Ads
Aktualita

Satu Abad NU: Dinamika Politik Kaum Nahdliyin (2)

Ditulis oleh Abdul Rahman Mamun

Nadlatul Ulama (NU) sejak berdiri pada 1926 hingga usianya yang 100 tahun (16 Rajab 1344 – 16 Rajab 1444 H) terus menunjukkan dinamika politiknya yang selalu menarik. Menurut Anggaran Dasar NU ketika didirikan tujuan organisasi Nahdlatul Ulama adalah berlakunya ajaran Islam yang menganut paham Ahlusunnah Waljamaah untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang berkeadilan demi kemaslahatan, kesejahteraan umat dan demi terciptanya rahmat bagi semesta (rahmatan lil alamin). Dalam konteks pemikiran politik NU berkaitan dengan tujuan terwujudnya tatanan masyarakat yang berkeadilan demi kemaslahatan, kesejahteraan umat juga meliputi paham kebangsaan. Artikel menyambut Satu Abad NU ini adalah bagian ke-2 dari 4 tulisan berseri. Selamat membaca.

Pemikiran Politik NU
Perjalanan politik Nahdlatul Ulama ketika berdiri sebagai organisasi sosial keagamaan juga tak lepas dari situasi politik di masa perjuangan meraih kemerdekaan dan masa-masa awal kemerdekaan negara Indonesia. Sebagai organisasi Islam tradisonalis tujuan berdirinya Nahdlatul Ulama secara otentik terdapat dalam Statuta NU 1926, sebelum digunakan istilah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART). Disebutkan dalam Statuta NU 1926 bahwa maksud dan tujuan didirikan NU adalah untuk memegang teguh salah satu dari madzhab dari imam yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) dan mengerjakan apa saja yang menjadi kemaslahatan agama Islam. Untuk mencapai maksud itu, diadakanlah ikhtiar (usaha NU menurut Statuta 1926) sebagai berikut (Ridwan, 2020):

  1. Mengadakan perhubungan di antara ulama-ulama yang bermadzhab
  2. Memeriksa kitab-kitab sebelumnya yang dipakai untuk mengajar, supaya diketahui apakah itu kitab-kitab Aswaja ataukah kitab-kitab ahli bid’ah.
  3. Menyiarkan agama Islam yang berasaskan pada madzhab dengan jalan apa saja yang baik.
  4. Berikhtiar memperbanyak madrasah-madrasah yang berdasarkan agama Islam
  5. Memerhatikan hal-hal yang berhubungan dengan masjid-masjid, surau-surau, pondok- pondok, begitu juga dengan hal ihwal anak anak yatim dan orang-orang fakir miskin.
  6. Mendirikan hadan-badan untuk memajukan urusan pertanian perniagaan dan perusahaan yang tiada dilarang oleh syara agama Islam

Statuta NU Tahun 1926 lahir di masa penjajahan Belanda. Meski demikian para Muassis atau pendiri Jam’iyyah atau organisasi Nahdlatul Ulama sudah merumuskan sedemikian rupa maksud, tujuan dan usaha NU saat itu, yang bila dibaca hari ini bisa dikatakan ikhtiar para pendiri NU melalui organisasi NU ini visioner dan terasa Statuta NU 1926 masih relevan relevan hingga saat ini.

Dalam perkembangannya tujuan organisasi NU yang termaktup dalam Statuta NU 1926 tersebut dituangkan dalam Anggaran Dasar NU yakni Bab IV Pasal 8 AD NU (2015) ayat 2 yang menyebutkan tujuan organisasi Nahdlatul Ulama adalah berlakunya ajaran Islam yang menganut paham Ahlusunnah Waljamaah untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang berkeadilan demi kemaslahatan, kesejahteraan umat dan demi terciptanya rahmat bagi semesta (rahmatan lil alamin).Dalam konteks pemikiran politik NU berkaitan dengan tujuan terwujudnya tatanan masyarakat yang berkeadilan demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat, juga meliputi paham kebangsaan. Menurut KH. Sahal Mahfudh, Rois Aam PBNU 2005-2014, di NU dikenal tiga macam paradigma politik, yaitu politik kenegaraan (kebangsaan), politik kerakyatan, dan politik kekuasaan. Dari ketiga paradigma politik tersebut politik kekuasaan (politik praktis) menempati kedudukan yang paling rendah (Zada dan Sjadzili, 2010: 3-5).

Perspektif NU terhadap paham kebangsaan bila ditelusuri dapat dikatakan digali dari pemikiran-pemikiran politik kaum Ahlussunnah Waljamaah atau Sunni Abad Pertengahan. Pemikiran politik ini sudah mengalami perkembangan selama sekitar 500 tahun, yang diawali pada abad ke-9 oleh para ulama fikih, seperti Al-Baqillani, Al-Baghdadi, Al-Mawardi, Al-Ghazali, Ibn Taymiyyah, dan Ibn Khaldun. Dalam hal ini pemikiran politik NU cenderung mengambil rujukan terutama dari Al-Mawardi dan Al-Ghazali, tokoh Sunni yang bersikap moderat dalam politik. Sikap politik moderat ini bersesuaian karakter orang-orang Jawa, yang lebih mementingkan keharmonisan, keselarasan hubungan antarmanusia. Sikap moderat dan cenderung memilih jalan damai adalah pilihan yang sesuai dengan tradisi Jawa, di lingkungan mana NU berdiri dan berkembang (Musa, 2011: ix).

Tradisi Sunni yang dijadikan rujukan pemikiran politik NU ini mengacu pada Al-Mawardi dan Al-Ghazali, seperti bisa mengakui keabsahan seorang raja, sepanjang kekuasaan dan pemerintahannya membawa ketertiban dan tidak menimbulkan kekacauan (fitnah). Sikap moderat atau jalan tengah ini sejalan dengan tradisi Jawa yang ditandai dengan mencari harmoni yang dicita-citakan dalam kehidupan masyarakat.

Pencarian keselarasan merupakan hal yang sangat penting bagi para ulama NU yang hidup lebih dekat dengan masyarakat pedesaan, tempat para kyai mengembangkan dakwah dan mendirikan pesantren, ketimbang kaum reformis yang sering kali merupakan intelektual atau kelas menengah yang berasal dari lingkungan perkotaan. Dalam konteks inilah kemudian NU berhasil merumuskan konsep gagasan dasar tentang tawassuth (moderat), tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), i’tidal (keadilan), dan iqtishad (bertindak sewajarnya tidak berlebihan) yang menjadi landasan dalam setiap pemikiran politik NU dalam dinamika kebangsan di Indonesia.

Pemikiran politik NU bila diurai sejak berdirinya di tahun 1926 hingga masa pasca-Reformasi 1998 yang melandasi sikap politik NU dalam isu-isu kebangsaan antara lain:

  1. NU menyebut wilayah Nusantara sebagai Darul Islam pada tahun 1936,
  2. Rois Akbar PBNU KH Hasyim Asy’ari menyerukan Resolusi Jihad membela tanah air pada tahun 1945 sebagai sikap resmi NU dalam perjuangan meraih kemerdekaan Indonesia.
  3. NU menyematkan gelar Waliy al-amr al-dlarúri bi al-syaukah artinya pemegang otoritas yang bersifat sementara (darurat) dengan kekuasaan penuh kepada Presiden Soekarno pada 1954.
  4. Muktamar ke-24 di Bandung 1967 NU mengkritik bangunan politik yang timpang, menolak demokrasi liberal, menolak politik Marxisme-Leninisme, menolak ‘Demokrasi Terpimpin’ dengan pemusatan kekuasaan di tangan satu orang dan menawarkan ‘Demokrasi Pancasila’ sebagai sitem politik yang sesuai untuk Indonesia.
  5. Mutkamar NU ke-27 di Situbondo 1984 menetapkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk sah dan final dari cita-cita seluruh rakyat, termasuk umat Islam, untuk mendirikan negara di Nusantara, serta menerima Pancasila sebagai ideologi negara.
  6. Pasca-Reformasi 1998 NU membidani lahirnya Partai Kebangsaan Bangsa (PKB) yang dinyatakan terbuka dan bersifat kebangsaan.

Antara Darul Islam dan Darul Harb

Pemikiran politik NU sebagai organisasi Islam tentang kondisi atau status negara pada saat masih dijajah, sebelum Indonesia berdiri, sebelum ada perdebatan-perdebatan di BPUPKI dan PPKI menjelang kemerdekaan 1945, dituangkan dalam keputusan Muktamar NU di Banjarmasin 1939, yakni pemikiran politik NU tentang status negara dan wilayah Nusantara, dari sudut pandang agama Islam, adalah sebagai Darul Islam.

Dalam Muktamar NU tahun 1936 di Banjarmasin, Kalimantan, hasil keputusan peserta atau muktamirin terdapat poin berjudul “Apakah nama negara kita Indonesia, negara Islam”. Para muktamirin melakukan telaah dan istinbath hukum sebagaimana tradisi NU dan menghasilkan keputusan sebagai berikut ini:

Sesungguhnya negara kita Indonesia dinamakan Negara Islam karena pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang-orang Islam. Walaupun pernah direbut oleh kaum penjajah kafir (Belanda), tetapi nama Negara Islam masih selamanya, sebagaimana keterangan dari kitab Bughyatul Mustarsyidin bahwa “Setiap wilayah di mana orang Muslim mampu menempati pada suatu masa tertentu, maka wilayah itu menjadi daerah Islam, yang ditandai dengan berlakunya hukum Islam pada masanya. Sedangkan pada masa sesudahnya, walaupun kekuasaan Islam terputus oleh penguasaan orang-orang kafir (Belanda) dan melarang mereka untuk memasukinya kembali dan mengusir mereka, jika dalam keadaan seperti itu, maka dinamakan Darul Harb, yang hanya merupakan bentuk formalnya, tetapi bukan hukumnya. Dengan demikian, perlu diketahui bahwa kawasan Batavia, bahkan seluruh tanah Jawa (Nusantara) adalah Darul Islam, karena pernah dikuasai umat Islam, sebelum dikuasai oleh orang-orang kafir Belanda”.

Pemikiran politik tentang status wilayah Nusantara yang masih dalam penguasaan dan pendudukan penjajah Belanda sebagai Darul Islam itu diputuskan di Banjarmasin, 19 Juli 1936, sebagai bagian dari Keputusan Muktamar NU. KH Achmad Siddiq menjelaskan mengenai Keputusan NU mengenai Darul Islam tersebut, demikian: “Pendapat NU bahwa Indonesia (ketika masih dijajah Belanda) adalah Darul Islam sebagaimana diputuskan dalam Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1936. Kata Darul Islam yang dimaksud di situ bukanlah sistem politik ketatanegaraan, tetapi sepenuhnya istilah keagamaan (Islam), yang lebih tepatnya diterjemahkan wilayah Islam. Motif utama dirumuskannya pendirian itu adalah bahwa di wilayah Islam, maka bila ada jenazah yang identitasnya tidak jelas non-Muslim, maka dia harus diperlakukan sebagai jenazah muslim. Di wilayah Islam, maka semua penduduk wajib memelihara ketertiban masyarakat, mencegah perampokan, dan sebagainya. Meskipun begitu NU menolak ikut milisi Hindia Belanda, karena menurut kaidah Islam membantu penjajah hukumnya haram” (Ridwan, 2016).

Dalam konteks pemikiran politik keputusan NU sebagai organisasi tradisionalis menetapkan dan mengambil keputusan dengan mendasarkan rujukan kitab-kitab tradisi agama Islam Ahlussunnah Waljamaah. Meski demikian bila mencermati penjelasan KH Achmad Siddiq, maka bisa dikatakan bahwa pemikiran politik NU sebagai organisasi Islam pada saat itu tergolong progresif, karena selain mendasarkan pada teks tradisi Islam, berupa kitab-kitab para Ulama, juga mendasarkan para pertimbangan maslahat (kebaikan) bagi umat dan bagi rakyat meski dalam kondisi terjajah di satu sisi, dan mengambil sikap menolak bekerjasama dengan penjajah sebagai bentuk progresifitas pemikiran politik. (Bersambung)

Credit Foto: nu.or.id

Tentang Penulis

Abdul Rahman Mamun

Penulis, dosen Komunikasi Politik Universitas Paramadina dan communication strategist. Komisioner dan Ketua KIP (Komisi Informasi Pusat) RI periode 2009-2013. Meraih gelar S2 Magister Ilmu Politik di FISIP UI sebagai Lulusan Terbaik. Lulus S1 Teknik Sipil UGM dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Mengawali karir sebagai wartawan dan Redaktur Pelaksana Majalah Panji Masyarakat, jurnalis MetroTV dan producer ANTV, menjadi CEO Magnitude Indonesia, konsultan keterbukaan informasi dan strategi komunikasi, Direktur Utama dan Wakil Pemimpin Umum Panji Masyarakat. Menulis buku, artikel media, jurnal ilmiah dan pembicara di berbagai forum.

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading