Ads
Aktualita

Pancasila dan Lawan yang Dihadapinya dalam Masyarakat

Avatar photo
Ditulis oleh Arfendi Arif

Pancasila adalah dasar negara Indonesia. Disamping itu Pancasila juga merupakan falsafat hidup bangsa Indonesia. Pancasila dirumuskan oleh founding fathers (pendiri bangsa) Indonesia dalam suasana menjelang kemerdekaan. Dengan demikian diharapkan Pancasila itu menjadi pedoman dalam hidup berbangsa dan bernegara. Disamping ada Pancasila masyarakat Indonesia juga adalah masyarakat yang menganut agama yang nilai-nilai Pancasila itu pada umumnya tidak bertentangan dengan agama.

Sebagai pedoman hidup dalam berbangsa dan bernegara, pertanyaan yang timbul adalah apakah Pancasila telah dipraktekkan dalam kehidupan kita, baik dalam kehidupan sehari-hari, dalam kehidupan politik, perilaku ekonomi, hukum dan lainnya.

Sebagaimana umumnya suatu sistem nilai yang luhur dan mulia akan selalu berhadapan dengan kondisi nyata kehidupan yang selalu berubah dan dinamis. Dan dinamisne kehidupan ini selaku bergerak dari nilai-nilai kebaikan dan keluhuran menuju nilai-nilai yang kecenderungannya bersifat pragmatis, egoistis dan materealistik. Pada umumnya dirasakan nilai-nilai ini mencari kesenangan dan kenikmatan yang bersifat jasmaniah, lahiriah atau bahkan hedonistik.

Sebuah masyarakat yang tadinya sangat kuat dengan nilai-nilai kebersamaan, tolong menolong, saling menghormati, dengan perkembangan sosial dan budaya yang terjadi maka nilai-nilai tersebut bisa tergerus atau terkikis digantikan sikap acuh tak acuh, kurang menghormati yang lain, masa bodoh, tidak memiliki kepedulian sosial dan kecenderungan sikap negatif lainnya.

Jika sebelumnya yang dihargai adalah akhlakul karimah (akhlak mulia), kemudian berubah dan yang dihargai adalah kekayaan, harta yang berlimpah, jabatan, kekuasaan, pangkat dan sejenisnya. Dalam sebuah masyarakat yang moderen materealistik –mengutip seorang pengamat– bahkan tuhan pun sudah digantikan oleh benda, kekayaan dan jabatab, yang disebutnya the new god atau sesembahan baru.

Demikianlah realitas perkembangan masyarakat, yang kalau dihubungkan dengan Pancasila yang memiliki nilai-nilai atau ajaran luhur akan berkembang dan menghadapi rival yang cukup berat.

Jika Pancasila sekarang dilihat dalam realitas kehidupan politik dan kekuasaan, kita melihat kekuasaan itu dianggap segala-galanya. Kekuasaan dijadikan tujuan untuk memperoleh kemudahan dan fasilitas kehidupan. Kekuasaan dianggap sebagai milik manusia. Padahal, jika kita mempunyai Ketuhanan Yang Maha Esa seharusnya kekuasaan itu diyakini milik Allah dan manusia hanya dipinjami kekuasaan tersebut. Jika kita percaya ada Ketuhanan Yang Maha Esa kekuasaan itu harus digunakan untuk kebaikan dan perbuatan yang diridhoi Allah.

Demikian juga asas Pri Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, dalam realitas kita melihat keadilan yang jauh dari harapan rakyat. Penegakkan hukum masih tebang pilih, mafia hukum masih terjadi. Hukum dirasakan tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Asas supremasi hukum, yaitu hukum berada di atas segalanya belum terwujud dengan nyata.

Sila Persatuan Indonesia saat ini boleh dikatan paling bermasalah. Adanya kontestasi Pilpres telah nenyebabkan keterbelahan dalam masyarakat, bukan hanya di kalangan masyarakat bawah, tapi juga di kalangan orang terpelajar dan kelompok elit. Keterbelahan masyarakat ini juga makin meruncing karena dipicu oleh kemajuan informasu dan penggunaan teknoligi internet. Masyarakat dengan bebas berpendapat dan berpolemik baik secara logis dan nalar, sampai yang bersifat ujaran kebencian dan emosional. Solusi mengatasi ini memang rumit, oleh karena penggunaan jnternet dan medsos sulit dikontrol. Meskipun UU ITE sudah ada, namun tentu tidak boleh ditrapkan secara rigid atau kaku, sehingga nanti dinilai diktator atau ant demokrasi. Tentunya, pembinaan dan penggunaan internet untuk menjaga persatuan harus dengan cara-cara yang persuasif dan menjaga pentingnya keutuhan dan kerukunan bangsa.

Selanjutnya, yang terkait dengan permusyawaratan atau musyawarah merupakan upaya untuk mencari solusi dan pemecahan terhadap sebuah masalah. Musyawarah adalah upaya untuk mencari jalan keluar melalui kesepakatan bersama. Kalau kesepakatan tidak ditemukan, maka upaya terakhir adalah voting atau pemungutan suara berdasarkan suara terbanyak. Tapi, cara seperti ini adalah pilihan terakhir, kalau cara musyaearah menemui jalan buntu.

Sekarang ini yang namanya musyawarah tampaknya tidak terlaku populer. Sekarang ini yang sering digaungkan adalah kehidupan demokrasi. Dan demokrasi cenderung hanya didasarkan pada pemungutan suara. Ada yang dilakukan secara langsung dan tidak langsung (proporsional terbuka dan tertutup). Dalam demokrasi kemudian berkembang lobi-lobi, contoh dalam pilpres sekarang ada yang disebut koalisi untuk nenentukan calon presiden atau penimpin. Koalisi adalah hasil lobi-lobi di antara partai untuk memilih jagonya. Dan, koalisi bukan hanya tunggal, tapi bisa lebih dari satu.

Dengan demikian musyawarah dan mufakat yang intinya adalah membangun kesepakatan bersama telah digantikan oleh budaya voting atau penungutan suara, dan pemenangnya ditentukan suara terbanyak.

Mengenai Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia juga masalah yang paling timpang di negata kita. Penguasaan aset strategis seperti tanah dan ekonomi dikuasai oleh kelompok kecil tertentu. Pemerataan ekonomi masih jauh dari harapan. Bahkan, yang paling rawan sekarang ini korupsi masih tinggi di negara kita.

Kebocoran anggaran negara ini menyebabkan perbaikan kesejahteraan rakyat makin sulit diwujudkan.

Melihat perilaku yang terlihat dalam berbagai kehidupan kita menunjukkan pengamalan Pancasila hingga saat ini masih sebatas slogan dan lip service, pengamalannya masih jauh dari harapan.

Pancasila bisa dibudayakan kalau ada teladan dan contoh- contoh perilakunya dari kalangan penimpin, terutama pejabat negara, pemimpin politik, pengusaha, pemuka masyarakat dan mereka-mereka yang menduduki posisi penting di pemerintahann dan swasta. Melalui keteladan dan contoh dari mereka inilah sebenarnya Pancasila bisa diamalkan dan dibudayakan ke masyarakat.

Tentang Penulis

Avatar photo

Arfendi Arif

Penulis lepas, pernah bekerja sebagai redaktur Panji Masyarakat, tinggal di Tangerang Selatan, Banten

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading