Pengalaman Religius

Imam Teguh Saptono (3): Terpapar Covid-19 dan Jihad Di Layar Putih

Avatar photo
Written by Iqbal Setyarso

Dengan kiprahnya yang cukup intensif, Imam Teguh Saptono pun sampai pada “predikat baru”: sebagai produser film. Dalam buku yang ia tulis sendiri, ia mengatakan,”Merekalah yang menuduh saya demikian! Boleh jadi ini merupakan fitnah berikutnya, setelah dituduh sebagai radikalis, ustaz, dan kini bertambah menjadi produser film!”

Seperti saya sebutkan sebelumnya, saya berpikir untuk keluar dari ACT – tertunda karena terpapar Covid-19. Baru pada pertengahan tahun 2020 keputusan itu terealisir. Saya menekuni perwakafan dan menjadi salah satu pimpinan Badan Wakaf Indonesia. Saya pernah tak percaya adanya Covid-19, dan baru mempercayainya saya terpapar Covid-19.


Saat terpapar, saya rasakan nyaris gagal bernafas. Pada awal dinyatakan positif Covid-19, setelah lima hari mengalami demam dan mengalami mual hingga hilang selera makan. Kemudian hari kedua setelah dinyatakan positif, saya baru mengalami sesak napas.


Dalam kondisi serba tak nyaman itu, selain berdoa, ikhtiar yang saya lakukan, minta kawan dan kolega mengirim video pendek untuk saya. Saya mulai pulih dari Covid-19 setelah mendapat kumpulan video dukungan dari kawan-kawan selama menjalani perawatan di ruang isolasi.


Saya masuk rumah sakit hari keenam, masuk ICU hari ke-13. Kemudian oksigen di-full-kan itu tidak membantu. Kemudian diare, sampai akhirnya dokter putuskan pasang ventilator,” ungkap ITS.


Tiba-tiba suster datang bawa MP3 player karya dari istri dan sahabat saya yang isinya voice dan video teman SD, SMP, SMA, kuliah S1, S2, S3, teman-teman kantor, pokoknya komplit. Testimony itu saya sampaikan dalam webinar bincang-bincang dengan tema perilaku hidup aman selama pandemi yang diselenggarakan Aksi Relawan Mandiri – Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor (ARM HA IPB).


Saat itu saya merasa berada di titik terparah, hingga menganggap tidak lama lagi akan meninggal dunia karena Covid-19. Sebab, tabung oksigen sekalipun tak membantu, sehingga tim dokter memutuskan untuk memasang alat ventilator. Melalui kumpulan video kiriman kawan dan kolega saya, saya merasa mendapat induksi tentang masa lalu, mulai optimisme itu kembali, merasa termotivasi.


Hanya dalam waktu empat hari, alat ventilator tersebut sudah dapat dicabut dari tubuh saya. Kata perawat, penggunaan alat ventilator selama empat hari merupakan rekor tersingkat di rumah sakit (RS) tempat saya dirawat.


Biasanya pemakaian ventilator itu seminggu ke atas, perawat yang kaget. Dokter pun memberikan selamat, saya tiga dari lima yang bangun penggunaan ventilator. Itu membuat saya amat bersyukur.

Bergaul dengan Artis
Ini kali kedua bagi saya bersama teman-teman: Mas Jastis Arimba, Bunda Helvy Tiana Rosa, Bunda Asma Nadia, Ustadz Erick Yusuf, Mbak Oki Setiana Dewi, Mas Ryo, teman-teman di Warna Pictures, serta banyak pihak, bekerja sama dalam proses membuat film. Film perdana, 212: The Power of Love” dan kemudian Hayya: The Movie..


Apakah ini sebuah passion atau bakat, buat saya nggak penting. Berkenalan dengan team ini saja, sudah PR besar untuk mencernanya. Kira-kira Allah ingin berpesan apa kepada saya? Karena di sisi lain saya pernah mendengar, bahwa film dan music adalah hal-hal yang harus ditinggalkan. Dalam kebingungan apa saya lanjut atau tidak, mulailah saya mencari tahu apa itu film, siapa saja yang ada di dalamnya, bagaimana industri ini bekerja dan bagaimana dia berdampak kepada umat.


Melalui kedua film itu, saya belajar bagaimana proses pembuatan sebuah film. Bagaimana suasana di lapangan. Siapa saja yang ada di dalamnya. Apa saja yang mereka kerjakan. Akhirnya saya menyadari bahwa hakikat industri film dan industri lain, sama saja. Tergantung yang ingin dicari.


Jika yang dibawa oleh diri ini adalah representasi nafsu dunia, di situlah tempatnya dan kita akan menemukan banyak sekali celah untuk menikmatinya. Sebaliknya jika kita ingin membawa representasi penghambaan kepada Allah, maka akan menemukan banyak sekali tantangan dan tanggung jawab yang harus ditunaikan. Paling tidak, hal itu yang saya pelajari dari Bunda Helvy dan teman-teman yang lain.
Bagaimana caranya, agar di setiap scene yang pemerannya adalah wanita balig, wajib mengenakan jilbab sejauh dirinya muslimah. Demikian juga jika dalam satu scene ada adegan yang menampilkan hanya sepasang tokoh lelaki dan perempuan, maka tidak boleh terdapat adegan berdua-duaan, apalagi jika mereka bukan mahram baik dalam film maupun di kenyataan, serta berbagai aturan lainnya.
Kenapa sampai sedemikian ribetnya? Karena kami memahami bagaimana dahsyatnya sublimal message bekerja merekayasa alam bawah sadar penontonnya. Apalagi jika mereka adalah anak-anak, yang alam bawah sadarnya belum berkembang baik.


Justru bila kita paham cara kerja sublimal message, maka kita akan mengerti bagaimana ertempuran dan serangan iblis dalam setiap film yang mereka sponsori, berusaha membentuk alam bawah sadar penonton. Sehingga pada gilirannya, para penonton ini akan berperilaku sebagaimana keinginan iblis.
Sebagai perbandingan, penonton film Indonesia saat ini menurut catatan, ada 50 juta orang lebih. Sebarannya kira-kira: film 212: The Power of Love dengan segala hambatannya, telah ditonton oleh 350 ribu orang. Sementara Warkop Reborn: Jangkrik Bos 1, tembus hingga 6,8 juta orang. Dilan 1990, sekitar 6,3 juta orang. Dilan 1991, sebanyak 5,2 juta orang. Ada Apa dengan Cinta, ditonton 3,7 juta. Bernapas dalam Kubur 2 , 3,3 juta orang. Danur, disaksikan 2,7 orang. Pengabdi Setan, ditonton 4,2 juta orang. Serta Jailangkung, sebanyak 2,5 juta orang. Terbayang bagaimana serunya pertempuran di layar bioskop. Sampai-sampai Bunda Helvy menyebutnya sebagai “jihad budaya”.


Paling tidak kata-kata itu yang saya adopsi dari pernyataan Bunda Helvy, sambal terus belajar (maklum memang bukan ustaz) dan tetap berpegang teguh pada spirit “Dakwah First Business Follow”, tentunya.
Melalui kegiatan itu saya mendapat kesempatan untuk bisa berdebat dengan Bunda Helvy, tukar pikiran dengan Bunda Asma, bisa sok-sokan ikut mengarahkan Mas Jastis, sang sutradara, bertegur sapa dengan Mas Ryo dan Mbak Oki, bertukar senyum dengan Ria Ricis (karena memang posisinya dekat dan tidak harus nyeruduk-nyeruduk orang untuk bisa mendekat, seperti kebanyakan orang lain), bertukar pikiran dengan Ustadz Erick, disalami oleh Dude Herlino dan mendapat compliment darinya (meskipun saya nggak yakin beliau kenal saya), bisa berfoto dengan Tengku Wisnu. Itu semua, bagi saya merupakan segudang rahmat Allah yang saat ini saya rasakan dan tak pernah terpikirkan bila tetap menjadi dirut bank.


Di tengah ketakjuban atas episode hidup yang saya alami, senantiasa terselip sebuah doa, ”Ya Allah, jika ini cara bagiku untuk berdakwah di jalan-Mu maka berkahilah, berilah keistikamahan padaku dan rekan-rekan kerjaku. Mampukanlah kami untuk senantiasa menciptakan karya-karya yang Engkau ridha kepadanya. Namun jika ini membawa keburukan kepada akhiratku, maka jauhkanlah ya Allah.”

Hikmah Peristiwa ACT
Beranngkat dari rangkaian peristiwa yang saya alami di atas, mulai dari pemberhentian diri saya sebagai Direktur Utama di BNI Syariah hingga peristiwa terbongkarnya kasus ACT, ada satu pembelajaran dan benang merah yang bagi diri saya. Dan atas apa yang saya lakukan, saya mohon ampun ke hadirat Allah sang penggenggam setiap urusan. Pelajaran utama dari hadirnya kezaliman adalah banyaknya orang-orang baik yang diam, amar makruf nahi mungkar belum meresap di dada saya. Padahal jika saya berani menyuarakan dan bertindak atas kebenaran sejatinya sama sekali tidak akan memperpendek umur dan menyempitkan rezeki saya dan orang lain juga sebaliknya bila saya takut menyuarakan dan bertindak benar serta ikut serta dalam sebuah tindakan yang dzalim juga tidak akan memperpanjang umur dan menambah rezeki saya di dunia.


Dan tampaknya apa yang terjadi di ACT boleh jadi merupakan bentuk miniatur dari praktik bernegara kita saat ini, terlalu sedikit orang baik yang berani menyatakan kebenaran dengan 1001 ragam alasan. Dalam kitab Ar-Risalah al-Qusyairiyyah disebutkan, “Yang tidak menyuarakan kebenaran adalah setan bisu.”, ungkapan ini banyak dinukil oleh ulama-ulama besar, sebab kondisi inilah yang akan mewarnai kehidupan umat saat sehari-hari. Setiap mukmin berkewajiban untuk mengingkari yang batil dan menyeru kepada yang makruf sesuai dengan kemampuannya. Rasulullah bersabda, “Barang siapa di antara kamu sekalian melihat kemungkaran hendaklah mengubahnya dengan tangan (atau kekuasaannya) bila tidak mampu hendaklah mengubahnya dengan lisannya (nasihat) dan bila tidak kuasa maka hendaklah mengingkari dengan hatinya, yang terakhir ini adalah selemah-lemah iman.” (HR Imam Muslim).


Mudah-mudahan dari peristiwa ini saudara-saudara seperjuangan di lembaga-lembaga kemanusiaan dan filantropi lainnya, serta masyarakat pada umumnya dapat mengambil pelajaran berharga, memperbaiki diri dan organisasi serta bersama-sama berani menyuarakan kebenaran bahwa stigma filantropi Islam sebagai sumber korupsi, pendanaan terorisme dan aktivitas radikalisme semata-mata lahir dari paradigma Islamophobia dan tidak benar adanya. Filantropi Islam adalah wujud dari maqashid syariah (tujuan diturunkannya syariat), sebagai rahmatan lil alamin.

About the author

Avatar photo

Iqbal Setyarso

Wartawan Panji Masyarakat (1997-2001). Ia antara lain pernah bekerja di Aksi Cepat Tanggap (ACT), Jakarta, dan kini aktif di Indonesia Care, yang juga bergerak di bidang kemanusiaan.

Tinggalkan Komentar Anda