Ads
Muzakarah

Gerakan “Swadaya” Masyarakat Memaksakan Syariat Islam

Atmosfir pemberlakuan syariat Islam di Aceh, juga di sejumlah daerah lain yang memberlakukan “Perda Syariat Islam”,  kian mengental akhir-akhir ini. Bahkan ada sejumlah warga yang tidak sabat, lantas secara proaktif “swadaya” untuk menerapkan syariat Islam. Jika ada perempuan dewasa yang tak berjilbab di depan umum, ia akan ditangkap lalu digunduli. Ibu-ibu di Aceh, seperti ditayangkan di televisi, berpatroli dengan sapu mereka setiap Jumat dan memukul kaum lelaki dewasa yang enak-enak nongkrong di kedai, tak mau salat Jumat. Mereka bertindak demikian dengan alasan demi menegakkan hukum Islam. Ada juga alasan, takut murka Allah karena telah membiarkan kemaksiatan merajalela. Apakah Islam membenarkan tindakan semacam itu? Bolehkah melakukan penggrebekan dan mempermalukan pelaku kemaksiatan sebagai shock therapy?

Ahmad

Lhokseumawe, NAD

Jawaban:  Fathurrahman Djamil

Hukum Islam, saudara Ahmad, terdiri atas dua kategori: syariat dan fikih. Syariat adalah hal yang disepakati para ulama seperti salat itu wajib, zina itu haram. Ketika masuk kategori fikih, dimungkinkan banyak pendapat yang dianut masyarakat di berbagai negara muslim. Bicara soal kasus di Aceh, pada dasarnya memberlakukan syariat itu wajib. Namun, dalam pengertian fikih, perlu kita lihat mana yang cocok pada masyarakat bersangkutan yang mungkin saja tidak cocok untuk masyarakat lain.

Pada dasarnya, Islam secara formal tidak memberi sanksi duniawi bagi yang tidak salat. Tidak ada hukuman bunuh atau rajam bagi yang tidak salat. Yang ada sanksi ukhrawi. Bersabda Nabi Muhammad Saw, “Barangsiapa meninggalkan salat dengan sengaja, ia telah kafir.” Kafir di sini pun, menurut Imam Syafii, bukan lawan dari mukmin, melainkan lawan dari mensyukuri nikmat. Sehingga, meninggalkan salat tak masuk kategori kafir walaupun disengaja. Apalagi jika ia tak salat karena tak sengaja. Dengan demikian, sanksi fisik di Aceh itu tak sebaiknya perlu ditinjau kembali. Hal seperti itu tak ada dalam tuntutan Alquran atau hadis.

Dalam Islam memang ada hukuman yang bersifat fisik untuk pelanggaran-pelanggaran tertentu. Misalnya perzinahan. Tapi hukuman tak bisa dijatuhkan secara serampangan. Tidak boleh kita, begitu menyaksikan perzinahan, misalnya, serta merta menggebuki pelakunya. Tetap harus melewati pengadilan. Katakanlah, melalui sebuah lembaga yang oleh masyarakat dipercaya sanggup menegakkan keadilan. Di situ, setelah argumentasi dan proses pembuktian, baru ditetapkan hukumannya. Bahkan, Nabi pernah bersabda, “Seorang hakim yang salah memaafkan dan tidak menjatuhkan hukuman, lebih baik daripada hakim yang salah menjatuhkan hukuman.” Ini berarti, Islam lebih banyak memaafkan daripada menerapkan hukuman.

Memang pernah diberlakukan tindakan semacam itu pada zaman Rasul dan sahabat, yaitu untuk terapi kejut. Sampai saat ni di Arab Saudi masih juga dipraktekkan, yaitu melalui lembaga muhtasib atau wilayatul hisbah. Tugas lembaga itu adalah amar makruf nahi mungkar. Jadi segala tindakan apa pun yang keras dalam amar makruf nahi mungkar sudah dikonsentrasikan ke lembaga agar tercipta ketertiban. Dengan kata lain, tidak setiap orang bebas melakukan amar makruf nahi mungkar yang demikian itu secara beramai-ramai. Kalau ini yang terjadi, keadaan bisa saja anarkis. Kalau ada yang sentimen pada seseorang, dia bisa saja melakukan yang tidak-tidak dengan dalih amar makruf nahi mungkar.

Alhasil, tetap haru ada lembaga resmi yang melaksanakan eksekusi dan menetapkan aturan-aturannya. Tidak bisa, misalnya, dengan alasan lembaga formal tidak bisa dipercaya, sekelompok orang main hakim sendiri. Kalau memang lembaga formal tak dipercaya, bisa saja dibentuk lembaga baru yang lebih kredibel, dengan tetap berpegang pada ketentuan Islam.

Dalam hal wanita tak berhijab pun, kita harus lebih dulu mengerti posisi hukum Islamnya. Mula-mula dikaji apakah memang bagi yang tak berhijab ada sanksi fisik atau sekedar saksi moral. Sebab, hikmah ditetapkannya jilbab agar tak terjadi perzinaan. Dan jilbab hanya salah satu bentuk sarana menutup aurat sehingga tidak mutlak semua muslimah mengenakan penutup aurat dalam bentuk jilbab. Bisa bentuk lain, asal menutup aurat.

Sumber: Majalah Panji Masyarakat, 29 September 1999

*Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, M.A., pernah menjabat  Dekan Fakultas Agama Islam  Universitas Muhammadiyah Jakarta, kini Guru Besar Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.  

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading