Ads
Tafsir

Tafsir Tematik: Bagaimana Anda Direkayasa (2) Terbit Air Mani

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Sebuah proses yang kontinu, antara kehidupan dan kematian, diberikan di situ: proses penjadian manusia, kelahirannya, sampai kematiannya, disambung proses kebangkitan kembali seperti yang diwakili oleh biji yang mengorak tanah setelah air hujan, untuk tumbuh menjadi tanaman muda, kemudian berkembang indah berpasang-pasangan. Rantai yang pertama itu merupakan bukti kuasa Allah untuk membangkitkan kita di kemudian hari, sementara rantai kedua contoh nyata kebangkitan itu. Itu memang diwakili tumbuh-tumbuhan, berhubung kebangkitan manusia bukan hal yang bisa disaksikan. Mengapa hanya sperma yang disebut dalam ayat, sebagai asal manusia, dan bukan juga telur? Jawaban yang sama: air mani bisa dilihat, sementara telur “benda abstrak (gaib)” bagi mereka yang sedang diajar dengan ayat itu.

Pengajaran yang lebih modern dan populer, yang sudah dengan sarana tafsir, bisa memakai kalimat-kalimat ini: “Nenek moyang kamu, Adam, diciptakan dari tanah. Demikian pula kamu mengambil makanan kamu dari tumbuh-tumbuhan dan binatang, sementara binatang memakan tumbuh-tumbuhan. Adapun makanan tetumbuhan adalah berbagai unsur aneka rupa, yang juga dari tanah. Jadi, kamu terbuat dari tanah lewat perantaraan.” Dari makanan itu, keluar air mani. Itu membentuk gumpal darah. (Al-Jawahir, XI:4)

Gumpal darah (‘alaqah, ‘alaq) dalam Al-Qur’an digunakan sebagai lambang manusia dalam reproduksi, setidak-tidaknya seperti yang dipakai dalam ayat. kedua wahyu pertama (surah Al-‘Alaq) yang dikutipkan di atas. ‘Alaqah adalah, seperti diterangkan Abul Qasim Zamakhsyari, gumpalan kecil darah beku. Adapun mudigah, gumpal daging, tingkat di atasnya, juga berukuran kecil, cukup kecil untuk dikunyah (asal mudhghah adalah madhagha: mengunyah).’ Gumpal daging ini yang kemudian “dibentuk”: ada yang disempurnakan, mulus tanpa cacat, ada yang tidak. Dan ini akan diikuti perbedaan kualitas fisik mereka nantinya: dalam bentuk tubuh, rupa, ukuran tinggi, dan seterusnya.

Bahwa Allah menetapkan (meletakkan dengan teguh) di dalam rahim apa yang Ia kehendaki, sampai waktu tertentu (saat kelahiran), menunjukkan bahwa bakal bayi yang tidak Ia kehendaki akan tidak sempat lahir pada waktunya sebagai makhluk hidup, alias gugur. Di zaman Zamakhsyari (467-538 H), lamanya kandungan itu ditetapkan dalam fikih sebagai “enam bulan sampai sembilan bulan, atau dua tahun, atau empat tahun”. Ayat ini selanjutnya mengingatkan faktor pertumbuhan anak, melewati masa taklif (pembebanan kewajiban agama), yakni yang dalam istilah teknis disebut balig (baaligh: sudah sampai), hingga usia dewasa. Istilah Qur’an untuk kedewasaan adalah al-asyudd: “sudah lengkapnya kekuatan fisik, intelek, dan daya moral”.

Adapun usia yang dikatakan “paling rendah” (ardzal), yakni di atas “paling hina” (yang ini hanya dipakai untuk penilaian etis, bukan penahapan biologis), adalah usia pikun: orang kembali ke keadaannya semula di masa kanak-kanak, lemah tubuhnya, lemah akalnya, sedikit penangkapannya. Demikianlah “agar ia, sesudah tahu, tak lagi tahu sesuatu pun”. Menjadi lupa semua: pengetahuan yang dicarinya, tentang sesuatu, tidak menancap. “Ia bertanya kepadamu”, ‘Siapa ini?’ Engkau menjawab, ‘Si Anu’. Tidak berapa lama, ia akan mengajukan pertanyaan yang sama.’ (Zamakhsyari, Al-Kasysyaf, 111:5-6).

Tentang “pasangan yang indah” (akhir ayat), Prof. Ghamrawi mengingatkan kekayaan makna dalam setiap ekspresi yang digunakan Qur’an yang menyangkut fenomena kealaman. Kata pasangan, misalnya, sering sekali dipakai dalam pengertian spesies, dengan mengingat fakta bahwa setiap tumbuhan di bumi terdiri dari jantan dan betina. (Mohammed Marmaduke Pickthall, The Meaning of the Glorious Koran, 242n).

Contoh ketiga, dari surah Al-Mukminun di bawah ini, bisa kita anggap sebagai pasangan ayat yang kita kutip sebelumnya, yang dengan kalimat lain menuturkan proses rekayasa manusia secara lebih terinci. Seperti pada ayat terdahulu, di sini proses itu juga dihubungkan, secara kronologis, dengan kebangkitan setelah mati, sebelum akhirnya digabungkan dengan penciptaan yang lebih besar: semesta.

Sungguh telah Kami ciptakan manusia dari saripati, dari tanah
Kemudian Kami jadikan dia nutfah di tempat kediaman yang kokoh
Lalu Kami jadikan nutfah gumpalan darah,
Lalu Kami jadikan gumpalan darah gumpalan daging,
Lalu Kami jadikan gumpalan daging tulang belulang,
Kemudian Kami bungkus tulang belulang dengan daging
Lalu Kami tumbuhkan dia sebagai makhluk yang lain
Maka mahaberkatlah Allah, sebagus-bagus pencipta
Kemudian sesudah itu kamu adalah mayat
Kemudian sesudah itu kamu dibangkitkan di hari kiamat
Dan sudah Kami ciptakan di atas kalian tujuh jalan,
dan tidaklah Kami alpa terhadap ciptaan
(Q. 23:12-17)

Ada yang penting yang diingatkan Thanthawi Jauhari. Yaitu bahwa “saripati, dari tanah” (ayat pertama) adalah bahan penciptaan Adam dan bukan lempung, seperti dalam ide Bibel. “Dan tidak ada pengetahuan manusia tentang tahap-tahap yang menghasilkan saripati tanah itu.” Thanthawi bahkan menyebut sesuatu tentang khatulistiwa sehubungan dengan keadaan embrio di dalam rahim. Tidak ada yang tahu, katanya, apakah awal penciptaan manusia, seperti yang dimuat dalam kitab-kitab kuno mengenai asal seluruh binatang besar, dan di antara binatang besar adalah manusia, memang khatulistiwa kawasan yang cocok untuk penciptaan oleh tingkat kesuburan dan kadar panasnya. Binatang, kemudian, memelihara panas itu dalam rahim mereka, dan lewat itu melahirkan anak-anak mereka sampai akhir zaman.

Dengan kata lain, anak-anak itu disimpan sebagai janin dalam rahim yang hangat, yang terpelihara sejak masa penciptaan yang jauh. Untuk itu Thanthawi menyebut adanya salinan-salinan dari pahatan batu yang diterjemahkan dari peninggalan-peninggalan India. “Ataukah asal kelahiran itu di lautan, untuk semua binatang, yang kemudian naik ke darat, lalu meningkat ke keadaannya yang sekarang? Tidak seorang tahu,” katanya. Yang kita ketahui ialah bahwa manusia memakan buah-buahan, biji-bijian, dan daging, dan itu semua menjadi darah, dan dari situ terbentuk sperma …” dan seterusnya. Yang jelas ialah bahwa penciptaan keturunan Adam sama dengan pada keturunan hewan: tidak ada satu materi awal tersendiri untuk Adam dan materi asal untuk binatang.” (AI-Jawahir, XI:97).

Tafsir Abdallah Yousuf Ali, The Glorious Kur’an, yang ditulis satu-dua dasawarsa setelah Jawahir, di paro pertama abad ini, menjelaskan dengan bagus proses reproduksi manusia dalam ayat di atas dengan idiom-idiom yang lebih kemudian. Di dalam ayat yang cantik itu, katanya, karya kreatif Tuhan sehubungan dengan manusia diikhtisarkan, untuk menunjukkan posisi riil manusia di dalam hidup, dan kepastian masa depan yang diberi janji dengan pembalasan. Di sini kita tidak berhubungan dengan stadium paling awal, penciptaan zat pertama dari sama sekali ketiadaan dengan tahap-tahapnya yang oleh Thanthawi dinyatakan sebagai misteri.

