Ads
Mutiara

Dari Sang Adviseur Honorair

Kisah  ulama besar penyokong pemerintah kolonial Belanda, yang juga sohib orientalis Snouck Hurgronje.

Mengentikan Rakyat Biasa dari Bergabung dengan Sarekat Islam. Ini judul brosur yang dikirimkan gubernemen kepada guru-guru agama di Jawa dan pulau-pulau lain. Isinya: tuduhan kepada SI, yang baru didirikan (1912) itu, sebagai kelompok yang  “tidak Islam sama sekali” dan bahwa  Tjokroaminoto, pendirinya, “tidaklah hidup sesuai dengan norma-norma Islam.”

Penulisnya: Sayid Usman Al-Alawi. Waktu itu sudah 90 tahun, sudah menulis lebih dari 50 karangan yang umumnya pendek (maksimum 20 halaman) dalam bahasa Arab dan Melayu. Kebanyakan menjawab masalah yang diajukan orang. Ia merangkap  advisieur honorair untuk “Urusan Arab”  pada pemerintah kolonial. Snouck Hurgronje menyebutnya “een Arabisch bondgenoot der Nederlandch Indische regeering” (kawan persekutan Arab untuk pemerintah Hindia belanda) atas sikapnya yang anti-jihad dan, sekaligus, anti-tarekat.

Hurgronje memang sohib Usman. Orientalis ini semula masuk Indonesia (1889) sebagai sarjana dengan kontrak penelitian untuk dua tahun, yang akhirnya diubah menjadi dinas tetap selama 17 tahun. Perkoncoan mereka berawal dari kesediaan si Sayid membantu penelitian si Rajul Muslim Hulandi (Tuan Muslim Belanda), demikian dia memanggil Hurgronje yang memiliki nama H. Abdul Gaffar itu. Tugas utamanya:  memasok informasi mengenai Islam dan perkembangannya di Indonesia. Menurut Hurgronje, Sayid menerima 100 gulden per bulan, sepertujuh gaji si orientalis, selain terkadang honor yang lebih besar untuk karangannya yang dinilai “postif”.

Usman lahir di Batavia pada 17 Rabi’ul Awal 1238 H (1822 M}. Ayahnya, Abdullah ibn  Aqil ibn Umar ibn Yahya Al-Alawi, lahir di Mekah.  Ibunya, Aminah, putri Syekh Abdurrahman Al-Misri. Semasa Usman balita, si ayah kembali ke Mekah dan dia diasuh Al-Misri. Tidak dididik di lembaga formal, dia belajar ilmu agama, bahasa Arab, adab sopan santun, dan dasar-dasar ilmu falak yang menjadi spesialis Al-Misri,  dari si kakek itu. Pada usia 18, setelah ditinggal wafat kakek, Usman berangkat haji dan menjumpai ayah dan familinya. Tujuh tahun di Kota Suci dan belajar antara lain dari ayahnya, dia lalu menuju Hadramaut dan berguru kepada beberapa ulama.

Dari tanah leluhur mereka itu, ia meneruskan belajar ke Mesir. Delapan bulan di Kairo, Usman lalu menembus Tunis, Aljazair, Iran, Istanbul, dan Suriah. Kemudian kembali ke negeri asal, beberapa tahun dan balik lagi ke Jakarta pada 1862 – sampai meninggalnya pada 1913. Salah satu karangan terpentingnya: Al-Qawaninusy Syar’iyah li Ahlil Majalisil Hukmiyah wal-Iftaiyah – pedoman  para penghulu  yang waktu itu  pengetahuan agama dan bahasa Arabnya tipis sekali – yang sejak ditulis pada1881 terus dicetak ulang, ajaib, sampai sekarang. Namun mengapa Sayid Usman anti-jihad dan sekaligus anti-tarekat?

Dia berpendapat, tak mungkin muslimin Hindia Belanda mengubah keadaan di daerah mereka. Ini memang sikap yang berbeda dari  misalnya Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (dari Minangkabau) yang menyokong pendirian Sarekat Islam dari Mekah. Atau Nawawi Al-Bantani, juga di Mekah, yang memandang pemberontakan petani di daerah asalnya (Banten) pada 1888 sebagai jihad yang diperintahkan.

Sebaliknya, dalam risalah Manhajul Istiqamah fid-Din bis-Salamah, yang juga dikirimkan Hurgronje kepada Gubernur Jenderal, 5 Juli 1890, Sayid Usman mengatakan, “Maka dari itu diketahui bahwa perbuatan bikin rusuh negeri, sebagaimana yang telah jadi di Cilegon, Banten, dan yang dahulu di Bekasi, sekalian itu batil, bukan jihad, sebab tiada syarat-syaratnya, melainkan perbuatan begitu rupa melanggar agama dengan menjatuhkan beberapa banyak darurat pada orang-orang sebagai yang telah terjadi dahulu d negeri Jeddah.”  Usman memang sering merujuk peristiwa kerusuhan dan pembunuhan orang-orang  Kristen di Jeddah, 1858, yang diikuti hukuman keras Sultan Turki kepada para pemuka Muslim yang terlibat.

Dan ia tidak sendirian. Pada 1894, ia menyerahkan fatwa mufti Johor, Salim bin Muhsin bin Abu Bakr Al-Attas, kepada Hurgronje. Isinya, antara lain, mengharuskan orang Aceh menghentikan perjuangan melawan Belanda, karena besarnya kerugian Islam dan muslimin.

Baik Khatib maupun Nawawi adalah penentang tarekat yang dinilai  menyimpang. Nah. Jika dengan Syekh Khatib Sayid Usman pernah terlibat polemik sengit sehingga —   tak mengherankan —    Hurgronje punya pandangan miring mengenai Ahmad Khatib, kepada Syekh Nawawi Usman pernah minta tashih (rekomendasi) untuk bukunya An-Nasihat  ‘alan-Niqat yang menentang tarekat yang dipraktekkan Syekh Ismail Minangkabau. Dalam karangan itu memang dicantumkan: “Ini tashih daripada Syekh Nawawi yang alim di negeri Mekah. Setelah dikasih lihat itu kitab kepadanya, maka inilah katanya: memuji ia akan itu kitab dan menyatakan kesalahan Syekh Ismail Minangkabau.” Tapi adakah motif lain di balik kejengkelan Sayid Usman kepada tarekat?

Pada pertengahan kedua abad ke-19, seperti diungkapkan oleh Sejarawan Sartono Kartodirdjo, beberapa tarekat berpengaruh (Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syatariyah) cenderung berusaha memperoleh kekuasaan politik. Kenyataan wibawa mereka yang sangat besar atas para penganut punya arti politis yang penting. Praktis kantong-kantong gerakan tarekat juga pusat-pusat protes politik, dan kekuatan inherennya menyebabkan protes itu menempuh jalan ekstrem. Inilah, tampaknya, yang dinilai Sayid Usman hanya merugikan kaum muslimin.

Tarekat memang tidak (selalu) berarti sikap pasif. Namun, yang unik adalah ini:  tahukah Anda, pada masa awal reformasi, di Garut, Jawa Barat, jamaah Tijaniyah mengumumkan ordo mereka sebagai “tarekat reformasi”?             

Sumber: Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Perkembangan Islam di Indonesia Abad ke-!9  (1984); P.S. van Koningsveld, Snouck Hurgroje dan Islam (1989); Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 (1984). 

Tentang Penulis

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading