Ads
Pengalaman Religius

Yessy Gusman (1): Mencintai Tuhan lewat Taman Bacaan

Avatar photo
Ditulis oleh Asih Arimurti

Yessy Gusman, lengkapnya Yasmine Yuliantina Gusman, adalah bintang film terkenal era 1980-an. Ia mulai berkarier pada 1974 dan namanya melejit pada 1979 lewat film Gita Cinta dari SMA yang dibintangi bersama Rano Karno. Setelah lama meninggalkan dunia akting, awal 2000 Yessy muncul dengan sosok dan penampilan baru: pegiat pendidikan anak dan mengenakan kerudung. Pada 2003 nominee aktris terbaik FFI 1981 (lewat film Usia 18 garapan Sutradara Teguh Karya) ini mendapat penghargaan dari Menteri Pendidikan Nasional kala itu A. Malik Fadjar atas prestasinya meningkatkan minat baca masyarakat melalui Taman Bacaan Anak (TBA). Di bawah naungan Yayasan Bunda Yessy ia mendirikan 46 TBA dan Sanggar Kreativitas Anak. Berikut kami tayangkan kembali pengalaman religius Yessy Gusman, S.H., M.B.A. sebagaimana diceritakan kepada Asih Arimurti dan Aam Masroni.

Suatu hari saya puIang malam. Waktu itu hujan rintik-rintik. Saya melihat beberapa anak kecil di jalanan sedang meminta-minta. Di antaranya ada yang perempuan. Bayangkan, pukul 9 malam ada anak kecil mencari makan. Seketika saya berpikir, “Ya Allah, bagaimana jika yang di luar itu adalah anak-anak saya?” Peristiwa itu sangat membekas dalam diri saya. Bagaimanapun kita adalah ciptaan Allah. Dan kalau benar kita mencinta Allah, kita juga harus mencintai makhluk-Nya.

Itulah antara lain yang mendorong saya membuat taman bacaan untuk anak-anak yang tidak mampu. Kebetulan pula saya dan anak-anak di rumah suka membaca. Taman bacaan itu saya dirikan pada bulan Desember 1999. Anak-anak saya ikut terlibat di dalamnya. Bahkan sebagian bukunya punya anak-anak saya. Tapi pinjam sifatnya agar mereka juga tetap bisa belajar. Kami kontra1k sebuah rumah persis di belakang rumah, di kawasan Rawajati, Pancoran, Jakarta Selatan. Tapi karena sering kebanjiran, kami pindah ke seberang jalan. Alhamdulillah, sekarang bebas dari banjir.

Kami serius menyiapkan taman bacaan ini semenarik mungkin. Misalnya di semua dinding ruang baca kami tempelin macam-macam poster. Kami lengkapi dengan beberapa meja kecil di tengah ruangan, dan ubinnya kami lapisi dengan karpet warna-warni. Pokoknya, berbeda sekali dengan yang sebelumnya.

Ternyata sambutan masyarakat sekitar cukup baik. Makin hari taman bacaan kami makin ramai. Anak-anak tampak antusias membaca. Senang rasanya menyaksikan mereka bergembira, dan sepertinya mereka tidak bosan-bosan datang. Mungkin karena kami juga menyediakan cukup banyak koleksi lagu-lagu daerah atau lagu-lagu rakyat. Karena perkembangannya cukup bagus banyak pihak yang bersimpati dengan program taman bacaan ini. Kami pun mendapat banyak sumbangan buku. Lambat laun koleksi buku kami bertambah banyak. Kami pun menambah beberapa rak buku yang kami cat warna-warni pula biar menarik.

Saya lihat program sederhana ini memang baik dalam membangun minat baca. Karena itu kami lalu melakukan semacam ekspansi dengan membuat beberapa taman bacaan di tempat lain. Alhamdulillah, hasil yang sama saya dapatkan di sana. Kini sudah ada 14 taman bacaan yang tersebar di beberapa lokasi padat, kumuh, dan terpencil di Jakarta. Saya tidak mau menyebutkan berapa jumlah anak asuh yang menjadi semacam members di dalamnya. Saya sendiri tidak ingat lagi berapa jumlah mereka. “Saya tidak banyak berpikir bahwa ini akan mendatangkan pahala. Yang saya tahu setiap kebaikan pasti ada pahalanya. Apalagi, saya pikir membaca itu ‘kan sangat penting. Membaca adalah cara mendapat pengetahuan di luar jam pelajaran di sekolah. Untuk memperbaiki segala sesuatunya, seperti kehidupan di pemerintahan yang saat ini tengah terpuruk, atau untuk meningkatkan kemampuan ekonomi dan lain-lain, tentunya harus punya sumber daya manusia yang baik, bermutu.

Nah, seperti bisa kita saksikan saat terjadi krisis ekonomi 1997, semua orang seperti panik. Bagi yang kurang mampu mereka mengutamakan kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Sementara untuk berpikir soal buku-buku, mereka tak sempat. Taman bacaan ini memang untuk membantu mengatasi persoalan keluarga bagi mereka yang kurang mampu itu saat krisis. – Sepertinya itu semua pas  dengan keinginan masyarakat,  terutama seorang ibu, di lingkungan. taman bacaan berada. Ya, seorang ibu tentu ingin memberi  yang terbaik kepada a anak-anaknya.. Dengan: kata lain menginginkan anak- anaknya pintar. Hal demikian adalah mimpi seorang ibu. Sa ya sekarang merasa sangat beruntung bisa memberikan yang terbaik buat anak-anak saya. Tapi “kan, tidak semua ibu bisa  seperti itu. Ada ibu yang ingin menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi, sementara kemampuannya terbatas. Jangankan untuk membelikan anaknya buku, untuk membeli makanan untuk keluarganya saja susah. Seperti itu penjelasan sederhananya, kira-kira.

Kita ‘kan mencintai anak bukan hanya anak kandung kita saja, tapi juga semua. Kita adalah satu keluarga besar. Alangkah indahnya kalau saya bisa melakukan banyak hal untuk mengatasi kekurangan seperti itu. Tapi kemampuan saya ‘kan juga terbatas. Ya, jadi saya hanya berusaha sebatas yang bisa saya lakukan. Saya pingin anak-anak yang tidak mampu seperti anak-anak yang lain dari kalangan mampu dalam hal peluang belajar, lebih khusus lagi dalam hal kebiasaan membaca buku.

Setelah taman bacaan ber. kembang demikian banyak, kini telah berubah dari yang semula milik individu, yaitu milik saya pribadi, menjadi sebuah yayasan. Jadi bersifat independen. Yayasan itu bernama “Yayasan Bunda Yessy.” Yayasan ini menjadi wadah bagi semua kegiatan yang telah saya lakukan selama ini. Seperti man bacaan, sanggar kesenian, dan kegiatan kemanusiaan dan sosial. Sebetulnya saya tidak mau mendirikan yayasan. karena desakan teman yang ikut bergabung yang menganjurkan bahwa yayasan penting. Ya sudah. Memang  kalau kita hendak melakukan kerja sama banyak yang menanyakan keberadaan lembaga hukumnya. Dengan pertimbangan itu akhirnya yayasan berdiri dengan mis persis seperti apa yang saya tis selama ini. Bagi saya, mendingan kita kecil tapi settle, daripada besar tapi tidak mapan. 

Mengharukan sekaligus membanggakan jika melihat  sorot mata anak-anak itu di taman bacaan. Mereka sangat gembira. Mungkin karena pada setiap pembukaan kita bikin acara. Seperti ada perlombaan, pasang balon-balon, setel musik, bernyanyi bersama sampai baca puisi. Yang menang kita kasih hadiah-hadiah kecil, seperti buku, pencil, jadi ramai. Terlihat rasa memiliki pada diri  mereka. Hal ini terbukti pada saat banjir kemarin. Mereka bahu-membahu menyelamatkan buku-buku. Ramai-ramai membersihkannya. Terus, kalau ada apa-apa, seperti ada rak yang hampir roboh karena termakan rayap, mereka segera melaporkan. Dan macam-macam persoalan lainnya.

Saya memang mengkhususkan taman bacaan dan sanggar yang saya buat untuk anak-anak yang tidak mampu. Dan lokasi yang kita pilih juga memang benar-benar di perkampungan. Ada yang dari sumbangan kelurahan, atau sumbangan pak haji setempat. Sumbangan dari teman-teman artis juga ada. Alhamdulillah, kita banyak dapat buku.

Saya pernah mau diberi lokasi yang bagus yang dekat oleh salah seorang ketua RT dan RW, tapi saya menolaknya. Karena ketika kita masih berbaur dengan masyarakat, yang mau datang ke situ tidak usah mengeluarkan ongkos. Bersambung

*Ditulis bersama Aam Masroni.

Sumber: Majalah Panjimas, 27 November-12 Desember 2002.

Tentang Penulis

Avatar photo

Asih Arimurti

Wartawan Majalah Panji Masyarakat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading