Ads
Jejak Islam

Majalah Al-Munir (2): Cikal Bakal Media Islam Indonesia

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh gerakan pembaharuan Islam yang dipelopori oleh Sayid Jamaluddin, Abduh, Ridha, di Timur Tengah terhadap ulama-ulama muda Minangkabau itu perlu kita lihat hubungan pribadi mereka dengan Syekh Taher Jalaluddin, yang menerbitkan majalah Al-Imam di Singapura. Syekh Taher dilahirkan di desa Empat Angkat, adalah saudara sepupu dari Syekh Ahmad Khatib, yang dianggap sebagai guru besar sejumlah ulama-ulama Indonesia Mengikuti Syekh Khatib yang telah lebih dulu mukim di tanal suci, Taher pun tinggal di Makkah selama 15 tahun dan dari Makkah dia terus ke Mesir dan belajar di Universitas Al-Azhar. Di sana dia beroleh Syahadah Alimiyah, terutama dalam keahliannya yang sangat menonjol di bidang ilmu falak. Selama di Mesir Syekh Taher bergaul rapat dengan Rasyid Ridha pemimpin majalah Al-Manar yang terkenal itu.

Dari Mesir Taher kembali ke Mekkah menyertai Syekh Khatib mengajar di Masjidil Haram sebelum kembali ke Singapura. Tahun 1906 dia menerbitkan majalah Al-Imam di Singapura bersama Muhammad Al-Kalali seorang turunan Arab yang sepaham. (lihat Hamka, Islam dan Adat Minangkabau’, yang dibaca luas oleh ulama-ulama muda Indonesia khususnya ulama Minangkabau.

Majalah Al-Imam itu berhenti terbit tahun 1909, dan Al-Munir muncul sesudahnya yaitu tahun 1911. Dengan demikian jelasiah kesinambungan semangat pembaruan oleh majalah itu.

Berkali-kali Syekh Taher pulang dan selalu beroleh sambutan hangat dari ulama-ulama kaum muda di Minangkabau.

Isi Al-Munir

Selain dari yang kita kutip dari buku Prof. Dr. Deliar Noer di atas, isi Al-Munir yang mendapat perhatian pembaca, agaknya rubrik Tanya Jawab mengenai hukum-hukum agama, kita katakan mendapat perhatian, karena menurut teori jurnalistik modern, surat pembaca atau “’letter to the editor’’ adalah barometer untuk, mengetahui arti ’’feed back’’ para pembaca terhadap isu-isu yang dihidangkan oleh penerbit. Dari situ pula kita mengetahui tingkat pemahaman dan suasana pembaca. Pertanyaan yang diajukan sangat beragam, dan terkadang menghabiskan 4 sampai 5 halaman. Ada sebuah pertanyaan dari Binjai, atau waktu itu masih Sumatera Timur, yang menanyakan bagaimana hukumnya wanita yang nikah tanpa wali. Bolehkah menggunakan wali hakim yang waktu itu bernama Tuanku Laras? Pertanyaan itu dijawab oleh redaksi bahwa perkawinan semacam itu tidak sah, karena walinya yaitu Tuanku Laras adalah orang yang diangkat oleh Gubernemen (pemerintah Hindia Belanda, red) dan tidak diakui oleh umat Islam.

Jawaban di atas menunjukkan sikap para ulama itu terhadap kekuasaan pemerintah kolonial. Pertanyaan lain ialah, tentang hukumnya menjual anjing. Redaksi menjawab; anjing adalah hewan yang najis, karena itu tak boleh diperdagangkan. Tapi kalau anjang itu dipergunakan untuk berburu, janganlah dikatakan sebagai jual beli, tapi sebutlah sebagai ganti rugi.

Mereka pula membaca pertanyaan hukumnya mengadu burung balam dan tawar-menawar iclang dan lain-lain sebagainya yang berlaku dalam masyarakat ketika itu. Akan tetapi bukan hanya orang awam, satu dua kita temukan pula pertanyaan dari orang yang menyandang gelar Syekh seperti Syekh Ismail Maninjau, dan melihat alamat si penanya, Al-Munir ternyata tersiar luas ke Singapura, Kedah; Perlak, Kuantan, dan Sabang di ujung barat pulau Sumatera. Terdapat juga sebuah laporan dari seorang penuntut ilmu bangsa Indonesia di Mesir yang menceritakan pengalamannya selama di rantau itu. Dia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, ketika diketahui oleh Sayid Rasyid Ridha, dia dibawa dan diajak tinggal di rumahnya. Rasyid Ridha suka sekali menanyakan perihal ulama-ulama Indonesia, terutama hubungan mereka dengan pemerintah Belanda.

Dalam tajuk rencana edisi ke 7, 1 Rajab 1330/ 15 Juli 1912 dimuat karangan berjudul ”Mensatukan Mazhab Islam’’. Karangan itu merupakan reaksi terhadap tulisan Al-Fadhil Musa Kazim Effendi yang waktu itu menjadi Syekhul Islam di Turki yang menghendaki kesatuan mazhab dalam Islam. Al-Munir menyatakan pendapatnya bahwa kesatuan Islam bermakna kembali pada Qur’an dan Sunah Rasul dan perlunya pintu ijtihad bagi para ulama yang telah mencukupi persyaratan. Kemudian di halaman lain sebuah artikel tinjauan luar negeri mengenai perjuangan ummat Islam di Tunisia, melawan pemerintah Perancis. Tajuk rencana edisi 24 Februari 1912 adalah mengenai pendidikan kanak-kanak, karangan itu ditujukan pada Amir Abbas Khadewi di Mesir.

Demikianlah keanekaragaman isi Al-Muni. Di samping itu majalah ini memuat rupa-rupa pembahasan masalah hukum fikih yang banyak menimbulkan pro dan kontra, misalnya masalah melafalkan niat ketika akan sembahyang atau ushalli, membaca Barzanji sambil berdiri, masalah bid’ah, ijtihad dan sebagainya. Kalangan ulama tradisional kemudian tertamk untuk menerbitkan pula majalah yang menolak pikiran-pikiran yang dibawa olch Al-Munir. Di antara majalah penentang Al-Munir itu ialah ’Suluh Malayu’, di bawah pimpinan Syekh Khatib Ali Padang, dan Al-Mizan di bawah pimpinan Haji Abdul Majid dan Hasan Basri yang terbit di Maninjau.

Pada tahun 1915 Al-Munir terpaksa berhenti terbit karena kehabisan dana, berkali-kali kita temukan pada halaman-halamannya pengumuman kepada agen dan langganan agar menginmkan uang langganan. Edisi terakhir Al-Munir terbit peda 15 Rabiul Awal 1333 Hijriyah, bertepatan dengan 31 Januari 1915, memuat karangan perpisahan berjudul; ’’Khattamah”. Dalam karangan itu dinyatakan bahwa Al-Munir tak dapat dilanjutkan lagi, namun kepada bekas pembaca dan masyarakat Islam dianjurkan agar terus menambah ilmunya dengan rajin membaca.

Selain seretnya pemasukan uang dari agen dan para langganan pada hemat kita, kematian majalah itu tentu saja disebabkan oleh kekurangan pengalaman para ulama mengelola sebuah penerbitan pers. Hal itu terlihat pada nama-nama pengasuhnya yang sebagian besar adalah ulama-ulama yang tidak punya latar belakang sebagai pedagang, apalagi dalam masa itu tentu saja penerbitan seperti itu belum merupakan usaha bisnis dan profesional.

Akan tetapi tiga tahun setelah berakhirnya Al-Munir yang dipimpin oleh Dr. Haji Abdullah Ahmad itu, pada tahun 1918 Sumatera Thawalib Padang Panjang menerbitkan majalah dengan nama Munirul Manar.. Al-Munir Padang Panjang ini terbit atas anjuran Haji Abdul Karim Amrullah dan dipimpin oleh Zainuddin Labay el-Yunusi, seorang cendekiawan muda yang cerdas dan menjadi harapan para ulama-ulama yang lebih tua. Sebelum menerbitkan Munirul Manar, Zainuddin telah berlatih menulis dalam majalah yang diterbitkannya sendiri bernama Al=Akhbar. Haji Abdul Karim sendiri waktu itu, tak banyak berperan berhubung sibuk membangun perguruan Adabiyah Padang yang baru didirikannya. Al-Munir Padang Panjang ini bertahan lebih lama dari yang terbit di Padang, dia baru berhenti karena meninggainya Zainuddin Labay, yaitu pada tahun 1924.

Demikianlah peranan Al-Munir sebagai media dakwah ulama kaum muda Minangkabau pada awal kebangkitannya. Sesudah itu menyusul beberapa majalah lain yang diterbitkan oleh para ulama yang sepaham atau yang berbeda, seperti Al-Bayan. Haji Abdul Karim Amrullah sendiri pernah mencoba menerbitkan majalah yang dinamakannya AI-Basyir, tapi tak bertahan lama. Di Bukittinggi terbit majalah Dunia Akhirat pimpinan Sain Al-Maliki tahun 1923 sampai 1926. Di Payakumbuh, ulama dari golongan tua Syekh Haji Abbas Padang Japang menerbitkan Al-Imam, dan lain-lain yang biasanya berumur pendek dan sulit ditemukan arsipnya.

Tradisi penerbitan majalah ini diteruskan oleh organisasi dan gerakan-gerakan Islam yang bermunculan pada dekade kedua abad ke-20, di seluruh Indonesia, sampai kedatangan bala bantuan Jepang.

A.R. Hadjat, seorang wartawan Islam Angkatan tahun 1930-an, yang menerbitkan majalah Panji Islam di Medan bersama H Zainal Abidin Ahmad, menulis (dalam Badruzzaman Busyairi, Catatan Perjuangan HM. Yunan Nasution) sebagai berikut:

“Setelah Al-Munir, di Padang terdapat beberapa majalah seperti Al-Bayan, Al-Itqan, dan lain-lain, dan sekitar dasawarsa 1930-an terbit lagi beberapa majalah di antaranya Medan Rakyat, tiga kali sebulan pimpinan Ilyas Yacoub yang bersama pemimpin Permi lainnya, kemudian di -Digul-kan (dibuang ke Digul, Papua, red), yaitu setelah Medan Rakyat dibredel tahun 1933 dan Permi dibubarkan. Kemudian majalah Raya dari pelajar-pelajar Islamic College (Permi) dan Matahari Islam’ dari Normaal Islam (Mahmud Yunus). Kalau tidak salah sekitar tahun 1930-an juga Mahmud Yunus menerbitkan lagi majalah Tafsir Qur’an yang kemudian dijadikan buku yang kita kenal dengan nama Tafsir Qur’an  Mahmud Yunus sekarang.

Di Padang Panjang terbit Munirul Manar (perguruan Sumatera Thawalib) di bawah pimpinan Zainuddin Labay el-Yunusy, Al-Basyir (Dr. H. Abdul Karim Amrullah), di Bukittinggi; majalah Dunia Akhirat (Sain Al-Maliki1923-1926) dan lain-lain, dan di Payakumbuh; Al-Imam (Syekh H. Abbas Abdullah Padang Japang), Al-Falaah (Alimin, 1937) yang haluannya sama dengan majalah Al-Lisaan, organisasi Persatuan Islam (Persis) di Bandung, yaitu menyiarkan paham supaya ummat Islam kembeli kepada Al-Qur’an dan Sunnah dan lain-lain.

Di Jawa dan di Kalimantan juga terbit bermacam majalah Islam. Di Jakarta, Al-Juab, Het Licht/ An-Nur dari PB Jong Islamieten Bond (JIB), Penyiar Islam, Pancaran Amal (Bag.Tabligh Muhammadiah, 1937) dan mungkin masih ada yang lain-lainnya sebelum itu. Di Bandung, Pembangkit (Moh. Natsir, 1939), Al-Hidayah, Aliran Muda dan lain-lain. Persis (Persatuan Islam) saja, yang didirikan tahun 1923 di Bandung, menerbitkan; Pembela Islam, Al-Lisaan, Al-Fatwaa (huruf Arab bahasa Melayu) dan At-Taqwaa (berbahasa Sunda). Dan di Solo terbit Islam Raya (AB. Sitti Syamsyiah), As-Siasah, Adil dan lain-lam. Di Yogyakarta; Qur’an Tarjamah Melayu (Kemajuan Islam), Penganjur (Pelajar Madrasah Zu’amaa), Suara Muhammadiyah, Suara Aisyiah, Muttara (semua dari Muhammadiyah), Islam Bergerak dan lain-lain. Di Surabaya; Al-Jihad, Al-Islam, Berita N.U. (PB Nahdlatul Ulama) dan lain-lain. Di Surabaya ada lagi terdapat Aliran Baroe dari PAI (Persatuan Arab Indonesia).

Di Kalimantan, terbit Persatuan (Samarinda), Pelita Islam (Banjarmasin), Hikmatul Balighan (Barabai) dan lain sebagainya. Di Bangkalan Madura; Al-Islah (yang dibredel tahun 1936.) Di Ambon, Maluku Suisma (terbit 3 kali sebulan).

Kota yang dianggap memegang rekor dalam penerbitan majalah Islam di zaman sebelum Perang Dunia II ialah Medan, Sumatera Utara. Di sini terbit majalah-majalah Suluh Islam (Abdul Wahid Er-Kyai H. Abdul Madjid Abdullah dan lain-lain), Medan Islam (PB Al-Jamiyatul Washliyah, H.A. Kadir), Al-Hidayah (PB.Al-Ittihaadiyah, Louissestraat 14), Dewan Islam (M. Arsyad Thalib Lubis), Menara Puteri (Rangkayo Rasuna Said), Sinar (H. Bakri Suleman-Bachtiar Junus), Majalah Tafsir Al-Qur’anul Karim (Al-Ustadz H.A. Halim Hassan, Zainal Arifin Abbas dan Abdul Rahman Haitami) dan lain-lain. Di samping itu terdapat lagi dua mingguan Islam yaitu Pedoman Masyarakat (Hamka — H. Yunan Nasution) dan Panji islam (Z.A. Ahmad — AR. Hadjat). Keduanya juga masing-masing menerbitkan lagi bulanan pengetahuan Islam yaitu majalah Pedoman Islam dan Al-Manaar.“

Terlepas dari ekses-ekses yang timbul dari polarisasi antara kaum tua dan kaum muda pada masa sebelum perang dunia itu, penerbitan yang banyak jumlahnya itu, niscaya besar sekali artinya dalam meningkatkan kecerdasan dan kesadaran umat Islam di Indonesia, bukan hanya terhadap agama, tapi juga bagi kesadaran nasional terutama menjelang Proklamasi tahun 1945. Melalui pers para ulama telah merintis jalan menyadarkan umat pada tanggung jawabnya kepada Tuhan dan kepada tanah airnya.

Berkat kegiatan menulis dalam bahasa Indonesia yang waktu itu masih digunakan bahasa Melayu, para ulama pun berjasa memperkaya khazanah bahasa Indonesia dengan istilah-istilah Arab atau Islam.

Harapan kita dalam era pembangunan sekarang (Orde Baru, red), tentu saja, agar tradisi itu tetap berkesinambungan dalam bentuk pers yang lebih profesional dan canggih, sesuai dengan kemajuan masyarakat. Semoga. (Harapan yang tetap relevan di era digital sekarang, ketika pers seperti majalah dan koran tidak lagi bertumpu pada kegiatan cetak-mencetak tapi bergerak di dunia maya, red).

Catatan Redaksi: Artikel ini berasal dari tulisan dalam majalah Gema Islam No. 1 tahun 1962 dan direvisi untuk majalah ini (Panji Masyarakat, red).

Sumber: Panji Masyarakat No. 493, 1 Febuari 1986

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda