Ads
Aktualita

Satu Abad NU: Dinamika Politik Kaum Nahdliyin (3)

Ditulis oleh Abdul Rahman Mamun

Pemikiran politik Nadlatul Ulama (NU), sejak berdiri pada 1926 hingga usianya yang 100 tahun ini (11 Rajab 1344 – 11 Rajab 1444 H), menjadi latar bagi peran dan dinamika politik NU sepanjang perjuangan kemerdekaan Indonesia hingga saat ini. Misalnya, seruan Resolusi Jihad untuk membela Tanah Air dan mempertahankan kemerdekaan pada November 1945 oleh Rois Akbar PBNU KH Hasyim Asy’ari saat itu telah menggerakkan para santri dan arek-arek Surabaya yang terjun ke medan perang dan berhasil mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan. Pemikiran politik NU lainnya yang menjadi keputusan Muktamar antara lain menolak garis politik Marxisme-Leninisme yang dinilainya membenarkan cara mencapai kekuasaan melalui jalan kekerasan dan dominasi satu golongan atas golongan yang lain. NU juga menolak ‘Demokrasi Terpimpin’ yang dipraktikkan rezim Soekarno, karena dinilai menjurus pada akumulasi kekuasaan di tangan satu orang. Artikel menyambut Satu Abad NU ini adalah bagian ke-3 dari 4 tulisan berseri. Selamat membaca.

Resolusi Jihad

Seruan Resolusi Jihad untuk membala Tanah Air dan mempertahankan kemerdekaan pada November 1945 yang dinyatakan oleh Rois Akbar PBNU KH Hasyim Asy’ari merupakan sikap resmi organisasi NU, Ini merupakan pemikiran politik NU yang bersejarah. Beberapa waktu setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 tentara Inggris mendarat di Jakarta sebagai wakil Sekutu yang menang dalam Perang Dunia II. Mereka bermaksud mengembalikan kekuasaan kolonial kepada Belanda, sebagai bagian dari Sekutu. Rakyat Indonesia bereaksi keras terhadap kehadiran Inggris dan terjadi pertempuran di banyak kota. Rakyat Indonesia berjuang keras untuk mempertahankan kemerdekaan mereka yang baru diproklamasikan.

Di Jawa Timur pada tanggal 10 November 1945 KH Wahid Hasyim dan KH Zainul Arifin yang memimpin Hizbullah maju ke garis depan untuk berperang bersama-sama dengan milisi Indonesia lainnya. Dalam situasi kritis ini, NU mengambil tindakan dengan menyerukan semua konsul-konsulnya di seluruh Jawa dan Madura dan mengadakan pertemuan di Surabaya, di mana kemudia  dikeluarkan Resolusi Jihad oleh KH Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 November 1945.

Resolusi Jihad sebagai sikap resmi NU tersebut menyatakan bahwa: (1) kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 harus dipertahankan, (2) Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, harus dipertahankan dan diamankan, (3) Musuh-musuh negara Republik Indonesia, khususnya Belanda bersama dengan tentara Sekutu (Inggris) yang menangani tawanan perang Jepang, berniat menggunakan kesempatan politik dan militer ini untuk menjajah kembali Indonesia, (4) Umat Islam, khususnya NU, wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan sekutunya yang ingin menjajah kembali Indonesia, dan (5) Kewajiban ini adalah sebuah jihad yang hukumnya fardu ‘ain, atau kewajiban individu setiap muslim yang tinggal dalam radius 94 kilometer. Mereka yang tinggal di luar jarak itu wajib membantu saudara-saudaranya dalam Islam (sesama muslim) yang tinggal dalam radius 94 kilometer tersebut.

Dengan diserukannya Resolusi Jihad oleh NU, umat Islam Indonesia mengambil peran penting dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Banyak santri dan pemuda muslim bergabung dengan pejuang Hizbullah dan Sabilillah yang dipimpin oleh KH Masykur mempertaruhkan nyawa mereka untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sementara itu KH Abdul Wahab Hasbullah memimpin Mujahidin, mengorganisir para kyai dan ulama dan bekerja sama dengan Hizbullah dan Sabilillah untuk memerangi pasukan musuh (Ismail, 2011).

Peran KH Hasyim Asy’ari sebagai Rois Akbar PBNU dalam perang kemerdekaan sangat penting. Pesantrennya di Tebuireng digunakan sebagai markas para pejuang Hizbullah dan Sabilillah. Dia tidak hanya memberikan dukungan materi tetapi juga dukungan moral kepada para pejuang muslim yang mengunjunginya sebelum mereka berangkat ke garis depan. Jenderal Sudirman dan Bung Tomo mengunjungi KH Hasyim Asy’ari untuk mengamankan fatwanya berupa seruan Resolusi Jihad tersebut, yang menginspirasi dan menguatkan semangat mereka dalam memimpin pejuang Indonesia melawan Belanda (Salam, 1963).

KH Hasyim Asy’ari meninggal tak lama kemudian, pada tanggal 25 Juli 1947. Indonesia akhirnya memperoleh kemerdekaan dan kedaulatannya pada 27 Desember 1949, setelah serangkaian perundingan antara Belanda dan para pemimpin republik baru bernama Indonesia.

Pemikiran politik NU berupa Resolusi Jihad yang diserukan oleh Rois Akbar PBNU KH Hasyim Asy’ari ini setelah meletus perang perlawanan di Surabaya 10 November 1945 di Surabaya ini menjadi faktor penting dalam mempertahankan semangan juang para pemuda Islam dan rakyat terus melanjutkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Gelar Waliyul Amri Dharúri BisySyaukah untuk Presiden Soekarno

Negara Indonesia yang masih muda di awal tahun 1950-an diguncang berbagai pemberontakan, termasuk dari kelompok Islam. Seperti Pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Dalam situasi itu NU yang menggelar Konferensi Alim Ulama se-Indonesia di Cipanas, Cianjur Jawa Barat pada 2-7 Maret 1954 mengukuhkan kedudukan kepala negara Republik Indonesia yakni Presiden Soekarno sebagai Waliyul Amri Dharuri Bisy-Syaukah (pemegang kekuasaan negara darurat).

Pada Konferensi Alim-Ulama itu dihadiri para kiai NU antara lain KH Masjkur, yang saat itu menjabat Menteri Agama, juga KH Abdul Wahab Hasbullah. Kiai Wahab Hasbullah sebagai seorang ulama yang hadir dalam konferensi itu kemudian menjelaskan mengenai Waliyul Amri Dharuri Bissyaukah dalam sidang parlemen pada 29 Maret 1954. Dalam penjelasannya, bahwa dengan berpedoman pada kitab fiqih dunia Islam telah sepakat untuk mengangkat satu pemimpin sebagai Imam A’dham, imam yang berhak menduduki jabatan imamah. Salah satu persyaratannya adalah mempunyai pengetahuan Islam yang sederajat dengan Mujtahid Mutlak. Inilah yang disebut imam yang sah, bukan Imam Darurat.

Namun demikian orang yang memiliki ilmu pengetahuan Islam yang sederajat dengan ‘Mujtahid Mutlak’ itu semenjak 700 tahun terakhir hingga sekarang ini belum pernah ada. Hal ini berarti pembentukan Imam A’dham tersebut tidak mungkin dilakukan. Bila demikian halnya, maka ada alternatif bila umat Islam tidak lagi mampu membentuk Imam A’dham, yakni wajib bagi umat Islam di masing-masing negara mengangkat ‘Imam Darurat’. Menurut Kiai Wahab Hasbullah, imam yang diangkat kemudian adalah Imam Dharuri atau Imam darurat atau sementara. Baik imam a’dham maupun imam dharuri bisa dianggap sah sebagai pemegang kekuasaan negara, atau waliyul amri.

Bung Karno yang saat itu dipilih oleh pemuka-pemuka warga negara, sekalipun tidak oleh semuanya, menurut hukum Islam adalah sah sebagai Kepala Negara, meskipun tidak mencukupi untuk syarat-syarat untuk menjadi waliyul amri. Oleh karena itu tidak dipilih oleh ulama yang berkompeten untuk itu (ahlul halli wal aqdi) tetapi melalui proses lain, maka terpaksa kedudukannya dimasukkan dalam kategori imam ‘dharuri’ (Anam, 2010).

Mengenai kata ‘bissyaukah’ yang berarti ‘bersenjata’, maknanya adalah orang yang punya kekuatan untuk memegang kekuasaan. Saat itu Soekarno adalah orang terkuat posisi politiknya di Indonesia saat itu, maka  dalam situasi itu Soekarno sebagai Presiden Indonesia, diberi legitimasi fikih agama Islam, sebagai pemimpin darurat atau ‘Imam Dharuri’. Meski kategori ‘dharuri’ atau Imam Darurat, namun kekuasaannya tetap harus efektif dan berkuasa penuh. Dengan dasar kekuasaannya tersebut Imam Darurat berwenang mengangkat pejabat-pejabat agama melalui pendelegasian wewenang kepada menteri agama. Misalnya untuk penentuan ketua pengadilan agama sebagai wali hakim dalam kasus-kasus tidak adanya wali nasab bagi wanita dalam pernikahan. Kemudian menetapkan kepala negara sebagai wali hakim, di mana dalam pelaksanaannya didelegasikan kepada penghulu di Kantor Urusan Agama. Ini  adalah dalam keadaan darurat guna memperoleh pengesahan perkawinan yang diselenggarakan dari sudut pandang fiqih (Fathoni, 2018).

Sebagai pemikiran politik penyematan Waliyul Amri Dharuri Bissyaukah (pemegang kekuasaan negara darurat) oleh NU kepada Presiden Soekarno ini di satu sisi bersumber pada argumentasi fikih atau tradisi Islam dalam mengambil keputusan hukum. Namun di sisi lain sebagai sebuah legitimasi pada sistem pemerintahan dalam politik modern hal ini bisa jadi sesuatu yang tidak konservatif.

NU Menolak Demokrasi Liberal, Marxisme-Leninisme dan Demokrasi Terpinpin

Pada Muktamar ke-24 di Bandung pada tahun 1967 NU mengkritik bangunan politik Indonesia saat itu yang dinilainya penuh ketimpangan. Berdasarkan kajian dalam bahtsul masaail para ulama peserta muktamar NU juga menyatakan menolak praktik Demokrasi Liberal. Hal itu  karena Demokrasi Liberal akan menumpukkan kekuasaan di tangan perorangan atau sekelompok kecil, sehingga dikhawatirkan akan mengabaikan kepentingan rakyat banyak.

Dalam keputusan Muktamar NU juga menolak garis politik Marxisme-Leninisme yang dinilainya membenarkan cara mencapai kekuasaan melalui jalan kekerasan dan dominasi satu golongan atas golongan yang lain. Sementara itu NU juga menolak ‘Demokrasi Terpimpin’ yang dipraktikkan rezim Soekarno, karena dinilai menjurus pada akumulasi kekuasaan di tangan satu orang, dan oleh karena itu kemudian menghilangkan proses demokrasi secara bertahap.

Melanjutkan kritik dan penolakannya pada beberapa sistem politik tersebut NU kemudian menawarkan ‘Demokrasi Pancasila’ sebagai sistem politik yang dinolainya sesuai dengan dasar negara Republik Indonesia, yakni Pancasila. NU memberi catatan bahwa yang dimaksud sebagai ‘Demokrasi Pancasila’ adalah sistem demokrasi berbasis daulat rakyat dan pada ujungnya adalah mewujudkan keadilan sosial, melalui proses dan mekanisme musyawarah yang penuh hikmat kebijaksanaan. Menurut pertimbangan NU, sistem Demokrasi Pancasila dengan pemahaman seperti itu akan memaksimalkan peran dan partisipasi rakyat dalam mekanisme deliberasi yang diatur melalui prinsip-prinsip dan prosedur demokrasi berkeadilan (Ali, 2014). 

Mitsuo Nakamura melakukan studi tentang tradisi NU sebagai organisasi Islam tradisionalis berdasarkan pengamatan terhadap proses di Muktamar NU Semarang 1979 dan pergulatan politik NU pada kurun waktu tersebut. Salah satu hasil Muktamar NU Semarang adalah Program Dasar Pengembangan NU 1979-1983 di mana PBNU merekomendasikan program pembangunan yang sesuai dengan prinsip mashlahat (kebaikan bagi masyarakat) sebagai respon atas kebijakan negara yang dinilai timpang. Rekomendasi tersebut adalah: (1) Tuntutan perubahan struktur ekonomi kolonial yang tergantung dengan pasar internasional, menjadi struktur yang didasarkan atas asas mandiri; (2) Perubahan ketergantungan ekonomi pada modal, teknologi dan manajemen impor, menjadi berdasar pada sumber daya manusia domestik; (3) Prioritas utama harus diberikan pada kebutuhan dasar, makanan, pakaian, perumahan, pendidikan dan kesehatan; (4) 40% lapisan bawah penduduk harus mendapatkan perhatian khusus; (5) Kebijakan pemenuhan kesempatan kerja secara nasional; (6) Ketimpangan dalam distribusi kekayaan harus dikurangi.

Nakamura  mengambil kesimpulan bahwa tradisionalisme NU tidak bertentangan dengan progresivisme politik. Nakamura juga merevisi cara pandang dari kalangan sarjana Barat yang selama ini dianggap mapan, bahwa tradisi agama cenderung diangap sebagai penghambat sikap progresif (Ali, 2014).

Sikap yang diambil NU dalam bentuk pemikiran politik yang dinilai progresif ini tak lepas dari pertimbangan pemikiran yang berpegang teguh secara konsisten pada sikap tawasuth (moderat), tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), dan i’tidal (keadilan) yang bersumber  dari prinsip moderat  Ahlussunnah Waljamaah yang dianut NU, sebuah nilai tradisi lama keagamaan Islam dilestarikan oleh NU. (Bersambung)

Tentang Penulis

Abdul Rahman Mamun

Penulis, dosen Komunikasi Politik Universitas Paramadina dan communication strategist. Komisioner dan Ketua KIP (Komisi Informasi Pusat) RI periode 2009-2013. Meraih gelar S2 Magister Ilmu Politik di FISIP UI sebagai Lulusan Terbaik. Lulus S1 Teknik Sipil UGM dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Mengawali karir sebagai wartawan dan Redaktur Pelaksana Majalah Panji Masyarakat, jurnalis MetroTV dan producer ANTV, menjadi CEO Magnitude Indonesia, konsultan keterbukaan informasi dan strategi komunikasi, Direktur Utama dan Wakil Pemimpin Umum Panji Masyarakat. Menulis buku, artikel media, jurnal ilmiah dan pembicara di berbagai forum.

Tinggalkan Komentar Anda