Tiga belas tahun Nabi Muhammad Saw. menyeru penduduk Makkah untuk mengikuti agama yang dibawanya. Tetapi sebegitu jauh hasilnya tidak menggembirakan. Hanya sedikit yang bersedia masuk Islam, dan itu pun umumnya dari kalangan rendahan. Para pembesar seperti Abu Jahal dan Abu Sufyan bukan hanya menolak, tetapi sangat memusuhi dan bahkan berusaha melenyapkannya. Kesulitan Nabi kian bertambah karena istrinya Khadijah, yang menjadi penyokong utama ekonomi keluarga dan pengikutnya, wafat. Menyusul kemudian pamannya Abu Thalib, pelindung setia Nabi walaupun tidak masuk Islam sampai akhir hayatnya.
Dalam situasi yang serba susah itu, Nabi ditemui beberapa orang Yatsrib yang datang ke Makkah untuk menghadiri festival Ukaz. Rupanya mereka terkesan dengan perkataan Nabi pada perayaan tahunan itu. Dua tahun kemudian, sekitar tahn 622, datang delegasi sekitar 75 orang yang mengundangnya untuk tinggal di Yatsrib. Mereka berharap Nabi bisa mendamaikan suku Aus dan Khazraj yang selalu bermusuhan. Yathrib yang kemudian namanya diubah oleh Nabi Muhammad s.a.w. menjadi Madinah terletak sekitar 510 kilometer sebelah utara Makkah. Kota ini lebih strategis ketimbang Makkah karena berada di “jalur rempah-rempah” yang menghubungkan Yaman dan Suriah. Tanahnya subur untuk ditanami pohon kurma. Nabi tiba di Yatsrib bersama sahabatnya Abu Bakr pada 24 September 622, mengikuti 200 rombongan yang telah tiba sebelumnya. Peristiwa ini disebut hijrah yang menjadi titik balik kehidupan Nabi dan kaum Muslimin. Khalifah Umar ibn Khattab, 17 tahun kemudian, menetapkan peristiwa ini sebagai awal tahun Islam.
Adalah warga Yahudi (Bani Nadhirdan Bani Quraidzah) kota ini menjadi pusat pertanian terkemuka. Mereka adalah suku Arab keturunan Aramik yang telah menganut agama Yahudi. Meski begitu, intinya mereka adalah Bani Israil alias orang isreal yang lari dari Palestina saat ditaklukkan Romawi pada permulaan tahun Masehi. Sedangkan Aus dan Khazraj merupakan dua suku non-Yahudi yang berasal dari Yaman. Anehnya, yang mendorong para penyembah berhala untuk mengakui Muhammad sebagai Nabi adalah warga Yahudi tadi. Selain merupakan orang-orang yang mapan secara ekonomi karena menguasai perkebunan, orang-orang Yahudi ini lebih terpelajar karena menguasai Kitab. Dan bersama orang-orang Nasrani yang juga mayoritas pendatang di Madinah mereka, sebagaimana disebut Al-Qur’an, sebagai ahli kitab. Karena itu mereka (Yahudi dan Nasrani) sebelum kedatangan Nabi menempati lapisan atas dalam strata sosial Kota Madinah. Sedangkan Arab Yaman yang penyembah berhala tadi (sebagian kecilnya menganut sisa-sisa agama Nabi Ibrahim) berada di lapisan bawah. Struktur sosial ini kemudian terjungkal karena golongn rendahan yang menjadi pengikut Nabi tadi “menyodok ke atas”.
Eksperimen Nabi
Di Madinah Nabi Muhammad tidak hanya mengembangkan missi kerasulannya yang dulu tersendat di Makkah, tetapi juga muncul sebagai seorang pemimpin yang disegani. Di kota ini Muhammad bukan hanya sosok Nabi bagi umatnya, melainkan juga menjelma menjadi sosok negrawan bagi umat-umat lainnya. Di sini Nabi berhasil membangun komunitas muslim, dengan mempersatukan berbagai suku Arab yag sebelumnya saling bertikai. Komunitas muslim Madinah ini terdiri atas kaum Muhajirin (yang berhijrah dari Makkah) dan kaum Anshar yaitu penduduk Madinah yeng telah memeluk Islam. Namun demikian, kaum muslim bukanlah satu-satunya komunitas di Madinah. Sebagaimana telah disinggung di kota ini juga terdapat komunitas –komunitas lain, yaitu orang-orang Yahudi, dan para penyembah berhala yang menolak masuk Islam. Dengan kata lain, masyarakat yang tinggal do Kota Madinah bersifat majemuk. Oleh karena itu, mula-mula Negara Kota yang dibangun oleh Nabi bersifat bhineka pula. Dan untuk kepentingan ini disusunlah butir-butir kesepakatan yang disebut Piagam Madinah. Piagam ini disusun hanya setelah kurang dari dua tahun Nabi Muhammad menetap di Madinah.
Seperti dikemukakan Munawir Sjadzali dalam bukunya Islam dan Tata Negara (2008), batu-batu dasar yang diletakkan oleh Piagam Madinah yang memuat 47 butir kesepakatan itu merupakan landasan bagi kehidupan bernegara yang majemuk yang dibangun oleh Nabi di Madinah. Dua alasan pokok yang dia kemukakan, pertama semua pemeluk islam meskipun dari banyak suku merupakan satu komunitas. Kedua, hubungan antarsesama komunitas Islam, dan hubungan komunitas Islam dengan komunitas-komunitas lain di dasarkan pada prinsip-prinsip bettetangga baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membantu mereka yang terniaya, saling menghormati, dan menghormati kebebasan beragama. Menurut eks-menteri agama ini, “Satu gal yang patut dicatat bahwa Piagama Madinah, yang oleh banyak pakar politik dinyatakan sebagai konstitusi negara Islam yang pertama itu, tidak menyebut agama negara.” Dengan kata lain, Islam bukanlah agama negara, dan komunitas agama-agama lain memiliki kebebeasan untuk menjalankan syariat agama masing-masing. Jadi, apakah dengan begitu bahwa mula-mula negara yang hendak didirikan oleh Nabi Muhammad di Madinah bukanlah negara Islam.
Pengalaman Nabi membangun negara yang majemuk harus kandas di tengah jalan. Sebab utamanya adalah karena ada pihak-pihak yang telah menyepakati Piagam Madinah kemudian melakukan pengkhianatan. Seperti banyak diceritakan buku-buku sejarah Islam, pada tahun 627, terbentuk sebuah persekutuan yang terdiri atas orang-oran Makkah dan tentara bayaran dari suku-suku Badui dan Abissinia, yang akan kembali memerangi orang-orang Madinah. Menghadapi gelombang musuh yang sangat besar itu, atas usulan Salman, seorang muslim asal Persia (karena itu dibelakang namanya Al-Farisi), Nabi memerintahkan pasukannya untuk menggali parit (khandaq) sekeliling Madinah. Taktik perang semacam ini bikin kaget pasukan musuh, hingga akhirnya mereka bergerak mundur setelah jatuh 20 korban jiwa dari kedua belah pihak. Setelah pengepungan berakhir, Nabi kemudian menyerang orang-orang Yahudi karena bersekongkol dengan para penyerang. Sekitar 600 orang terbunuh dari suku utama Yahudi yaitu Bani Quraidzah. Sisanya kemudian diusir dari Madinah. Bekas perkampungan dan kebun-kebun korma mereka kemudian ditempati kaum Muhajirin. Tetapi ini bukan tindakan pertama kepada kaum Yahudi. Sebelumnya nabi juga mengusir Bani Nadhir dari Madinah karena laku khianat mereka. Sementara itu orang-orang yahudi khaibar, sebuah oasis yang dikelilingi benteng di sebelah utara Madinah, juga menyerah dan bersedia membayar upeti (jizyah). Hengkangnya komunitas-komunitas utama non-muslim dari Madinah, tidak pelak lagi telah mengntarkan kota ini tidak lagi bersifat majemuk.Dari komunitas keagamaan yang kini praktis hanya berbasis pada kaum muhajirin dan Anshar, Nabi berheasil mengembangkan sebuah negra Islam yang lebih besar. Beberapa daerah yang berhasil ditaklukan tanpa melalui pertempuran dibuat perjanjian damai dengan kepala-kepala suku Kristen danYahudi. Mereka diberi perlindungan oleh umat Islam dan bersedia memberikan bayaran yang disebut jizyah itu. Kebijakan ini kemudian diajdikan contoh oleh para khalifah dalam membuat kebijakan-kebjakan terhadap nonmuslim.
Di Sekitar Ayat “Walan Tardha”
Interaksi kaum Muslim dengan kaum Yahudi di Madinah yang semula berlangsung damai dan menimbulkan gesekan itu direkam dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 120: “Walan tardha ‘ankal yahudu laisatin nasharaa hatta tattabi’a millatahum (Tidak akan rido kepada engkau baik Yahudi maupun Nasrani sampai engkau ikut agama mereka).” Seperti sudah disinggung, kaum Yahudi (juga Nasrani) menempati lapisan atas dalam struktur masyarakat Madinah. Keberadaan Nabi di Madinah, yang semula mereka sambut dengan senang hati, lama-kelamaan dirasakan sebagai ancaman bagi kedudukan mereka yang sudah established. Hegemoni mereka sebagai orang-orang kaya terusik oleh kehadiran kelas ekonomi baru di kalangan kaum muslim yang sejak dari Makkah memang sudah dikenal sebgai orang-orang kaya dan pandai berniaga. Sementara untuk kaum Muslim yang ekonominya kurang beruntung Nabi mendistribsikan zakat untuk mereka, selain harta yang diambil dari pampasan peran. Sebagai kelompok terpelajar atas penguasaan mereka terhdap Kitab, juga mendapat saingan karena Nabi juga menawarkan sumber-sumber pengetahuan yang berasal dari Al-Qur’an. Itulah sebabnya mereka tidak suka mndapat saingan baru yang dlukiskan Al-Qur’an dengan kaliman Walan tardha itu.
Orag-orang Yahudi Madinah memang tidak rela melihat Nabi dan kaum Muslimin yang telah membawa banyak perubahan di Madinah, dan dengan sendirinya ikut mengikis hegemoni kaum Yahudi. Sampai Nabi mengikyi agama (millah) mereka? Bukankah semula mereka cocok-cocok saja dengan kehadiran Nabi baru, dan bahkan menyemangati para penyembah berhala untuk memeluk Islam?
Sejatinya, seperti dikemukakan sejumlah mufassir itu tidak berarti Nabi Muhammad dan kaum muslim di Madinah harus ikut agama mereka alias menjadi Yahudi (atau Nasrani). Tetapi menjadikan mereka sebagai panutan atau suri tauladan, atau menjadikan mereka sekelompok acuan. Satu hal yang sering dilupakan, seperti halnya Budha dan Hindu-Bali, Yahudi bukanlah agama dakwah. Sebagai “bangsa piihan”, orang Yahudi (yang identik dengan bangsa, ras dan agama sekaligus) pada dasarnya menganggap agama mereka hanya untuk mereka. Ini tentu berbeda dengan orang Islam dan Nasrani yang suka berlomba-lomba mengumpulkan banyak pengikut.
Yang menarik adalah, para khatib Jumat dan penceramah agama (dan belakangan para tentara cyber Muslim) yang kerap mengutip ayat “walan tardo” jika muncul yang terkait atau dikait-kaitkan dengan “perlakuan” orang-orang Yahudi dan Nasrani terhadap kaum Muslim atau kepentingan Islam atau kejayaan Islam. Mulai dari soal serangan Israel terhadap Palestina (yang tentu saja penduduknya bukan hanya Islam), keterlibatan Amerika dalam krisis di Timur Tengah, berkembangya terorisme yang sesungguhnya sengaja disponsori oleh negara-negara Barat untuk menghancurkan Islam dari dalam, sampai urusan pilkada dan pilpres. Persoalan-persoalan politik yag sebagian besarnya bersumber dari ketidakadilan, oleh para khatib dan penceramah dan kaum “pembela Islam” itu sebagai urusan akidah. Bahkan ketika mendiang Presiden Abdurrahman dulu mewcanakan untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel, oleh para khatib ditangkal lewat ayat “walan tardo” tadi. Sampai-sampai Gus Dur pun mengeluarkan sanggahan yang tidak kalah kocaknya. Kurang lebih dia mengatakan, bahwa orang-orang Yahudi adalah orang beragama, ahli kitab pula, tidak seperti orang Soviet datau Rusia dan Tiongkok yang komunis.
Membaca ayat dengan sama sekali mengabaikan konteks, sering membawa kekeliruan dalam melihat persoalan. Tidak sedikit yang dikira sebagai problem agama, seperti pendudukan Israel atas Palestina yang sudah puluhan tahun, menjalin hubungan investasi dengan komunis Tiongkok, apalagi pemilihan kepala daerah dan presiden, sesungguhnya bukan problem akidah yang memiliki konsekwensi keselamatan di akhirat. Wallahu a’lam