Klaim Islam yang dikenakan kepada sejumlah perguruan tinggi di Indonesia, jelas menghendaki satu kebijakan menyeluruh, yang memadukan tuntutan pemenuhan ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu sekuler. Munculnya Sekolah Tinggi Islam (STI) pada 1945, embrio IAIN dan perguruan tinggi umum, bertolak dari tuntutan tersebut. Persoalannya, bagaimana mencari sebuah sintesa ideal di kalangan perguruan tinggi Islam.
TATKALA kampus-kampus Barat semakin dirasuki semangat Hellenis, para cendekia muslimlah yang telah membidaninya dari dalam eraman peradaban Yunani. Tapi di dunia Islam, kampus-kampus berasyik-masyuk dengan semangat Semitis. Tak pelak jika ilmu-ilmu “sekuler” kurang mendapatkan tempat. Kalau ada cabang-cabang ilmu “sekuler’’ yang dibudidayakan, itu bukan semata untuk menjawab persoalan yang berkenaan langsung, ataupun demi untuk. perkembangan ilmu itu sendiri, namun lebih dimaksudkan sebagai pelengkap keberadaan ilmu agama. Misal saja pembudidayaan Astronomi karena ilmu ini diperlukan untuk mendukung Ilmu Fiqih, misalnya, untuk mencari kepastian saat Ramadan.
Namun bagaimanapun, gelora semangat Semitis yang berkepanjangan itu bukan tanpa manfaat. la menjadi penyebab bahkan mungkin penyebab utama mantapnya disiplin ilmu keagamaan dalam Islam. Karena itu dapat kita rasakan betapa ilmu-ilmu agama Islam relatif jelas sosoknya dibanding ilmu agama lain. Tampak terwakili oleh mantapnya IImu Hukum (Fiqih), Ilmu Ketuhanan (Kalam), dan Ilmu Kebatinan (Tasawuf), Namun, juga mesti diakui, hal itu. menyebabkan pertumbuhan ilmu di dunia Islam jadi berat sebelah.
Bangunnya semangat Hellenis setelah lama pulas, baru dirasakan tatkala muncul seorang Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897). Dialah penggugahnya. Lantas diikuti oleh Muh. Abduh, Rasyid Ridha dan seterusnya. Karena itu, kiranya bukan sekedar basa-basi kalau Renan, penulis Prancis itu punya kesan bahwa di dalam diri Afghani, ada Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd. Katanya: “Ketika ia berada di hadapan saya, seolah Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd yang bercakap dengan saya.”
Tiang pemancar Hellenis yang sudah termodifikasi pun di pancangkan tinggi-tinggi di kampus Al-Azhar. Kampus kebanggaan dunia Islam tertua, yang sejak berdirinya — sekitar abad ke-10 oleh Djamhar Ash-Shiqilli — dikenal sebagai kampus yang sangat Semitis. Dan dibukalah. fakultas-fakultas “Sekuler” seperti. Kedokteran, Teknik, Pertanian, dan Perdagangan.
Mencari Bentuk Sintesa
Pertumbuhan kampus di negara-negara: islam dewasa. ini banyak dipengaruhi oleh. reformasi dari Universitas Al-Azhar itu. Mereka berusaha menyatubadankan dua semangat tadi. Penjelmaannya dalam sistem kurikulum memang bervariasi. Ada yang . dominan bidang studi agama, ada yang lebih mengutamakan ilmu “sekuler’’. Universitas Madinah dan Universitas Ibnu Sa’ud, agaknya, kampus yang lebih memberikan porsi bidang studi keagamaan. Yang mengutamakan ilmu “sekuler’’ adalah seperti yang terjadi di Kuwait dan Syria. Di mana bidang studi ilmu agama tertentu hanya dimerger ke dalam fakultas “sekuler’’ yang relevan. Sedangkan di Turki, Ilmu Agama (Islam) diwadahi dalam fakultas khusus. Misalnya di Universitas Ankara, ada llahiyat Fakultesi, dan ada Faculty of Theology pada Universitas Marmara.
Bahkan di beberapa negara, fakultas keagamaan adalah semula merupakan sebuah sekolah tinggi agama, tatkala semangat Semitis masih berjaya. Dar al-’Ukum”, misalnya, kini menjadi fakultas agama pada Universitas Kairo, “Jami’ah Qarrawiyin’’ kini menjadi fakultas agama pada Universitas Rabat di Maroko. Demikian pula ‘’Dar al-Funun” menjadi salah satu fakultas di Universitas Teheran (Zarkowi Soejoeti, “Model Model Perguruan Tinggi Islam”, makalah seminar)
Reformasi yang terpancarkan lewat “antena’’ kampus Al-Azhar tersebut sudah terasa dampaknya di Indonesia pada awal tahun empat puluhan. Pada Juli 1945 muncul Sekotah Tinggi Islam (STI) di mana berdiri di belakangnya tokoh-tokoh reformis, seperti Mohammad Hatta, Abdul Kahar Muzakkir, Muhammad Natsir, dan Kasman Singodimedjo. Ditilik dari strategi pendidikan yang ditempuh, sebagaimana dikemukakan oleh BJ Boland (dalam Pergumulan Islam di Indonesia, 1985) jelas para pemrakarsanya berupaya mencari bentuk sintesa pendidikan, yang kelak diharapkan bakal melahirkan ulama pakar dalam dua bidang sekaligus: mempelajari Islam secara luas dan punya standar ilmu ’‘sekuler’” yang memadai.
STI lantas pindah ke Yogyakarta menyertai perpindahan ibu kota RI waktu itu. Berubah menjadi Ull (Universitas Islam Indonesia), di mana fakultas. sekuler berdampingan dengan fakultas agama, dan yang secara tidak langsung telah menimbulkan polarisasi persepsi mengenai perguruan tinggi di Indonesia. Karena tidak lama setelah itu, dinegerikanlah fakultas-fakultas sekuler menjadi UGM dan fakultas agama di UII juga dicerai menjadi PTAIN.
Munculnya PTAIN, lantas kini berkembang menjadi IAIN (sekarang UIN, red), ditinjau secara global menjadi suatu kasus yang unik. Unik karena hal itu terjadi tatkala negara Islam yang lain melakukan peleburan sekolah tinggi agama yang ada menjadi perguruan tinggi dengan disiplin ilmu “sekuler” yang lebih luas. Dan munculnya UGM di satu pihak dan PTAIN di pihak lain, dalam persepsi perguruan tinggi, ia adalah suatu ‘’perceraian”.
“Perceraian” persepsi tersebut, tampaknya merupakan pantulan dari kerasnya tarik-tambang kepentingan para politisi waktu itu. Antara orientasi agama, dengan mereka yang non-agama. Di samping mungkin karena masih kuatnya kelompok inisiator pendidikan Islam yang bersikukuh melanjutkan tradisi pesantren yang Semitis.
Sebagian inisiator pendidikan Islam masih melihat perlunya sintesa berupa pendidikan satu atap, di mana bentuk awal dari UII menjadi model. Dan peluang untuk mengembangkan model ini tidak lain harus lewat sektor swasta. Akhir tahun 1960-an mulai dirasakan munculnya perguruan tinggi Islam swasta yang menetapkan disiplin ilmu agama dengan disiplin ilmu “sekuler” (dalam pembahasan lebih lanjut mungkin akan banyak diganti dengan istilah ilmu “umum”. Istilah yang pada perkembangan terakhir lebih banyak digunakan. Karena dianggap lebih netral. Meski sering mengganda arti).
Pertumbuhan perguruan tinggi Islam (PTIS) bisa dibilang sangat pesat. Usaha untuk mempersempit peran dan ruang gerak terhadap para politisi Islam reformis, oleh pemerintahan Sorkarno pada awal 1960-an, sedikit banyak ikut andil. Karena para politisi reformis membanting haluan, sebagai kompensasi, bergerak dalam bidang pendidikan (tinggi) dan usaha-usaha penerbitan.
Dalam dekade 1980-an jumlah PTIS sudah mencapai puluhan dan model menyatukan fakultas umum dengan fakultas agama sebagai model utamanya. Ke hadiran Badan Kerja sama Perguruan tinggi Islam Swasta (PTIS), sedikit “banyak telah mempunyai andil bagi penggalangan eksistensi PTIS.
Beberapa Catatan Permasalahan
Meskipun berbagai upaya susah-payah mengutuhkan disiplin ilmu umum dengan ilmu agama, dan berada dalam satu atap, namun rasanya PTIS-PTIS hingga kini belum menemukan bentuknya yang mendekati ideal. Ideal yang terpantul dalam slogan-slogan, entah itu “terwujudnya kampus Islami”, “mencetak sarjana ulama”, atau entah apa lagi. Untuk menuju ke sana, agaknya, terlalu banyak kendala.
Salah satu bentuk yang dikembangkan oleh perguruan tinggi Islam swasta adalah disandingkannya fakultas-fakultas agama dengan fakultas-fakultas umum. Bentuk ini merupakan pendekatan institusional.
Suatu kenyataan yang banyak dihadapi adalah terjadinya ketidakseimbangan arus peminat dari dua rumpun fakultas tersebut. Fakultas-fakultas umum cenderung berarus deras. Sebaliknya, arus peminat fakultas agama lemah. Bahkan ketidakseimbangan ini juga menjurus pada segi kualitas dan kemampuan prasyarat pendidikan kemampuan ekonomis.
Padahal mahasiswa dengan kemampuan prasyarat yang dipunyai adalah andalan utama bagi penyelenggaraan pendidikan di perguruan tinggi swasta pada umumnya. Maka, akibatnya, pun sudah bisa diduga, terjadi ketidak-seimbangan pertumbuhan antara rumpun Fakultas agama dengan Fakultas umum. Fakultas umum. gemuk, fakultas agama tertatih-tatih. Bahkan fakultas agama pada beberapa perguruan tinggi Islam swasta sudah mencapai stadium ‘’dihidup-hidupkan’’, dengan berbagai cara Akhirnya lebih berfungsi sebagai ‘pelengkap penderita’ agar PTIS yang bersangkutan tidak: kehilangan identitasnya.
Persoalan teknis sering juga muncul, karena adanya keharusan PTIS berpayung dua: Fakultas-fakultas agama berlindung di bawah Departemen (Kementerian) Agama, fakultas-fakultas umum di bawah Departemen (Kementerian) Pendidikan dan Kebudayaan. Tidak jarang, aturan dan birokrasi. Yang dikenakan oleh dua departemen tersebut tidak sinkron bagi kepentingan pengembangan PTIS.
Satu Cara yang ditempuh kebanyakan PTIS adalah pendekatan Kurikuler. Kemudian di artikan lebih sempit: penambahan bahkan pelipatgandaan jumlah jam kuliah agama bagi fakultas umum. Cara ini memang gampang dilaksanakan. Namun, bagi kepentingan kepentingan mahasiswa, hal ini bisa menimbulkan sikap apati. Apalagi bagi mahasiswa yang kurang sadar, mereka anggap penambahan jumlah jam kuliah adalah suatu yang berlebih-lebihan karena, melampaui batas layak yang berlaku. Lemahnya kemampuan metodologis dosen agama juga bisa jadi biangnya. Sedangkan bahan sajiannya pun sering berupa metofora-metofora yang kurang mengundang daya kritis, karena si dosen memang tidak. memiliki ilmu pengetahuan-siap, yang bisa digunakan untuk membuat ramuan kuliah yang sesuai dengan disiplin ilmu umum mahasiswa. Problem ini memang cukup merisaukan. Sampai-sampai ada beberapa perguruan tinggi negeri, lebih mempercayakan kuliah agama ini dipegang oleh dosen “umum” yang dianggap kuat dalam ilmu agamanya.
Ada pendekatan, yang hemat kami masih di dalam angan-angan. Yaitu pendekatan. kontekstual-fungsional. Yaitu, upaya menjawab pertanyaan, bagaimana agar semua bidang studi yang disajikan selalu memakai . kaca mata tinjau Islam dan selalu sarat dengan sapuan-sapuan Islami, Sandungan utama untuk merealisasi gagasan ini adalah lagi-lagi staf pengajarnya. Mereka yang mestinya jadi Begawan” yang mampu meracik dan menyusun menu kuliah semacam itu. Pertanyaannya: seberapa banyak dosen bidang studi umum yang pakar dalam bidang agama dan sekaligus bisa melakukan kerja besar semacam itu?
Pendekatan Kompetensi: Suatu Alternatif
Kini, hampir semua perguruan tinggi memberlakukan sistem kredit. Asumsi yang mendasari diberlakukannya sistem kredit, adalah, seorang mahasiswa akan memiliki jenis dan tingkat kesanggupan tertentu jika yang bersangkutan bisa menyelesaikan seperangkat mata kuliah dengan bobot tertentu pula. Asumsi ini sekaligus menghargai adanya individualisasi dalam proses belajar mengajar, dan menempatkan fungsi kampus sebagai penghasil tenaga manusia dengan berbagai ragam dan tingkat: kesanggupan. Hal ini bisa juga disebut sebagai pendekatan kompetensi.
Dengan pendekatan kompetensi ini pula, membuka kemungkinan bagi seorang mahasiswa memiliki lebih dari satu kesanggupan. Bagi PTIS yang memiliki fakultas agama sekaligus fakultas umum bisa memprogramkan mahasiswanya memiliki kesanggupan ganda. Kesanggupan dalam jenis dan tingkat tertentu di bidang agama dan jenis dan tingkat kesanggupan tertentu di bidang umum.
Bagi mahasiswa fakultas agama, kesanggupan yang harus diperoleh sesuai fakultas dan jurusannya disebut kesanggupan utama, dan mereka bisa mengambil program di bidang umum sebagai kesanggupan tambahan. Demikian pula sebaliknya, mahasiswa fakultas umum di samping harus memperoleh kesanggupan bidang umum yang dipilih sebagai kesanggupan utama mereka harus memilih satu jenis kesanggupan dalam bidang agama sebagai kesanggupan tambahan. Kesanggupan utama ditempuh lewat Program Studi Mayor, Sedangkan kesanggupan tam. bahan, untuk memperolehnya dengan menempuh seperangkat mata kuliah yang ditawarkan sebagai Program Kuliah Minor.
Upaya merealisasi pemberian kesanggupan ganda tersebut dapat ditempuh melalui program kuliah lintas fakultas. Sehingga masing-masing fakultas bisa membuka covering berupa program kuliah minor bagi mahasiswa fakultas lain. Dan bagi mahasiswa bisa memperoleh kesempatan agak leluasa untuk menentukan kompetensi tambahan apa yang dia inginkan.
Program kuliah lintas fakultas ini sudah barang tentu hanya bisa diterapkan di perguruan tinggi yang memang telah menempatkan fakultas-fakultas umum dan fakultasfakultas agama dalam satu atap. Terutama yang sudah dilakukan oleh banyak perguruan tinggi Islam swasta.
Bagi perguruan tinggi negeri yang mengenal pemisahan antara perguruan tinggi unum dan IAIN, program kuliah lintas fakultas sebagaimana yagn dimaksudkan di atas tentu tidak bisa dilaksanakan. Memang untuk kemungkinan pengembangan ada. Misalnya, mengacu pada PP 27 Th. 1981, yang memungkinkan Universitas atau institut negeri (umum) membuka fakultas ilmu agama atau kerohanian (PP No. 27 Th. 1981 Bab III, ayat I-a). Namun, toh hingga kini, belum ada perguruan tinggi negeri yang merealisasikannya. Juga tidak ada IAIN yang melakukan merger dengan perguruan tinggi negeri lain.
Tapi, bagi IAIN, atau PTIS yang sejenis, bisa merealisasi pendekatan dwi-kompetensi ini lewat kerjasama dengan perguruan tinggi umum yang berdekatan. Sehingga para mahasiswanya bisa mengambil program kuliah minornya di perguruan tinggi umum tersebut. Program kuliah bahasa, yang kini diberlakukan bagi mahasiswa IAIN, barangkali bisa menjadi salahsatu kompetensi tambahan yang ditawarkan kepada mahasiswa.
Dalam akhir pembahasan ini, terasa bersifat teknis. Dan pendekatan kompetensi yang terlansir di atas hanya salahsatu siasat yang barangkali bisa dipakai sebagai model sintesa. Memang, tidak ada jaminan bahwa penampilan suatu alternatif baru, dengan sendirinya melahirkan “Ulama’ plus” atau “Sarjana umum plus” bakal mendekati sosok idealnya. Sebagai produk pendidikan Islam di tingkat pendidikan tinggi yang diidamkan.
Yang harus disadari, kini, oleh para pengembang pendidikan tinggi Islam adalah mereka harus menampilkan lembaga pendidikan yang bukan hanya menjawab tuntutan masyarakat akan urgensi pendidikan agama, tapi juga harus mengantisipasi kecenderungan masyarakat akan memperkembangkan untung-rugi, baik dengan takaran moril maupun materi, juga relevansinya dengan ketenagakerjaan. Pencarian sintesa yang tepat bagi pendidikan tinggi Islam harus mengacu ke sana.

Penulis: A. Malik Fadjar (1939-2020) dan Muhadjir Effendy
Sumber: Panji Masyarakat, No. 519, 21 Oktober 1986
Catatan Redaksi: Artikel ini ditulis ketika A. Malik Fadjar dan Muhadjir Effendy menjadi Rektor dan Pembantu Rektor III Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Keduanya juga pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sebelum Mendikbud, Malik Fadjar menjabat Menterri Agama. Sedangkan Muhadjir, yang juga pernah menjadi Rektor UMM, setelah Mendikbud kini menjabat Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK).