1955, ia terpilih menjadi wakil ketua I Konstituante, sampai lembaga ini dibubarkan Soekarno.
Prawoto, yang pernah menjadi pengurus Universitas Islam Indonesia (UII) dan kurator Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (cikal bakal IAIN; UIN), wafat 24 Juli 1970 di sebuah desa binaannya, 25 KM dari Banyuwangi, Jawa Timur. Kata Natsir, ia seolah ingin menunjukkan kepada kita letak kekuatan sebenarnya seorang pemimpin. Yakni, ditangan orang-orang lemah.
“Kamu hanya akan mendapat kemenangan dengan memperhatikan nasib kaum lemah,” sabda Nabi.