Saya pernah mendengar, Kalangan profesional juga wajib zakat yaitu dari gajinya. Sebagai seorang karyawan swasta di Jakarta dengan pendapatan sekitar Rp 60 juta per tahun, apakah saya terkena kewajiban zakati Bagaimana perhitungannya? Saya beristri dan telah dikaruniai seorang balita.
Selain itu, saya sempat terpikir untuk mengambil seorang keponakan di kampung—wanita lulusan SLTA, yatim piatu—untuk saya jadikan anak asuh di Jakarta. Saya berniat akan menyekolahkan dia dengan biaya sepenuhnya dari saya, tinggal bersama keluarga saya, dan ikut membantu menangani pekerjaan rumah. Bolehkah biaya anak asuh itu saya niatkan sebagai zakat? Adakah prosedur yang harus saya lalui?
Muhammad Bashir Jakarta
Jawaban
M. Syafi’i Antonio, Pakar Ekonomi Islam
Para ulama kontemporer seperti Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahhab Khallaf, dan Abdul Rahman Hasan, sepakat bahwa kekayaan dan penghasilan yang diperoleh dari berbagai usaha profesi wajib dikeluarkan zakatnya sebagaimana ketentuan zakat mal lainnya. Kesepatakan ini diambil dalam seminar internasional di Damaskus pada 1952. Sayangnya, hasil seminar tersebut kurang tersosialisasi dengan baik. Sehingga, selama ini, yang dikenal oleh masyarakat awam adalah zakat yang dikenakan pada sektor konvensional, seperti sektor pertanian, perdagangan, peternakan atau perikanan, emas atau perak, dan harta temuan.
Namun, zaman sekarang, pendapatan tidak hanya diperolah dari kelima sektor tersebut, bahkan komoditas yang diperdagangkan pun sangat bervariasi seperti komoditas komputer, telepon genggam, otomotif, dan berbagai produk berteknologi tinggi lainnya. Begitu juga halnya, dengan komoditi jasa seperti jasa konsultan, rekayasa, hiburan, kesehatan, transportasi, dan informasi. Dalam sektor modern tersebut, penghasilan yang diperoleh pada umumnya berlipat-lipat dibanding sektor konvensional. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (Q.S. 2:267).
Adapun nisabnya adalah 85 gram emas. Kalau satu gram emas dihargai Rp500.000, maka nisabnya Rp42.500.000. Jadi, siapa saja orangnya yang penghasilannya dalam satu tahun mencapai Rp42.500.000 atau lebih, tentu ia sudah dikenai ketentuan wajib zakat.
Untuk menghitungnya, ada dua pendekatan yang bisa digunakan. Pertama, didasarkan pada hasil pendapatan bersih. Misalnya, setelah dikurangi dengan berbagai biaya kebutuhan hidup, baik itu berupa biaya sekolah anak, pakaian, kredit rumah, orangtua yang wajib dibiayai, dan sebagainya
Nah jika nanti sisanya masih di atas Rp42,5 juta, zakat yang harus dikeluarkan adalah 2,5% dari sisa penghasilan tadi. Cara pertama ini selain memerlukan perhitungan yang jeli juga memiliki sisi kelemahan mengingat belum adanya angka pengurangan yang standar. Misalnya, apakah biaya makan di restoran mahal dan cenderung berlebihan juga menjadi faktor pengurang.
Cara kedua, yakni langsung mengeluarkan zakat sebesar 2,5% dari total penghasilan kotor. Jumlah zakatnya tentu akan menjadi lebih banyak dari yang seharusnya sebab belum dipotong dengan biaya kebutuhan hidup lainnya. Tapi ini akan lebih baik daripada zakat kita pas-pasan atau mungkin malah kurang akibat salah menghitung. Kelebihan zakat pada cara kedua ini bisa saja kita niatkan untuk sedekah. Apalagi di dalam harta kita sebenarnya ada hak orang lain sebagaimana firman Allah, “Dan pada harta- harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (Q.S. 51:19).
Mengenai rencana Anda memberikan zakat kepada keponakan, tidak masalah. Tapi, sebelumnya harus dipastikan dulu keponakan itu dalam tanggungan siapa. Apakah keponakan itu menjadi tanggung jawab kita atau bukan. Kalau pihak yang menjadi tanggung jawab kita, seperti anak, istri, maka kita tidak dibenarkan memberi zakat kepadanya. Namun kalau bukan keluarga langsung atau bukan menjadi kewajiban kita, tetapi itu merupakan inisiatif kita sendiri, maka dia (keponakan) termasuk salah satu pihak yang boleh menerima zakat.
Bentuk zakat yang diberikannya boleh bermacam- macam. Bisa dengan memberikan biaya untuk sekolah kursus, atau langsung dalam bentuk uang. Namun jikalau anak itu kita jadikan sebagai pembantu di rumah, perlu dihitung juga gajinya. Dan besarnya zakat yang dikeluarkan harus dipisahkan dengan gaji tersebut, jangan sampai tercampur. Karena dia memberikan servis kepada kita maka kita harus membayarkan gajinya tersendiri terpisah dari zakat yang kita berikan.