Ads
Pengalaman Religius

Solihin G.P. Ke Makkah Naik “Helikopter”

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Ia mengaku sudah terlanjur menjalani hidup dengan profesi yang bertentangan dengan harapan orangtua. Orangtua mengharapkannya menjadi juru sembuh alias dokter, ia sendiri malah menjadi ahli membunuh alias tentara. Tapi, ia menemukan kemnikmatan yang tak terkira Ketika menyebut asma Allah di Makkah, lebih-lebih di depan Ka’bah. Mang Ihin, demikian panggilan akrabnya, kelahiran Tasikmalaya tahun 1926, pernah menjabat gubernur Jawa Bara dab sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan Sesdalopbang. Kepada wartawan PanjiMasyarakat Solihin G.P. (Gautama Purwanegara) pernah berbagi pengalaman  hidupnya.Sesepuh urang Sunda ini dikabarkan tengah sakit. Semoga lekas sembuh, Mang Ihin.

Saya pernah disebut orang terkaya karena punya helikopter pribadi. Waktu itu, cuma saya se-Indonesia yang punya helikopter. Padahal, untuk membeli ini saya menjual jip.

Heli itu sudah tua, buatan 1956. Heli Biston, bekas milik ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia). Saya menemukannya dalam keadaan setengah hancur karena pernah melakukan pendaratan darurat. Bagian belakangnya rusak sama sekali karena tanggul sawah.

Saya tanya teman yang jadi Staf Angkatan Udara (KSAU) Saleh Basarah, apakah masih ada rongsokan bagian belakang heli yang bisa dipakai. Ada, katanya, dulu bekas milik Bung Karno. Saya diizinkan mengambilnya, membelinya seharga Rp4,5 juta karena tidak dipakai lagi. Untuk membeli heli itu saya menjual jip bekas saya. Kami pasang bagian belakangnya, lalu saya terbangkan ke Bandung. 

Saya sangat bersyukur kepada Allah. Sekitar 10 tahun saya berkeliling dengan heli itu. Kemana-mana saya menumpangnya. Sampai ke Lampung, ke Bali. Helinya kuno, jalannya pelan, tetapi aman.  Orang lain tidak ada yang berani menaikinya. Heli itu tidak bisa terbang tinggi karena kalua lebih dari 5.000 kaki ia melayang, tidak bisa dikuasai dengan system kontrolnya. Kami selalu terbang diatas pohon, di antara Lembah-lembah, tidak bisa diatas gunung.

Sangat menyenangkan mengadakan perjalanan dengan heli, menyaksikan indahnya pemandangan. Sendiri, tak terganggu orang lain, kadang-kadang saya piloti sendiri, ada kalanya oleh pilot pensiunan Yum Sumarsono yang tangannya cuma satu. Orang juga terheran-heran atas keberanian dia menerbangkan heli.

Naik haji, menjual helikopter

Terpaksa Dijual

Selesai menjalankan tugas sebagai gubernur Jabar, timbul keinginan kuat untuk menunaikan ibadah haji. Tapi saya tidak punya uang. Hanya heli itu yang saya punya “Si Walet” 

Sebenarnya saya sangat sayang pada burung besi ini . Tapi keinginan berhaji begitu kuat, mengungguli rasa sayang tadi. Dengan berat hati, terpaksa heli itu saya jual, dibeli pengusaha perkebunan kelapa sawit, untuk mengecek kebunnya yang puluhan hektare di Medan. Ah, saya tidak mau menyebutkan berapa, pokoknya harganya cukup untuk menunaikan ibadah haji kami bertiga—saya, istri, dan anak—lengkap dengan bekalnya segala macam. Jadi, saya menunaikan ibadah haji itu seolah-olah naik helikopter. Itu berlangsung pada 1990.

Sungguh mengharukan. Betapa besar rasa syukur saya kepada Allah. Sebagai orang yang pernah menjadi gubernur tentu saja ini Suatu anugerah yang sangat luar biasa. Uang penjualan heli memberi jalan untuk melaksanakan ibadah haji. Heli itulah yang “membimbing” saya menjadi seorang haji yang mudah-mudahan mabrur. Saya sangat bersyukur kepada Allah. Iman saya makin kuat. Ternyata benda pun kalau dimanfaatkan bisa menjadi ibadah.

Tak terbayangkan betapa Allah Maha Pemurah kepada saya dan keluarga. Saya rasa itulah petunjuk Allah yang saya sendiri tidak tahu persis datangnya dari mana. Allah rupanya percaya kepada saya untuk terbang di atas permukaan tanah ciptaan-Nya yang terhampar begitu luas dengan helikopter. Ketika di Makkah pun saya teringat heli yang punya banyak jasa, terutama bisa mengantarkan saya menjadi umat yang taat kepada-Nya.

Menggetarkan Hati. Perjalanan haji menjadi titik terang untuk iman saya. Makin lama rasanya makin dekat dengan Allah. Menimbulkan rasa rindu sehingga empat tahun kemudian saya kembali menunaikan ibadah haji. 

Sebenarnya, secara fisik tak ada yang pantas dirindukan di Saudi. Masyarakatnya kasar, tidak ada daya tariknya. Tanahnya gersang. Tapi yang menarik adalah ibadah agamanya. Berhadapan dengan Ka’bah, rasanya begitu menggetarkan hati. Seluruh jiwa seakan-akan begitu dekat kepada Allah, semua konsentrasi cuma berserah diri kepada Allah secara penuh. Betapa nikmatnya dekat dengan Allah di sana, dengan segala kepasrahan. 

Kalau kita bertakbir, Allahu Akbar, rasanya nikmat sekali, getarannya mantap. Itu sebabnya saya ingin selalu balik lagi salat di Makkah. Rasanya enak sekali melepaskan segala beban hidup di negeri sendiri. Banyak masalah yang saya temukan konsep pemecahan disana. Entah karena apa, saya mendapat jalan. Saya merasa mendapatkan perlindungan karena saya orang lapangan.

Mang Ihin di tengah keluarga

Pagi Sekolah, Sore Mengaji 

Saya berasal dari keluarga yang taat ibadah. Ayah saya seorang haji. Kakek saya     juga. Alhasil saya tumbuh di keluarga yang diliputi suasana Islam.

Di samping itu, oranptua saya adalah turunan pamong praja zaman Belanda, Semua anaknya sekolah. Kami, anak anak, pagi sekolah, sore diharuskan mengaji, Guru mengaji didatangkan ke rumah. Dalam usia 12 tahun saya sudah khatam Al-Quran. Saya masih ingat waktu itu saya dikhatamkan, diuji mengaji di depan banyak orang. Setelah itu menjadi patokan di dalam keluarga kamu orangtua saya memberi uang, kalau saya khatam, satu ringgit (Rp2,5) zaman Belanda dulu.

Sejak lecil saya rajin salat lima waktu, tetapi dulu masih dicampur-campur dengan adat. Misalnya, ibu saya selalu menyediakan lampu minyak tanah dengan bubur merah dan bubur putih. Maksudnya memohon kepada Allah jalan yang terang supaya bisa lulus ujian sekolah dengan baik.

Orangtua sebenarnya ingin saya menjadi dokter atau bupati. Pecahnya revolusi membuat semua berubah. Saya terjun ke kancah perjuangan kemerdekaan dan memilih jadi anggota pasukan. Seusai perang kemerdekaan saya tak meneruskan sekolah, tetap menjadi prajurit lapangan. Terjadilah kontradiksi dalam hidup saya. Asalnya didorong punya keahlian kedokteran untuk menyembuhkan orang sakit, tetapi akhirnya malah menjadi ahli membunuh manusia, menjadi tentara. Alhamdulillah, mungkin karena merasa dekat dengan Allah, saya praktis tidak pernah menemukan bahaya sekecil apa pun. Padahal hampir semua wilayah di Indonesia sudah saya jelajahi, mulai dari kawasan kota, kampung, gu. .nung, sampai hutannya yang kata orang angker dan banyak binatang buas, Semua peristiwa militer saya ikuti terus ke mana saja. Saya selalu mendapat kemudahan meski dalam kondisi sulit sekalipun. Ke Kongo (Afrika) saya jalani dua kali. Di sana saya merasa Allah melindungi saya. Saya memohon rida Allah, memohon kebaikan Allah, bagi keselamatan dan penyelesaian tugas. Saya merasa selalu dibimbing oleh , Allah, padahal kalau dipikir-pikir ‘ banyak sekali yang gugur, yang terganggu Oleh binatang di hutan. Saya ‘ malah tidak pernah disentuh kelabang, ular, apalagi binatang buas yang besar-besar.

Pernah di hutan Sancang, hutan yang paling angker, para prajurit saya diganggu macan, ular tanah, dan segala macam. Tapi anehnya saya tidak pernah mengalami hal seperti itu. Di hutan Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, yang penuh dengan binatang pacet, tak ada satu ekor pun dan binatang ini yang nempel di tubuh saya. Saya merasa begitu | banyak mendapatkan kebaikan Allah. Begitu tugas rampung, saya bersujud syukur. 

Dukun Palsu

Setelah berhenti jadi gubernur, dua tahun tidak bertugas, bebas ke mana pergi. Tiba-tiba saya dipanggil Pak Harto ke Bina Graha. Ini juga anugerah yang saya sendiri tidak tahu persis bagaimana kejadiannya. 

Banyak orang terheran-heran, setelah “ menganggur” dua tahun, kok tiba-tiba dipercaya menjadi Sesdalopbang, Mereka mengira saya punya dukun. Katanya, saya suka pergi ke Jampang(Sukabumi), di sana saya dibina oleh dukun, pelaksanaannya di pinggir sungai. Padahal saya di sungai mencari ikan.

Desas-desus itu terus saja berembus, setelah saya bertugas di Bina Graha. Sampai-sampai yang biasa mengantar saya mencari ikan bilang, “Pak, orang banyak bertanya, siapa sih dukunnya Pak Solihin ini.” Yang bertanya ada pegawai tinggi, bahkan jenderal. Akhirnya tukang mengantar saya mancing ini mengaku menjadi dukun. 

Waktu saya pergi ke Jampang, saya lihat “dukun” itu penampilannya  sudah lain: pakai kacamata hitam dan jas kampung.

Waduh kau maju sekali, pake jas, pake kacamata, pake celana panjang,” kata saya. 

Dia menjawab, “Pak, saya kan hidup enak, jadi dukun bapak.” 

Kalau ayah saya, dia memang punya guru agama, dialah Abah Sepuh di Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya.

Kami kenal baik dengan keluarganya. Putra Abah Sepuh, yang sekarang dikenal sebagai Abah Anom, saya kenal baik. Saya suka bermainnya dengannya dikala kecil.

Setelah Abah Sepuh meninggal, saya bertemu Abah Anom waktu saya menjadi prajurit. Yaitu waktu berbasis di Gunung Sawal di dekat kediamannya Abah Anom. Abah anom tidak setuju dengan DI/TII, saya Bersama dia berusaha melawan mereka. Syukur Alhamdulillah sampai sekarang pun tidak pernah putus hubungan.

Ketika saya menjadi Sesdalopbang, dia punya sentra penyembuhan anak-anak korban obat bius dan Narkotika. Kami ikut membangun gedungnya bersama Pak Harto. Waktu Pembangunan koperasinya, kami pun ikut menyalurkan sapi perah ke pesantren itu, juga mengembangkan pelaksanaan intensifikasi cengkeh di sana.

*Diceritakan kepada Suryana (Bandung)
Sumber: Panji Masyarakat, 21 November 1999

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading