Di luar soal pilihan-pilihan hidup, yang banyak menentukan kenapa saya memilih menjadi saya yang sekarang karena faktor ingin memprioritaskan anak-anak saya. Apalah di kata, sekarang saya justru merasakan kerinduan kepada anak. Maklum, anak-anak saya sudah menginjak masa remaja. Biasa lah mereka sudah memiliki teman bermainnya sendiri-sendiri. Mereka sudah memiliki kesibukan masing-masing. Setiap hari, pagi-pagi sekali mereka sudah pergi ke sekolah. Pulangnya juga sore. Makanya, saya manfaatkan waktu yang sedikit yang saya miliki dengan bermain-main dan bercengkerama dengan mereka. Saya merasa, ketika anak-anak sudah besar, saya kok haus akan kasih sayang mereka. Ha… ha… ha… Kepada mereka, saya tekankan pendidikan agama. Sebab, kalau ada agama, di mana pun kita berada, kita sudah berserah. Kalau kita sudah berserah, kita sudah mendapatkan penjagaan yang paling hebat. Kita sudah tidak lagi bisa berpikir harus gimana-gimana ketika suatu cobaan godaan datang kepada kita.
Berserah dirilah, Allah akan menjaga kita. Itu yang selalu sara terankan pada anak-anak. Kalau itu tidak kita lakukan, ya, kita akan worry terus. Setiap Orangtua menginginkan yang terbaik buat anak-anaknya ‘kan? Mungkin saya meniru apa yang orangtua saya pernah ajarkan. Keluarga kami sangat moderat. Ayah saya seorang Protestan. tapi. sejak lahir saya sudah Islam. Saya sendiri, pernah sekolah di Katolik. Tarakanita. Saya mengenal baik dengan keluarga ayah saya. Kami tetap bersilaturahmi. Dan ayah saya seorang yang sangat toleran. Dia sangat mendorong jika kita pergi ke masjid. mengaji, berpuasa, dan berlebaran Jadi, hidup kita damai. Ayah menjadi Islam waktu beliau menikah dengan ibu saya, karena ibu adalah anak seorang kiai. Meski demikian, waktu itu kadang saya juga iri melihat teman-teman yang sudah mahir dalam mengaji. Kalau saya hanya bisa sedikit. Saya dan suami kompak dalam memberikan pendidikan agama kepada anak-anak. Kami tidak memakai konsep yang keras-keras. Saya terapkan kepada mereka agama dengan kasih Sayang. Saya tidak pernah memaksakan sesuatu kepada mereka. Saya ingin mereka mencintai agamanya. Itu yang saya inginkan. Saya berprinsip, sesuatu yang dipaksakan akan kurang begitu mengenai di hati. Saya pikir, saya sendiri juga tidak bisa begitu memaksa.
Tapi, Islam adalah yang paling cocok buat saya. Saya kagum dengan agama saya ini. Saya mencintai Allah bukan karena keharusan, tapi saya merasa itu memang terbaik buat saya.
Akhirnya, makin lama saya makin mencintai Allah. Jadi, saya itu bukan cinta pada pandangan pertama. Ketika saya sekolah di Amerika, saya mulai membaca Al-Qur’an hingga saya bisa khatam. Itu saya lakukan justru saat saya lagi gaul. Kenapa, karena waktu saya mau berangkat ke Amerika itu, teman-teman justru ngeledekin saya, “Kamu mau sekolah ke Amerika? Kamu tahu nggak, kalau teman-teman kami yang sudah ke sana (Amerika, red) di sana yang dipeluk bukan lagi Al-Qur’an, tapi pacarnya.” Nakut-nakutin saya ya?. Saya berpikir, ah, masa iya begitu. Saya justru kepingin, tapi tidak seperti itu. Nyatanya? Alhamdulillah, saya bisa membuktikan sendiri.
Memang, kondisi kita pada setiap periode itu lain-lain. Itu semua ada prosesnya. Ketika kita remaja dan anak-anak dulu, pendekatan dan merasa dekat dengan Allah itu berbeda sekali. Pada saat anak-anak dulu, kalau membaca Al-Qur’an ya membaca aja hafalan. Tapi suka sekali karena saya merasa benar-benar diberi kehidupan. Tapi saya tahu kalau ini hanya bersifat sementara. Yang nanti, ada yang lebih baik lagi. Biasanya, kalau kita berdoa, kita selalu meminta kepada-Nya. Apa yang sepertinya belum kita miliki. Seperti kata salah seorang ustaz ngaji saya, “Kalau kamu minta, mintalah kepada Allah SWT, karena Allah akan mengabulkan keinginan hamba-Nya.” Tapi, kok, saya memikirnya begini, saya tuh sudah sangat beruntung dengan segala apa yang ada, yang sudah diberikan oleh-Nya. Jadi, saya tahu kalau ini semua adalah pemberian-Nya yang terbaik. Saya takut kalau saya minta sesuatu, mungkin kurang baik buat saya. Saya hanya bersyukur saja. Pasti Allah tahu yang lebih baik buat saya.
Kalau anak kita sakit, ya saya pasti minta supaya diberikan kesembuhan. Tapi, kalau minta untuk sesuatu yang belum saya punyai, tidak lah. Saya hanya minta yang terbaik buat saya. Kalau memang ini bagus, ya terjadilah. Kalau tidak, ya jangan. Dan, yang pertama yang biasanya saya minta itu yang sifatnya berhubungan dengan orang banyak. Misalnya, saya ingin membuat suatu acara. Kalau memang itu bagus, ya Allah, berikan. Tapi, kalau tidak, ya jangan. Jadi, kadang saya juga mengingatkan kepada teman teman, kalau suatu proyek memang bagus buat kita, ya jalankan, Tapi, kalau tidak, ya jangan kecewa. Teman-teman sih hanya tertawa sambil berkata, “Oh, ya, ya.”
Saat saya pergi haji tahun 1997, banyak pengalaman yang terjadi yang membuat saya semakin mempererat hubungan dengan Yang di Atas. Tapi, karena menurut saya hal-hal yang seperti itu sifatnya adalah pribadi maka saya tidak ingin semua menjadi tahu. Itu ‘kan hubungan yang sangat khusus dengan Tuhan. Luar biasa sekali. Dan saya melihat kebesaran Tuhan yang luar biasa. Aduh, tidak bisa dikatakan dengan kata-kata deh. Makanya, karena demikian indahnya, untuk tahun-tahun selanjutnya saya pergi umrah. Harus diakui ada kalanya kendur spiritual saya. Selama ini saya memaksimalkan sikap religiositas saya dengan lebih banyak tafakur dengan cara banyak membaca. Belajar tentang kisah-kisah tentang para penyebar agama Islam, baik yang ada di Pulau Jawa maupun yang ada di luar kepulauan Indonesia. Saya perhatikan perjuangan mereka.
*Ditulis bersama Aam Masroni.
Sumber: Majalah Panjimas, 27 November-12 Desember 2002.