Ads
Tasawuf

Hati yang Nurani dan yang Zulmani

Avatar photo
Ditulis oleh A.Suryana Sudrajat

Menurut Imam Al-Ghazali, hati manusia itu ibarat cermin. Sedangkan petunjuk Tuhan seperti nur atau cahaya. Jika hati manusia benar-benar bersih, dia mampu menangkap petunjuk Ilahi dan memantulkannya ke sekelilingnya. Ia, manusia, dengan demikian, bukan hanya mampu menangkap cahaya Tuhan tetapi juga bisa memancarkannya ke alam sekitarnya. Orang demikian lazim disebut memiliki hati nurani.


Nurani, dari akar kata “nur” (cahaya), artinya yang bersifat cahaya. Sama dengan perkataan “ruhani” yang berasal dari kata ‘ruh”. Hati disebut sebagai nurani karena ia modal pertama yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk menerangi jalan hidup, yang merupakan kelanjutan dari fitrah manusia yang suci. Karena nurani tidak taken for granted, melainkan harus terus diasah melalui introspeksi dan dipupuk melalui suatu pengalaman keagamaan, maka hanya orang yang baik saja yang mempunyai hati nurani. Sedangkan orang yang jahat, hatinya bukan nurani lagi melainkan zulmmani. Artinya, hatinya menjadi gelap sehingga tumpul atau tidak peka lagi tentang baik-buruk dan benar-salah.


Seperti diingatkan Al-Ghazali, tidak semua manusia mampu menangkap sinyal-sinyal spiritual dari Tuhan, atau cahaya Ilahi. Penyebabnya adalah, pertama, cerminnya teramat kotor seghingga cahaya Ilahi yang seterang benderang apa pun tidak bisa ditangkap oleh cermin ruhaninya. Yang demikian ini adalah mereka yang bergelimang dengan perbuatan-perbuatan keji dan aniaya (fahsya wal-munkar).

Kedua, ada penghalang antara cermin dan sumber cahaya sehingga tidak memungkinkan nur Ilahi tersebut menerpa cermin. Orang-orang yang menjadikan harta, kekuasaan, dan kesenangan lahiriah sebagai orientasi hidupnya masuk dalam kategori ini.


Ketiga, cermin tersebut memang membelakangi sumber cahaya sehingga tidak mungkin dapat tersentuh sinar Ilahi. Contohnya adalah orang-orang kafir yang secara sadar mengingkari Allah.
Menurut Al-Ghazali, agar hati manusia tetap bening, dia harus berusaha membersihkan diri dengan jalan menguasai nafsu-nafsu rendahnya, serta melakukan olah ruhani yang disebut dengan riyadhah.


Ihwal nafsu, secara garis besar Al-Ghazali membagi dua, yakni nafsu tercela (mazmumah) dan nafsu terpuji (mahudah). Yang pertama, nafsu yang mendorong kita kepada kehendak-kehendak jahat. Yang kedua, nafsu yang mengarahkan kita kepada hal-hal kebaikan, seperti mencari penghidupan yang halal, menolong sama, menambah ilmu, dan meningkatkan keterampilan, dan seterusnya dan sebagainya.

Tentang Penulis

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading