Ads
Jejak Islam

Melacak Jejak Perguruan Tinggi Islam (I): Gagasan Semitis Versus Gagasan Hellenis

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Kalau cuma ’’Perguruan Tinggi’ saja memang hampir tak mengundang silang pendapat. Maksudnya kurang lebih: lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan formal pada jenjang di atas pendidikan tingkat lanjutan. Tapi, akan lain halnya dengan ’’Perguruan Tinggi Islam”. Dengan adanya tambahan “Islam’, agaknya, istilah tersebut memerlukan kerangka penjelas (konstruks) yang lebih khusus. Agar maksud yang tercakup di dalamnya bisa dibatasi sesuai dengan konteks pembahasan.

Dalam tulisan ini, ditawarkan konstruks perguruan tinggi Islam sebagai perguruan tinggi di mana para inisiatornya dari kalangan Islam, pendirian serta penyelenggaraannya disemangati oleh keinginan untuk mengejawantahkan nilai-nilai keislaman. Konstruks ini dengan sendirinya tidak memasukkan perguruan tinggi yang hanya menjadikan agama Islam sebagai mata kuliah sebagai perguruan tinggi Islam. Sebagai Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU), misainya. Begitu pula dengan perguruan tinggi yang secara khusus menjadikan Islam hanya sebagai bidang kajian. Sekalipun dengan perangkat dan kawasan kajian yang sangat memadai. Seperti yang terdapat pada beberapa perguruan tinggi Barat. Misal saja: Universitas Sorbonne di Paris, Universitas McGill di Montreal; dan Universitas Chicago.

Tetapi The Islamic Institut of Advanced Studies yang berkedudukan di Washington D.C. barangkali termasuk perguruan tinggi islam. Para perintisnya, memang, dari kalangan muslim. Antara lain, ada DR. Ismail Al-Faruqi yang beberapa waktu lalu meninggal terbunuh itu.

Meluluk perguruan tinggi Islam di Indonesia cukup gampang. Bisa melalui nama-nama yang disandang. Sebagian secara eksplisit mencantumkan “Islam”. Misalnya, Universitas Islam Bandung (Unisba), Universitas Islam Indonesia (UII) dan seterusnya Sebagian lagi mengambil nama tokoh pejuang muslim: Universitas Ibnu Khaldun, Universitas Hasyim Asy’ari, dan IAIN-IAIN pun seperti berparade menggunakan nama-nama para Wali. Sebagian lagi memakai nama organisasi Islam, yang ini sangat menonjol dilakukan oleh Muhammadiyah. Di mana-mana bertabelkan “Muhammadiyah”,

Sekalipun perguruan-perguruan tinggi tersebut tidaklah selalu terdiri dari, bahkan sedikit yang memiliki, fakultas dan jurusan agama.

Hellenis dalam Islam
Pendidikan adalah selalu merupakan penjelmaan dari fenomena sosial yang sedang dan selalu bergerak. Itu kesimpulan yang sengaja kami pinjam dari Emile Durkheim (dalam Power and Ideology in Education, 1977). Dalam menelaah pendidikan karena itu, katanya, harus selalu mendudukkan permasalahannya dalam konteks masyarakat yang luas. Dalam melacak jejak perguruan tinggi Islam ini sedikit banyak kita akan merujuk kesimpulan Durkheim tersebut. Terutama kita akan memedulikan tentang pergumulan orientasi pemikiran yang terjadi di dalam masyarakat Islam, yang pada gilirannya — pergumulan itu — mengejawantah dalam jejak langkah perkembangan perguruan tinggi yang dibangunnya.

Sebagaimana laiknya manusia, perguruan tinggi Islam tidak begitu lahir lantas punya kumis. Adalah berembrio dari adanya fungsi-fungsi studi purna yang dilakukan oleh sementara cendekia muslim untuk berusaha lebih mendalami dan mengembangkan ajaran islam. Dari fungsi-fungsi ini muncul lembaga-lembaga, sebagai wadah. Namun lembaga-lembaga ini belum memisahkan antara fungsi studi purna dengan fungsi studi di bawahnya. Ini tampak dari lahirnya Universitas Al-Azhar di Mesir sebagai perguruan tinggi Islam tertua. Semula ia hanya sekolah agama biasa.