Adalah juga suatu proses kreasi bila zat anorganik menjadi zat hidup. Unsur-unsur pokok anorganik tanah itu diserap menjadi materi hidup dengan jalan makanan, dan materi hidup itu mereproduksi dirinya dengan peralatan sperma. Ini disimpan di dalam telur, yang dibuahinya, dan beristirahat untuk suatu jangka waktu dalam suasana aman, dalam rahim ibu. Pertumbuhan berlangsung diam-diam dan tak kelihatan. Bakal bayi itu dilindungi dalam rahim ibu seperti seorang raja di sebuah kastil; ia diselesaikan dengan cermat dan ketat (‘disempurnakan’, istilah Qur’an), sambil memperoleh perlindungan dari tubuh ibu, tempatnya bergantung untuk pertumbuhannya.

Peniupan Roh

Perubahan pertama di dalam telur yang telah dibuahi adalah konversi menjadi gumpalan darah beku dan tebal: sel-sel zygote (yang terbentuk dari persatuan dua sel gamet bakteri jantan maupun betina yang biasanya punya satu set kromosom haploid dan diberi kemampuan memulai formasi satu individu diploid yang baru lewat fusi dengan sel gamet yang berlawanan; pen.) tumbuh lewat segmentasi. Secara bertahap massa itu menerima bentuk dalam pertumbuhannya sebagai janin. Dari bongkahan itu berkembang tulang-tulang, daging, organ-organ, dan sistem saraf. Sebegitu jauh, pertumbuhan manusia masih sama dengan pada binatang, tetapi sebuah proses lebih lanjut akan membuat binatang bayi itu menjadi manusia bayi.

Dan itulah peniupan roh Tuhan ke dalam dirinya (Q. 15:29: “Maka bila telah Kusempurnakan bentuknya (Adam) dan Kutiupkan kepadanya rob-Ku, rebahlah kamu kepadanya dalam sujud”), sebuah proses yang tidak membutuhkan ketepatan waktu yang persis. Bisa jadi berlangsung satu proses sinambung, paralel dengan yang terjadi pada pertumbuhan fisik. Dan benda yang mirip binatang, sekarang kita bisa mempertimbangkan manusia sebagai manusia. Bukankah ini tanda dari sesuatu yang menakjubkan dalam dirinya sendiri, bahwa dari debu yang kering atau zat anorganik tercipta protoplasma (lempung basah atau bahan organik); dari situ berkembang satu kehidupan binatang yang baru; dan keluar dari situ tumbuh kehidupan manusia, dengan seluruh kapasitas dan tanggung jawabnya? “Manusia,” demikian Yousuf Ali, “mengangkut dalam dirinya ayat-ayat (tanda-tanda) kebijakan dan kekuatan Tuhan, sementara dia bisa menyaksikannya setiap hari dalam universum di sekelilingnya.”

Bayi itu dilahirkan. Ia tumbuh. Ia renta, dan mati. Tetapi sesudah kematian, bab lain terbuka untuk si individu, dan itu untuk mengingatkan kita kepada bab paling penting yang tahap-tahap pendahuluannya telah diikhtisarkan di dalam ayat. (Yousuf Ali, The Glorious Kur’an, 875-876).

Begitulah, semua yang dibentangkan dalam ayat di atas merupakan argumen bagi kebangkitan sesudah mati. Sebab, semua perubahan yang berturut-turut dalam satu proses yang tersusun rapi itu menunjukkan bahwa perubahan terus berlangsung, demikian Thanthawi. Sebagaimana Al-Qur’an disebut Allah sebagai tibyan (penjelas), demikian pula Allah berfirman mengenai alam kebendaan, atau bagiannya yang paling penting, bahwa itu diberikan sebagai penjelasan (tabyin). Maka Al-Qur’an adalah tibyan, sementara luasan alam ini penjelasannya (tabyin). Andaipun tidak ada di dalam Qur’an kecuali kalimat-kalimat ayat di atas, itu pun cukup bagi kitab suci ini sebagai penjelas bahwa ilmu-ilmu kealaman seluruhnya harus dipelajari, sebagai suatu kewajiban umum, dalam status fardhu kifayah. (Thanthawi, XI:4).

Penulis: Syu’bah Asa (1943-2011), pernah menjadi wakil pemimpin redaksi dan asisten pemimpin umum majalah Panji Masyarakat, dan pemimpin redaksi majalah Panjimas. Sebelumnya bekerja di majalah-majalah Tempo dan Editor. Sastrawan yang pernah menjadi anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok ini sempat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Sumber: Panji Masyarakat, 28 Juli 1997

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda