Ronald Reagan, Presiden Amerika waktu itu, telah memutuskan untuk membiarkan bendera AS dikenakan oleh kapal tanker Kuwait melintas Teluk Persia yang penuh dengan bom itu Dan sebuah kapal AL AS yang perkasa di biarkan melindunginya Tapi kemudian, seperti kita baca di surat-surat kabar, sebuah mobil meledak di Kuwait. Orang cenderung mengaitkannya dengan kemarahan Iran. Dan di London, agaknya masih berkaitan dengan Iran walau dalam dimensi yang berbeda, sebuah mobil yang dikendarai oleh bekas menteri Iran di bawah rezim Syah pun meledak. Sebuah berita yang dilemparkan melalui telepon, bersorak atas kejadian itu.
Meski pun secara samar-samar kita paham, tapi sisi peperangan dan segala motif yang melatarbelakanginya, masih tetap gelap bagi kita. Amerika telah hadir di Teluk Persia. Dan Kuwait ikut meledak. Apakah yang sebenarnya dicari? Tidak jelas.
Iran, mungkin pemegang kunci. tunggal atas rahasia ini. Dalam. konteks masyarakat modern, ia merupakan model yang hampir sempurna dari kekuatan rakyat dan agama melawan pemerintahan yang lalim. Tapi tampaknya, perlawanan itu sendiri telah menjadi sesuatu yang otonom. Ia bukan saja bisa bergerak sendiri, tapi juga tak terkendalikan. Justru ketika rezim yang dilawannya telah tumbang. Apakah yang sesungguhnya dicari oleh Iran pasca Syah?
Pertanyaan bodoh, memang. Sebab jawabannya telah diberikan sejak dini revolusi Iran. Menegakkan Islam. secara murni dan konsekuen. Tapi perang?
Jawaban orang bijak, perang adalah bagian dari perjuangan agama. Tapi ia telah menghabiskan energi, dana dan manuo sia. Dan di atas segala-galanya, bukankah dengan perang yang menyibukkan itu, Iran tidak pernah mempunyai kesempatan mewujudkan impiannya dalam masa damai?
Pada akhirnya, mungkin, orang akan bertanya tentang manfaat perang dibalik kekaguman tentang ketegaran pemimpin Iran menghadapi tantangan. Orang akan bertanya, untuk Allahkah anak-anak muda itu tewas di medan pertempuran? Untuk Allahkah segala macam kekerasan yang telah terjadi di masa Khomeini ini?
Medan Karbala, mungkin sebuah kesaksian yang monumental akan ketidaklenyapan tradisi manusia masa lampau — kendati telah di-Islamkan. Hasan-Husen, cucu Rasulullah, justru dibantai secara biadab oleh orang-orang yang telah diislamkan oleh kakeknya. Islam ternyata tidak menghapuskan kebiasaan lama: kegemaran akan kekerasan. Apakah kekerasan-kekerasan yang berlangsung terus hingga kini, merupakan kelanjutan dari masa pra-Islam?
Sekali lagi, masih-tetap gelap jawabannya.

Penulis: Fachry Ali, Cendekiawan Muslim, pengamat politik, sosial dan budaya.
Sumber: Panji Masyarakat No. 547, 10 Agustus 1987