Gairah studi purna, mencapai puncaknya pada sekitar abad ke-10. Tatkala para cendekia muslim, dengan disponsori oleh penguasa waktu itu, menyadap dan mengembangbiakkan gagasan Hellenis, yang berasal dari Yunani Klasik. Ciri menonjol dari gagasan ini adalah pemberian porsi yang amat besar — kalau tidak malah tak terhingga — terhadap otoritas akal; sikap rasional; serta ’’gandrung’’ pada ilmu-ilmu ‘’sekuler’’.

Tak ayal, gagasan Hellenis yang kian berkobar ini bertabrakan dengan gagasan Semitis, yang telah lama ada dan mendominasi alam pikiran kaum agamawan. Khususnya agamawan dari rumpun ’’Agama Rasul” atau dalam terminologi skolastik disebut agama langit. Terutama terdiri dari tiga agama besar yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam. Ciri gagasan Semitis ini adalah pemberian porsi yang amat besar kepada otoritas wahyu; sikap patuh terhadap dogma; serta berorientasi pada ilmu-ilmu keagamaan. Beberapa cendekiawn muslim Hellenis yang banyak meletakkan tonggak bagi perkembangan ilmu-ilmu sekuler antara lain Al-Kindi (801 M), Al-Farabi (870 M), Ibnu Sina (980 M) dan Ibnu Rusyd (1126 M).

Namun, sejarah mencatat, bahwa menggelindingnya semangat Hellenis ini dapat dihadang oleh cendekiawan muslim Semitis yang didukung-kuat oleh masyarakat muslim yang sudah lama dirasuki gagasan ini juga. Peristiwa yang amat monumental dari pertarungan antara Semitis versus Hellenis dalam Islam diwakili oleh Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Yang pertama sebagai pembela Semitis yang waktu itu dirinya sedang “naik daun”, dan yang kedua pejuang gagasan Hellenis yang gigih.
Pertarungan gagasan tersebut terekam dalam buku Tahafutut al-Falasifah, yang kalau kami boleh menerjemahkan agak bebas .Rancunya Kaum Rasionalis” yang berisi serangan Al-Ghazali, dan Tahafutut at- Tahafut atau “Rancunya Orang yang Menuduh Orang Lain Rancu”, yang berisi tangkisan Ibnu Rusyd.

Universitas Studiosorum
Ketika gagasan Hellenis mengalami pemberangusan besar-besaran di dunia Islam, di Barat terjadi sebaliknya. la disambut dengan ramah. Maka berdatanganlah para cendekiawan Muslim Hellenis ke sana menjadi tenaga dosen. Waktu itu bertepatan dengan adanya upaya melembagakan pendidikan tinggi di Barat yang lepas dari tingkat pendidikan yang lebih rendah.

Salah satu pola pelembagaannya adalah apa yang disebut “Universitas Studiosorum”. Yaitu perguruan tinggi yang dimulai dari adanya sekelompok mahasiswa, dan mereka mendatangkan dosen dengan keahlian yang sesuai dengan yang mereka kehendaki. Universitas Montpelier dan Universitas Bulogne adalah dua di antaranya yang mengembangkan pola ini, dan banyak mengundang dosen muslim Hellenis.

Di antara dosen Muslim Hellenis di Barat yang sangat beken adalah Ibnu Rusyd. Buku karangannya Al- Kulliyat adalah berisi tentang Dasar-dasar IImu Medis yang pembahasannya sangat piawai menurut ukuran waktu itu. Ada sementara dugaan bahwa kata “College” (sekolah tinggi) adalah berasal dari nama buku tersebut, yang semula diterjemahkan dalam bahasa Latin “Collegiate”. Bahkan kata “Kuliah” yang dikenakan kepada mahasiswa kita, menurut Prof. Oemar Amin Hoessein juga berasal dari nama buku itu.

Hal itu sangat mungkin mengingat IImu Kedokteran, di samping Filsafat, memang menjadi bidang studi utama pada masa awal pertumbuhan perguruan tinggi. Tatkala pengkotak-kotakkan ilmu menjadi fakultas-fakultas di universitas belum ada setidak-tidaknya belum terlalui.

Kaum pemuka gereja dan cendekiawan Nasrani yang Semitis melihat ada bahaya di balik pola “Universitas Studiosorum” ini. Karena pola ini membuka peluang masuknya para dosen “murtad’” pembawa ajaran “Setan’’. Lebih-lebih jika dosen itu muslim. Karena itu pengadangan pun dilakukan. Namun, hasilnya tidak menggembirakan di dunia Islam.

Salah satu bentuk pengadangan mereka adalah membangun perguruan tinggi dengan pola “Universitas Magistorum”. Dengan pola ini, bukan mahasiswa yang mengundang dosen, tetapi dosenlah yang berkumpul dan mengundang atau didatangi mahasiswa. Dengan pola ini, maka tidak sembarang dosen dan segala bidang studi bisa masuk. Tentu yang lolos adalah yang mendapat legitimasi dari gereja, yang didominasi Kristen Semitis. Dua pola tersebut akhirnya bergeser dari motif dasar dan wataknya semula.

“Universitas Studiosorum”, akhirnya, menjadi watak sebagian besar kampus di Inggris dan terutama Amerika Serikat. Karena itu, disebut juga “Anglo System”. Kampus berwatak ini bukan hanya mengutamakan ilmu sekuler saja tapi lebih jauh, mengedepankan kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu terapan. Ini disebabkan oleh besarnya campur tangan masyarakat, dalam hal ini kaum kapitalis dan industrialis terhadap kampus. Ada jalinan saling berkepentingan. Satu pihak kampus disponsori biaya penyelenggaraan pendidikannya, di pihak lain, para kapitalis dan industrialis menuntut kampus agar menghasilkan penemuan rekayasa dan ilmu terapan sesuat dengan kebutuhan pengembangan industri dan usaha mereka.

Adapun “Universitas Magistorum” dengan menanggalkan watak Semitisnya, menjadi ciri khas kampus Eropa daratan. Karena itu disebut juga “Continental system”. Dan sisa watak Semitisnya terpantul dalam sifat ortodoks dan puritan terhadap pengembangan ilmu. Misalnya tercermin dalam semboyan:
“Ilmu untuk ilmu”, “Kampus menara gading” dan sebagainya.

Merebut Kembali yang Hilang
Barangkali pembahasan ini sementara agak terlampau melebar. Kurang fokus pada masalah perguruan tinggi Islam itu sendiri. Ini memang disengaja sehubungan dengan kesimpulan sementara yang akan kami ajukan.

Bahwa apa yang terjadi dewasa ini di dunia Islam, adalah tumbuhnya perguruan tinggi yang berpaling, kalau tidak bisa dibilang mengkiblat, pada perguruan tinggi Barat, terutama Amerika Serikat. Ini bisa diluluk dari arus literatur yang masuk, serta gelombang tenaga pengajar yang bertugas belajar ke sana.

Berbagai gagasan pun terlontar dari para inisiator pendidikan Islam, yang intinya bahwa disiplin ilmu agama dan disiplin ilmu “sekuler” harus seatap. Bahkan sebadan. Drs. M. Djazman, ketua Majelis Pendidikan Tinggi PP Muhammadiyah, menyebutnya sebagai ‘Islamisasi kurikulum’. Sedangkan Menteri Agama H. Munawir Sjadzali melontarkan perlunya mencetak “Ulama plus”, termasuk program belajar dosen IAIN, bukan ke Timur Tengah, tapi ke negara-negara Barat terutama Amerika Serikat.

Apakah kecenderungan semacam ini dilandasi oleh kegairahan merebut kembali sesuatu yang telah pernah hilang? Sesuatu yang kini nyaris dimonopoli oleh dunia Barat. Sesuatu di mana !bnu Rusyd, Ibnu Sina dan sarjana Hellenis lain, dahulu sebagai peletak dasarnya?

Memang, agaknya terlampau tergesa-gesa untuk memberikan jawaban yang mendekati kepastian. Bersambung

Penulis: A. Malik Fadjar (1939-2020) dan Muhadjir Effendy
Sumber: Panji Masyarakat, 1 Oktober 1986.

Catatan Redaksi: Artikel ini ditulis ketika A. Malik Fadjar dan Muhadjir Effendy menjadi dosen di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), tempat kedua tokoh ini pernah menjadi rektor. Keduanya juga pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sebelum Mendikbud, Malik Fadjar menjabat Menterri Agama. Sedangkan Muhadjir, setelah Mendikbud kini menjabat Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK).

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading