Telah banyak ditulis dan menjadi bahan nostalgia tentang zaman keemasan Islam, di mana kita membanggakan sumbangan Islam terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Tapi biasanya apa yang disebut sebagai zaman keemasan Islam itu, ialah yang terlihat di Baghdad di zaman Khalifah Abbasiyah dan Islam yang telah menyebar ke Persia dan Eropa, jauh setelah zaman Nabi dan zaman Khalifah Rasyidin. Sedikit sekali kita mengetahui tentang kegiatan ilmiah di zaman awal sejarah Islam. Para sahabat yang dekat dengan Nabi dikenal riwayatnya sebagai pahlawan-pahlawan perang belaka, bahkan kepahlawanan para sahabat yang berasal dari gurun pasir itu, diasosiasikan dengan orang-orang Badui yang kasar yang menjarah ke bagian bagian dunia lain untuk mencari kekayaan.
Dr. Mohammad Amin dalam bukunya Fajar Islam yang terbit di Kairo, Mesir, dan diberi pengantar oleh Dr. Thaha Hussein, telah menyingkapkan dengan panjang lebar perihal sahabat-sahabat Nabi yang dalam upaya penyebaran dakwah Islam menekuni bidang keilmuan, di mana Nabi Muhammad sendiri menjadi pendorongnya.
Terkenal hadis-hadis yang menganjurkan pengikutnya agar menuntut ilmu, dari lahir sampai mati. Tuntutlah ilmu meskipun ke negeri Cina, dar lain-lain.
Menurut Dr. Mohammad Amin, perkembangan Islam sangat memerlukan orang-orang yang berilmu pengetahuan. Malah Rasulullah sendiri menggalakkan para sahabatnya mempelajari bahasa asing. Dalam kitab ’Al-Bukhari diriwayatkan bahwa Zaid bin Tsabit mengatakan, “Saya menemui Nabi ketika beliau tiba di Madinah, dan saya diperkenalkan sebagai seorang Bani Najjar. Nabi mengucapkan 17 surat, dan kemudian saya membacanya kembali di hadapan Nabi. Beliau tertarik mendengarnya dan kemudian berkata, “Belajarlah menulis bahasa Yahudi karena belum terjamin surat-suratku sampai kepada mereka.’’ Zaid kemudian belajar bahasa Yahudi dan dalam waktu yang tak begitu lama dia bisa berbicara dan menulis huruf Yahudi. ’’Saya menulis surat-surat Rasulullah untuk orang Yahudi dan saya membaca segala surat-surat berbahasa Yahudi yang dikirimkan mereka kepada Nabi,’’ cerita Zaid bin Tsabit. Dalam sejarah Nabi, Zaid inilah yang menjadi sekretaris Beliau.
Setelah menaklukkan negeri-negeri lain di luar jazirah Arab, maka orang Arab Muslim itu menjadi bangsa yang memerintah. Terutama di zaman Tabiin (generasi setelah Sahabat), kepandaian baca tulis di kalangan orang Arab telah mulai merata, dan mereka pun telah cakap menjalankan administrasi pemerintahan.
Seorang tabiin, menceritakan, “Saya duduk di majelis para sahabat Nabi. Mereka pama sebuah kolam air yang dapat memberikan minum kepada orang lain. Ada di antaranya yang hanya dapat memberikan air untuk seorang saja, ada yang bisa memberi untuk 10 orang, ada yang seratus orang. Namun tak sedikit di antaranya yang dapat memberikan air untuk seluruh penduduk di sebuah negeri’’.
Di antara para sahabat Nabi itu, enam atau tujuh orang dianggap sebagai ahli ilmu kelas pertama. Mereka ialah Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit dan Siti Aisyah. Mereka yang disebutkan namanya itu adalah dari kalangan Quraisy kecuali Ibnu Mas’ud dan Zaid. Ibnu Mas’ud orang Huzail, dan Zaid bin Tsabit orang Ansar. Kata Mas’ud, saya perhatikan lagi, yang paling ulung ialah Ali dan Abdullah.
“Yazid Umairah al-Siksaki, murid dari Mu’az bin Jabal mencentakan bahwa ketika dekat sampai ajalnya, Mu’az menyuruh muridnya menuntut ilmu kepada empat orang, yaitu Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Salam, Salman Al Farisi dan Abu Darda’. Kita melihat kelebihan masing-masing para sahabat Nabi itu dalam berbagai bidang ilmu dan ternyata pula perbedaan panhori di antara mereka adalah soal yang lumrah belaka.”
Pokok dan Tokoh
Nama-nama yang disebut di atas, boleh dianggap sebagai ’’pokok dan tokoh’’-nya cendekiawan di kalangan sahabat Nabi, dan setingkat di-bawah itu tak kurang dari 20 orang lagi, dan lebih dari 120 orang yang lain dikenal sebagai peminat ilmu pengetahuan.
Setelah membaca sejarah para sahabat Nabi itu di bidang ilmu pengetahuan, dan terlebih memperhatikan golongan pertama, kita melihat keistimewaan dan watak-watak masing-masing mereka yang berbeda. Misalnya Umar bin Khattab. Beliau tidak banyak memberikan tafsiran terhadap Al-Qur’an, Umar juga tidak banyak mengumpulkan hadits-kadits seperti yang lain. Ke’stimewaan Umar kekuatan ijtihadnya, ketepatannya untuk menentukan keputusan dan ketajamannya mengenali yang adil dan zalim. Umar juga dikenal berpandangan amat luas terhadap dunia di sekitarnya. Abu Dzar mengatakan, bahwa dia mendengar Rasulullah pernah berkata: ‘’Allah meletakkan kebenaran pada lidah Umar, bila dia mengatakan sesuatu.’’ Sejak Nabi masih hidup, Umar telah memberikan fatwa kepada orang banyak, banyak hukum yang diputuskan Umar dalam berbagai masalah, dan dia seolah-olah pandai meramal tentang tingkah laku orang lain.
Dalam Al-Aqdul Farid, bahwa Abdullah bin Abbas ialah seorang sahabat Umar bin Khattab yang dikasihinya. Meskipun Abdullah bin Abbas sahabatnya yang paling intim, ketika Umar menjadi Khalifah dia menolak Abdullah untuk menduduki sesuatu jabatan dalam pemerintahannya. Umar menjelaskan alasannya: “Saya ingin mengangkatmu menjadi pejabat negara, tapi saya khawatir kamu akan menghalalkan barang-barang rampasan perang dengan alasan-alasan takwil.’’ Demikian Umar menilai watak sahabatnya, demi kepentingan negara.
Tilikan Umar itu benar, tatkala Sayidina Ali menjadi khalifah, beliau mengangkat Abdullah sebagai penguasa di Basrah. Abdullah menghalalkan barang-barang rampasan perang dari musuh yang ditaklukkan dengan dasar takwil ayat Qur’an: ’’Ketahuilah olehmu bahwa sesuatu yang telah kamu rampas dari musuh adalah seperlimanya untuk Allah, Rasul dan keluarganya.”
Di masa Umar pula meluasnya kekuasaan Islam Arab, banyak soal-soal kenegaraan yang rumit yang belum pernah terjadi di zaman Rasulullah dan Khalifah Abu Bakar, dapat diselesaikan oleh Umar dengan mengagumkan. Sebaliknya putra Abdullah bin Umar, seorang ulama di zaman Rasul, memperlihatkan pada kita gambaran lain dari ayahandanya. Abdullah yang satu ini adalah seorang pengumpul hadis, dia pergi ke mana saja untuk mencari hadis-hadis Nabi. Abu Ja’far mengatakan; “Di antara para sahabat yang mendengarkan hadis-hadis Rasulullah, tiada seorang pun dari mereka yang lebih tepat dari Abdullah bin Umar bin Al-Khattab. ia tidak menambah dan tidak mengurangi.”
Tetapi Al-Sya’abi mengatakan: ’’Abdullah mahir tentang hadis-hadis, tetapi dia tidak pandai dalam fikih. Disebabkan sifatnya yang wara’ serta takutnya kepada Tuhan, ia tidak suka mengeluarkan fatwa, serta menjauhkan diri dalam huru-hara dan fitnah.”
Keistimewaan Ali adalah dalam bidang ilmu hukum, oleh sebab itu Rasulullah mengangkat Ali menjadi Kadi di Yaman. Pendapat-pendapat Ali dalam bidang hukum yang muskil menimbulkan rasa kagum, sehingga ada pepatah: ’’itulah sebuah keputusan, di mana Abu Hassan (Ali) diberikan kekuasaan.’’
Alqamah mengatakan bahwa Abdullah mengatakan, ”Kami telah berbincang-bincang, bahwa di antara orang-orang di Madinah, Ali-lah yang paling mahir tentang hukum.’’ Ali juga menumpahkan perhatiannya pada kitab Al-Qur’an, tafsirnya dan sebab-sebab turunnya ayat. Dalam hal ini Abdullah bin Abbas banyak belajar pada Ali.
Adalah akan terlalu panjang jika kita menyebutkan keistimewaan ilmu dan watak-watak para sahabat itu. Abdullah bin Mas’ud, Mu’az bin Jabal, Abu Dzar, Abu Darda’ dan Abu Musa Al-Asy’ari, mereka memili<i keistimewaan dan bakat masing-masing yang paling melengkapi.
Diceritakan bahwa Abu Al-Bahtari dan beberapa temannya menemui Ali untuk bertanya tentang sahabat-sahabat Nabi Muhammad. Maka Ali bertanya: “Tentang siapa?”
“Tentang Abdullah bin Mas’ud,” jawab mereka
“Abdullah bin Mas’ud ahli tentang Al-Qur’an dan hadis. Kemudian dia berhenti sekadar pengetahuan itu saja, jawab Ali.
“Terangkanlah tentang Abu Musa?”
”Dia amat pandai tapi kemudian dia melepaskan ilmu.”
“Bagaimana tentang Ammar bin Yasir?”
“Dia seorang yang teguh imannya, tapi pelupa, dan mengingatnya kembali setelah diberi ingat.”
“Bagaimana tentang Huzaifah?”
“Keistimewaannya di arntara para sahabat Rasulullah ialah, dia amat mengetahut orang-orang yang munafik?”
“Bagaimana dengan Abu Dzar.”
“Dia mengapal ilmu-ilmu, kemudian ia lupa pada ilmu itu.”
:Sekarang terangkanlah tentang Salman Al-Farisi.’’
’’Ia amat mendalami ilmu zaman dahulu dan zaman sekarang. Ia sebuah lautan ilmu yang dalam. Kami keluarga Nabi tidak pernah menduga akan kedalaman ilmu Salman.”
’’Sekarang terangkanlah tentang dirimu sendiri. Ya Amirul Mukminin.”
”Itu kan yang kamu kehendaki? Bila saya menanyakan sesuatu kepada Rasulullah, ia memberikan saya sesuatu jawaban. Kalau saya diam, Nabi mengajak saya berbicara agar saya memahami segala sesuatu.”
Abdullah bin Salam dan Salman Farisi
Dua orang yang terkenal sebagai ahli ilmu di zaman Nabi ialah Abdullah bin Salam dan Salman orang Persia.
Abdullah bin Salam asalnya beragama Yahudi, Ia hidup dan dididik dalam lingkungan Yahudi. Ia masuk Islam setelah Rasulullah Hijrah ke Madinah, menurut satu keterangan ia juga menyertai Umar ke Syam. Dia dikenal pula sebagai orang penyokong Usman yang dalam masa kekuasaannya banyak mendapat kritik. Abdullah meninggal tahun 40 Hijrah.Dia dikenal di kalangan sahabat karena kedalaman ilmunya. Mu’az menganggapnya sebagai salah seorang dari empat orang ahli ilmu yang pantas dihormati. Terutama ilmu tentang Taurat. Abu Hurairah dan Anas bin Malik memetik hadits dari Abdullah. Pendek kata Abdullah bin Salam mewakili satu jurusan ilmu terutama yang menyangkut tentang Taurat yang ada pengaruhnya dalam masyarakat waktu itu.
Mengenai Salman Al Farisi, dikatakan sebagai seorang yang sebelum masuk Islam telah menganut beberapa agama lain.
Pada mulanya Salman menganut agama Majuzi yang taat, dan dia bertugas sebagai penjaga api yang dinyalakan oleh kaumnya. Kemudian dia pindah memeluk Kristen, dan berhubungan dengan pendeta pendeta agama itu. Sesudah itu dia menjadi hamba seorang Yahudi Bani Qurasy . meskipun dia tidak memeluk agama Yahudi. Akhirnya dia menganut Islam dengan ketaatan pula. Diceritakan pula, bahwa sebelum masuk Islam banyak mengembara di beberapa negeri. Menurut sari riwayat negeri asalnya. ialah Isfahan, kemudian dia pindah ke Syam karena mempelajari agama Kristen yang sempat dipeluknya. Dia kemudian pindah lagi ke Mausul, ke Nasibain, ke Amuriah di negeri Rum, dan kepergiannya menuju Semenanjung Arab, – karena keinginannya hendak mempelajari agama Islam. Setelah singgah di Wadil Qura, dia ditawan oleh Kaum Kalb, dan dia dijual kepada kaum yang lain. Dan dibawa oleh tuannya itu Dia sampai di Madinah, menjadi penganut Islam.
Dari pengembaraannya dan perpindahan agama itu, Salman banyak mengetahui berbagai agama dan ilmu sejarah. Itulah yang dimaksud oleh Ali; Kita mempunyai seorang Lukman Hakim, yang mengetahui ilmu zaman dahulu dan ilmu zaman sekarang. la membaca buku-buku zaman dulu dan juga buku zaman sekarang. Ia lautan ilmu yang tak pernah kering.”
Pada akhir hayatnya Salman menjalani kehidupan sebagai orang yang wara dan zuhud, dan dia mengakhiri hayatnya di zaman pemerintahan Usman di Madain.
Dalam pandangan orang senegerinya Persia, Salman amat dibanggakan, sebagaimana tokoh Bilal bagi orang Habasyah (Ethopia) dan Suhaib bagi orang Rum. Golongan sufi menganggap Salman sebagai salah seorang imam mereka, dan orang-orang Syi’ah mengaitkannya dengan Ali dan Hasan-Husein. Sampai sekarang orang-orang Persia banyak yang menganggap dirinya sebagai keturunan Salman.
Itulah beberapa sahabat-sahabat Nabi yang ilmunya menyebarkan dakwah Islam. Mereka menye. barkan ilmu Islam keluar dari jazirah Arab. Rasulullah telah mengutus mereka ke Yaman Bahrein. Begitupun Khalifah Umar meneruskan pengiriman ulama-ulama itu di beberapa negeri yang ditaklukkannya. Salim bin Abdullah mengatakan: ’’Pada hari kematian Zaid bin Tsabit, saya bersama dengan Ibnu Umar, lalu saya berkata: ’’Seorang alim telah meninggal.’’ Ibnu Umar melanjutkan: ’’Moga-moga Allah memberikan rahmat kepadanya. Zaid memang sealim-alim manusia. Orang-orang alim telah disebarkan oleh Umar ke beberapa negeri.’’
Ketika Mu’az bin Jabal bertolak ke Syam, Uma Bin Kattab berkata: ’’Kepergian Mu’az mengosong kan kota Madinah serta penduduknya, karena dialah yang mengisi kota ini dengan ilmu figh dan fatwa-fatwanya.”
Para sahabat itu, di negara-negara di masa diad. tempatkan senantiasa mengadakan kegiatan ilmiah. Mereka mendirikan. sekolah di mana para muridnya mempelajari berbagai Ilmu.
Dengan membaca riwayat di atas, jelaslah bahwa. sanya penyebaran Islam tidak selamanya dilakukan dengan kekerasan, dan kalaupun pada mulanya terjadi peperangan, tetapi selalu diiringi dengan upaya mencerdaskan penduduk, terutama pemahaman terhadap Islam secara ilmiah.
Sumber: Panji Masyarakat, No. 356/ 11 April 1982