Ads
Muzakarah

Makanan yang Didoai Nonmuslim

Saya tinggal di lingkungan yang banyak orang Nasraninya. Kalau mereka bikin acara (ulang tahun dan semacamnya), saya sekeluarga sering diundang. Biasanya acara disudahi dengan pembacaan doa oleh pendeta. Antara lain doanya: mudah-mudahan makanan ini diberkati Tuhan Yesus. Karena ada doa seperti itu makan saya jadi terasa tidak enak. Ada yang mengganjal. Ustadz, bolehkah saya makan makanan yang didoai seperti itu? Bagaimana kehadiran saya dalam acara tersebut dalam pandangan Islam? Sebagai tetangga, rasanya tak mungkin saya tak mungkin menolak undangan tersebut. Juga tidak baik bagi saya tidak makan makanan yang ada.

Nyonya Ani (Jakarta)  

Jawaban KH Ali Musthofa Ya’qub

Pengalaman Anda, Ibu Ani, sama dengan Abu Tsa’labah. Dia sahabat Nabi s.a.w. yang tinggal di perkampungan ahli kitab (Yahudi atau Nasrani) di  Madinah. Suatu kali ia bertanya kepada Nabi: “Kami tinggal diperkampungan ahli kitab. Apakah kami makan dari wadah mereka?” tanyanya kepada Rasulullah. (Dalam versi lain riwayat Ahmad dan Abu Daud, “Kampung kami adalah kampung ahli kitab. Mereka makan daging babi dan minum khamar. Apa yang kami lakukan dengan wadah dan periuk mereka?). “Kalau masih ada yang lain, janganlah kamu makan dengannya. Kalau tidak ada, cucilah dulu lalu makan dengannya.” Rupanya Abu Tsa’labah sering meminjam perkakas tetangganya yang Yahudi atau Nasrani itu.

Kita memang harus hidup bertetangga dengan baik. Termasuk dengan tetangga yang berlainan agama. Bersabda Rasulullah s.a.w., “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya dia menghormati tetangganya.” Kalau ada tetangga yang punya hajat dan Anda diundang, sebaiknya Anda datang. Sepanjang itu bukan acara agama, seperti acara natalan dan semacamnya. Kalau dalam acara itu ada pembacaan doa (kita kalau punya acara juga ditutup dengan doa, kan?), ya Anda tak usah ikut mengamini.

Yang jadi masalah adalah makanan yang sudah didoai. Kalau Anda merasa ragu – boleh apa tidak – sebaiknya tidak usah dimakan. Nabi telah memberi tuntunan kepada kita, “Tinggalkanlah yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu.”

Anda memang pantas untuk ragu. Karena Allah berfirman: “Dan janganlah kalian makan dari apa yang tidak disebut asma Allah terhadapnya. dan sunguh itu perbuatan fasik.” (Q. 6:121). Yang dimaksud adalah jangan kamu makan makanan yang ketika disembelih disebut selain Allah.

Memang Nabi pernah makan daging kambing hadiah dari orang Yahudi Khaibar. Tapi, mesti diingat bahwa dia orang Yahudi asli: orang yang turun-temurun beragama Yahudi, dan sudah Yahudi sebelum Nabi datang. Sedang sembelihan orang Yahudi dan Nasrani sekarang kehalalannya diperselisihkan di antara para ulama. Sebagian menghalalkan, sebagian mengharamkan.

Harus pula saya tekankan, makanan yang diberkan kepada Nabi tadi tidak dimaksudkan untuk ibadah. Setidaknya, tidak ada unsur ritual doa agama lain pada makanan itu. Sedang makanan di rumah tetangga Anda sudah bercampur dengan riual agamanya. Jadi, sebaiknya Anda tidak makan. Kalau Anda merasa tidak enak, ya makan saja makanan kecil, yang bukan daging.            

*Prof. Dr. KH Ali Musthofa Ya’qub (1952-2016), pengasuh Ma’had Pondok Pesntren Luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah, Jakarta. Guru besar Ilmu Hadis Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) ini pernah menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, dan anggota Komisi Fatwa MUI Pusat.  Sumber: Majalah Panji Masyarakat, 9 September  1998      

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading