Nahdlatul Ulama (NU) sejak Muktamar di Situbondo 1984 memutuskan Khittah, kembali sebagaimana saat didirikan pada 1926, bukan partai politik, melainkan jam’iyyah, organisasi sosial keagamaan. Namun dinamika politik organisasi NU, baik secara kelembagaan maupun secara pemikiran selalu mewarnai perjalanan Kebangsaan sejak era sebelum dan menjelang kemerdekaan Indonesia 1945 hingga saat ini. Di usianya 100 tahun NU terus menunjukkan dinamika politik yang selalu menarik. Artikel menyambut Satu Abad NU ini disajikan dalam 4 tulisan berseri. Selamat membaca.
Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia memiliki dua organisasi Islam terbesar yang dipandang mewakili sebagaian besar masyarakat muslim di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) yang dianggap mewakili golongan Islam tradisionalis dan Muhammadiyah yang dinilai mewakili golongan Islam modernis. Pembentukan organisasi NU ini sering kali dijelaskan sebagai reaksi terhadap berbagai aktivitas kelompok reformis (Muhammadiyah) dan kelompok modernis moderat yang aktif dalam gerakan politik seperti Serekat Islam (Bruinessen, 1994: 17).
Ketika didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya oleh beberapa kiai terkemuka seperti KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Hasyim Asy’ari, Nahdlatul Ulama lahir dalam budaya pesantren di mana Islam tradisional telah berakar dan terus dilestarikan. Dalam konteks ini Nahdlatul Ulama menyatakan menganut ideologi keagamaan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Ideologi keagamaan ini menjadi ciri penting Nahdlatul Ulama yang membedakannya dari organisasi-organisasi Islam modernis.
Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah term bagi pengikut Sunnah Nabi Muhammad SAW dan para Sahabat Nabi. Istilah ini pertama kali dikenal pada abad ke-2 Hijriyyah, yang merujuk sebuah hadits Nabi Muhammad SAW, bahwa pengikut Ahlussunnah Wal Jama’ah merupakan satu-satunya ‘golongan yang selamat’ di antara dari 73 golongan yang ada di dalam Islam. Selama berabad-abad Ahlussunnah Wal Jama’ah menjadi sebuah warisan sejarah yang telah lama memasuki arena politik. Secara konstektual, para pengikut Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah para pengikut Sunnah Nabi Muhammad SAW dan ijma’ ulama’ (As’ary, 2009: 102).
Secara umum prinsip sosial politik kaum Sunni yang dianut oleh NU adalah dengan mengambil sikap tawasuth (moderat) yang mencakup tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), dan i’tidal (keadilan) serta mengikuti kaidah Al-Muhafazatu ‘Ala Al-Qadim Al-Shalih Wa Al-Akhdzu Bi Al-Jadid Al-Aslah, artinya memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik. Dengan prinsip-prinsip ini NU selalu mengambil sikap akomodatif, toleran, moderat, dan cenderung menghindari sikap ekstrim dalam merespon gejala sosial budaya apapun, termasuk dalam menghadapi politik kekuasaan. Dalam konteks pemikiran politik, sikap-sikap seperti itu merupakan framework, kerangka berfikir dan menjadi pola artikulasi politik.
Dalam pandangan Sunni, sebagaimana yang dianut dalam pemikiran politik NU, mendirikan negara itu adalah wajib syar’i (sebuah kewajiban berdasarkan ketentuan agama Islam), karena syariah tidak akan bisa ditegakkan tanpa ditopang oleh kekuasaan. Dalam konteks ini kepala negara tidak hanya berfungsi menjamin keselamatan rakyatnya, tetapi untuk menjamin keberlangsungan ajaran agama. Negara, dalam perspektif Sunni, merupakan perwujudan kepemimpinan kenabian yang berfungsi meneruskan misi kenabian, yakni memelihara agama dan mengatur pranata sosial. Dengan demikian kewajiban mendirikan negara merupakan tanggung jawab kolektif seluruh umat (fardlu kifayah) (Ridwan, 2004: 7-11).
Sejak masa awal perjuangan pendirian negara Indonesia, NU melalui pemikiran politiknya telah memainkan peran penting dalam dinamika politik. Dalam pemikiran NU sebagai bentuk perjuangan dan perlawanan terhadap penjajah, misalnya, NU melarang pemuda muslim memasuki dinas militer Belanda, melarang umat Islam mendukung tentara Belanda, dan menolak bantuan Belanda yang ditawarkan kepada organisasi NU atau madrasah-madrasah NU. Pada masa perjuangan kemerdekaan, bersama gerakan nasionalis lain NU secara aktif turut serta dalam proses pendirian negara Indonesia. NU bahkan juga terlibat dalam perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia melawan Belanda yang ingin kembali menguasai bekas wilayah kolonialnya, pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Kenyataan ini membuktikan bahwa pemikiran politik dan NU yang diikuti dengan pergerakan warganya telah berperan besar dalam sejarah perjuangan pembentukan dan perkembangan bangsa dan negara Indonesia (Ismail, 2011: 248).
Riwayat Politik Nahdlatul Ulama
Sejarah pembentukan dan perkembangan Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam tradisionalis dibagi dalam lima periode. Pertama, periode 1926-1945 ketika NU berdiri sebagai organisasi sosia-keagamaan. Periode kedua, dari tahun 1945 sampai tahun 1952, ketika NU bergabung dengan organisasi politik, yakni Partai Masyumi, yang merupakan satu-satunya partai politik Islam saat itu. Berikutnya, pada periode ketiga, dari tahun 1952 hingga 1973, NU menjadi partai politik tersendiri setelah berpisah dari Partai Masyumi. Periode keempat, dari tahun 1973 hingga 1984, yaitu saat NU meleburkan diri ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada awal era pemerintahan Orde Baru. Kemudian sejak 1984 sampai saat ini, sebagai periode kelima, NU mendeklarasikan diri telah memasuki ke tujuan semula yang disebut Khittah 1926, kembali sebagaimana saat didirikan, yaitu sebagai organisasi sosial keagamaan (Zuhri, 1981: 623).
Organisasi NU menganut ideologi Islam tradisional, yaitu Islam yang mengikuti pemikiran dan pendapat ulama yang meliputi konsep-konsep hukum Islam (fikih), tafsir al-Qur’an, dan ilmu kalam (teologi Islam) yang berkembang sejak abad ke-7 hingga abad ke-13 dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai ideologi keagamaannya.
Situasi sebelum kelahiran NU, pada masa itu terdapat slogan yang sangat populer di kalangan muslim modernis, yakni “Kembali kepada al-Qur’an dan Hadist”. Hal ini disuarakan oleh kalangan muslim modernis di Nusantara, khususnya di Jawa dan Sumatera Barat pada awal abad ke-20. Seruan mereka untuk kembali kepada al-Quran dan Hadits, atau kembali kepada kemurnian Islam, ini disambut antusias oleh para pengikut Islam modernis. Selain menyerukan hal itu mereka juga menyerang dan mengutuk beberapa praktik keagamaan kalangan muslim tradisionalis, seperti qunut, tawassul, dan tarekat. Qunut adalah doa khusus yang dibaca pada rokaat kedua pada sholat subuh. Sedangkan tawassul adalah praktik oleh para anggota tarekat mengingat gurunya sebagai perantara sebelum dia berdoa kepada Allah atau memulai dzikir.
Kaum muslim modernis menolak praktik keagamaan semacam itu dan menganggap beberapa di antaranya sebagai bid’ah atau inovasi dalam ibadah agama yang harus ditinggalkan. Di sisi lain muslim tradisionalis berpandangan bahwa praktik keagamaan yang mereka lakukan bukanlah bid’ah dan sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Akibat dari masalah ini terjadi perselisihan agama antara kedua kelompok, yang menghabiskan banyak energi dan waktu karena sering terjadi perdebatan di antara mereka. Perselisihan pandangan keagamaan antara kaum muslim modernis dan muslim tradisionalis ini sebenarnya berkaitan dengan masalah furu’ (cabang detil yang teknis) belaka dari ajaran agama, dan bukanlah merupakan persoalan yang ushul (akar mendasar yang prinsip). Namun demikian akibat konflik ini membuat hubungan kedua kalangan muslim modernis dan muslim tradisionalis ini menjadi tidak harmonis, terjadi ketegangan dan bahkan perpecahan di antara sesama muslim.
Kelompok muslim tradisionalis merasa serangan dari kalangan muslim modernis sangat tajam. Muhammadiyah, misalnya, menolak keras praktik tarekat. Serangan Persatuan Islam (Persis) bahkan lebih keras dengan menuduh kelompok muslim tradisionalis melakukan dosa karena mereka mengikuti kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama. Merujuk pada ayat Al-Quran (111:103) yang berbunyi, “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian pada tali Allah, dan janganlah kamu berpisah”, Persatuan Islam (Persis) menyatakan bahwa “tidak akan bergantung pada kitab-kitab yang ditulis oleh Manusia” (Noer, 1987: 98). Persis bahkan mengungkapkan, mereka yang bersandar pada kitab-kitab para ulama sebenarnya telah mengesampingkan Tuhan. Mereka yang melanggar aturan Allah, dan telah dosa. Oleh karena itu, mereka yang secara membabi buta mengikuti (taqlid) kepada para ulama adalah berdosa.
Guna mengurangi tajamnya perseteruan antara kalangan muslim reformis dan muslim tradisionalis, Sarekat Islam (SI) pun mengadakan Kongres Islam. Kongres tersebut merupakan hasil dari gagasan Sarekat Islam, yang memang sejak semula sangat erat berurusan dengan politik dan persatuan umat Islam, dan cenderung menghindarkan dari perselisihan agama. Kongres Islam yang pertama diadakan di Cirebon, Jawa Barat, dari tanggal 3 Oktober sampai dengan 2 November 1922, dan dihadiri oleh delegasi baik dari kalangan muslim modernis maupun tradisionalis. KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Asnawi mewakili kelompok muslim tradisionalis.
Kongres Islam ini hampir saja gagal karena kedua kelompok tidak bisa menghindari untuk membahas hal-hal yang menjadi perselisihan agama (khilafiyah). Muhammadiyah dalam Kongres mencela mereka yang mengikuti mazhab hukum Islam dengan mengatakan bahwa umat Islam harus menutup kitab-kitab yang ditulis oleh ulama dan hanya mengacu pada Al-Quran dan Hadits. Di sisi lain KH Abdul Wahabi Hasbullah menyatakan bahwa kitab-kitab ulama itu masih relevan untuk digunakan sebagai alat dalam memahami hukum Islam yang telah diturunkan dari sumber utama, yakni Al-Qur’an dan Hadits (Yusuf, 1983: 15).
Lepas dari perbedaan di antara mereka tersebut, kaum muslim modernis dan muslim tradisionalis dalam Kongres menyepakati bahwa dasar dari semua ajaran agama adalah Al-Qur’an dan Hadits. Kemudian mengenai empat Imam Madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali), telah mengambil pendapat masing-masing tentang agama setelah mempelajari dan meneliti teks-teks dalam Al-Quran dengan cermat dan lengkap. Bahwa sebuah Hadits misalnya itu mengacu kepada Al-Quran dan menjadi bagian penting untuk menjelaskan berbagai disiplin ilmu Islam. Juga mengenai penafsiran Al-Qur’an, tidak boleh dilakukan secara sembarangan, sebaliknya membutuhkan kelengkapan yang diperlukan seperti berbagai macam ilmu pengetahuan (Noer, 1973: 44).
Kongres Islam berikutnya diadakan di Surabaya, Jawa Timur, pada 24-26 Desember 1924. Tema yang dibahas dalam Kongres ini antara lain masalah ijtihad atau penafsiran terhadap Al-Quran dan Hadits, ajaran Muhammadiyah dan Al-Irsyad. Di antara keputusan penting yang diambil dalam Kongres ini adalah bahwa Muhammadiyah dan al-Irsyad tidak identik dengan Wahabisme. Kedua organisasi tersebut tidak dianggap menyimpang dari madzhab mana pun dan bahwa mereka yang menerapkan tawassul tidak dianggap sebagai kafir (Noer, 1973: 47). Setelah diwarnai dengan perdebatan panjang dalam Kongres muslim reformis dan muslim tradisionalis ini mereka sepakat bahwa pintu ijtihad masih terbuka dan dapat dipraktikkan oleh mereka yang menguasai bahasa Arab dan memiliki pengetahuan yang memadai.
Dalam perkembangan selanjutnya, para pemimpin muslim ini berhasil membentuk sebuah komite yang disebut Komite Khilafat di Surabaya pada tanggal 4 Oktober 1924. Ketua Komite ini adalah Wondoamiseno dari Sarekat Islam dan wakil ketuanya adalah KH Abdul Wahab Hasbullah dari kelompok muslim tradisionalis. Komite Khilafat didirikan sebagai tanggapan para pemimpin muslim Indonesia terhadap gagasan pemerintah Mesir yang berencana mengadakan Kongres Kekhalifahan pada tahun 1924 untuk mendirikan kekhalifahan baru. Gagasan mendirikan khilafah baru dilatarbelakangi oleh fakta bahwa Turki di bawah Mustafa Kemal Attaturk telah menghapus kesultanan pada tahun 1922, dan kemudian Majelis Nasional Turki menghapus khilafah pada tahun 1924, yang dengan itu Turki akan menjadi negara sekuler modern (Kelly, 1981: 199).
Kongres Khilafah yang dijadwalkan digelar di Kairo ditunda. Akibatnya, Komite Khilafat mengalihkan perhatiannya pada undangan lain dari Ibn Saud dari Arab Saudi yang juga ingin mengadakan kongres tentang khilafah di Mekkah dalam upayanya mendirikan khilafah baru. Ajakan Ibnu Saud dibahas oleh para tokoh Islam Indonesia dalam Kongres Islam keempat (dilaksanakan di Yogyakarta pada 21-27 Agustus 1925) dan dalam Kongres Islam kelima (diselenggarakan di Bandung pada 6 Februari 1926). Namun, sebelum Kongres Islam di Bandung diadakan, para pemimpin reformis telah mengadakan pertemuan di Cianjur, Jawa Barat, pada 8-10 Januari 1926, di mana mereka memutuskan untuk mengirim Tjokroaminoto dari Sarekat Islam dan KH Mas Mansur dari Sarekat Islam dan juga mewakili Muhammadiyah untuk mengikuti Muktamar Khilafah yang akan diselenggarakan di Mekkah. Maka pada Kongres Islam kelima di Bandung digelar, Kongres pun menjadi semacam penegasan keputusan yang sebenarnya telah diambil oleh para pemimpin kelompok muslim modernis dalam pertemuan Cianjur, yakni Tjokroaminoto (Sarekat Islam), KH Mas Mansur (Sarekat Islam dan Muhammadiyah) secara resmi ditugaskan untuk menghadiri Kongres Khilafah di Mekkah. Keputusan ini membuat para pemimpin muslim tradisionalis, khususnya KH Abdul Wahab Hasbullah sangat kecewa. Ia kemudian mengusulkan agar Kongres meminta agar penguasa Wahabi Arab Saudi mempertahankan ajaran dan praktik Empat Mazhab yang telah diterapkan di sana sebelumnya. Namun Kongres menolak usulan tersebut.
Mendapati kenyataan seperti itu KH Abdul Wahab Hasbullah Abdul Wahab dan ketiga orang lain dari NU mundur dari Komite Khilafat setelah mendapat nasehat dari KH Hasyim Asy’ari. KH Abdul Wahab Hasbullah kemudian berinisiatif untuk mengorganisir para kiai dan ulama terkemuka dari beberapa kota di Jawa. Setelah melalui pembicaraan yang panjang dan intensif, mereka sepakat untuk membentuk komite sendiri, yaitu Komite Hijaz. Mereka berencana mengirim utusan mereka sendiri dari Komite ini untuk bertemu langsung dengan Raja Ibn Saud untuk membahas masalah-masalah keagamaan yang antara lain pernah mereka usulkan di Kongres Islam kelima. Langkah yang digerakkan oleh KH Abdul Wahab Hasbullah inilah yang menjadi titik awal lahirnya Nahdlatul Ulama. (Bersambung)
Credit foto: NUbanyumas.com