Ads
Cakrawala

Kolom Arsul Sani: Bung Karno, Pancasila dan Islam

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Tanggal 1 Juni telah ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila, melalui Kepres No. 24 tahun 2016. Dan sejak itu, setiap 1 Juni kita memperingati lahirnya dasar negara dan ideologi bangsa itu. Tahun ini dengan tema “Gotong royong membangun peradaban dan pertumbuhan global”.


Seperti kita ketahui, pada 1 Juni 1945 Bung Karno menyampaikan pidato di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Pada kesempatan itu ia mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara, kelima dasar itu adalah kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan.


Usulan Bung Karno itu berhasil meredakan perdebatan sengit antara golongan nasionalis Islam dan kalangan kebangsaan yang netral agama mengenai dasar negara dalam sidang-sidang BPUPKI pada 28 Mei-1 Juni 1945. Para pemimpin Islam seperti Abdul Kahar Muzakkir (Muhammadiyah), Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah), Wahid Hasyim (Nahdlatul Ulama), dan Ahmad Sanusi (Persatuan Ummat Islam/PUI) menuntut agar Islam dijadikan dasar negara. Sedangkan golongan nasionalis yang dimotori Bung Hatta dan Soepomo menghendaki agar persatuan dijadikan dasar negara. Dengan usulannya itu Bung Karno berhasil meyakinkan kalangan Islam atau nasionalis-Islam, bahwa negara yang akan dibentuk adalah negara yang ber-Tuhan, meskipun tidak berdasarkan Islam.


Pada kesempatan itu, Bung Karno juga mencoba membesarkan hati golongan Islam dengan mengatakan bahwa badan perwkilan kelak akan diduduki orang Islam. Dia menegaskan, “Marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari Badan Perwakilan Rakyat ini, hukum Islam pula.”


Usul Soekarno mengenai lima dasar itu kemudian dibahas oleh sebuah panitia kecil yang terdiri dari sembilan orang. Empat di antaranya dari golongan Islam yaitu Haji Agus Salim, Wahid Hasyim, Abikusno, dan Abdul Kahar Muzakkir. Adapun lima orang lainnya adalah Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Achmad Soebardjo dan Muhammad Yamin. Tugasnya adalah menyusun mukadimah atau preambul UUD1945. Kesepakatan pun dicapai ketika Maramis yang beragama Kristen berbincang-bincang dengan Abikusno dan Kahar Muzakkir, di mana dia “setuju 200 persen” mengenai formula yang ditawarkan Kahar Muzakkir, bahwa di negara baru nanti orang-orang Islam berkewajiban menjalankan syariat agamanya. Dalam persetujuan yang ditandatangani semua anggota Panitia Kecil ini, yang di kemudian hari dikenal dengan nama Piagam Jakarta – 22 Juni 1945, terdapat kata-kata bahwa negara berdasar pada “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Piagam ini kemudian disetujui oleh BPUPKI dalam sidang bulan Juli 1945 sebagai mukadimah konstitusi negara. Dengan demikian, Piagam Jakarta adalah hasil kompromi antara kelompok nasionalis-Islam, yang menghendaki negara berdasarkan Islam, dengan implikasi pemberlakuan syariat Islam, dan kalangan nasionalis-netral agama yang menghendaki sebuah negara sekuler. (Sebagai catatan, pada tahun 1980-an ada ungkapan populer dari Munawir Sjadzali, menteri agama kala itu yang juga ahli tata negara Islam, bahwa Indonesia bukan negara agama (Islam) dan bukan pula negara sekuler).


Meski begitu, anggota BPUPKI lainnya banyak yang keberatan dengan isi piagam tersebut. Ki Bagus Hadikusumo, misalnya, menggugat kembali isi Piagam Jakarta, khususnya sila pertama. Tokoh Muhammadiyah ini mengusulkan agar kata-kata ‘bagi pemeluk-pemeluknya” dihilangkan, sehingga bunyinya menjadi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam”. Kalangan Islam mengusulkan agar kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk Islam itu dicantumkan dalam ayat-ayat konstitusi, yang tentu saja menimbulkan keberatan di kalangan nasionalis dan Kristen. Terhadap Piagam Jakarta, kalangan Kristen punya pandangan yang berbeda. Maramis menyetujui, sedangkan Latuharhary menolak karena menurutnya hal itu bertentangan dengan adat Maluku.


Mereka juga menolak soal kepala negara harus beragama Islam. Soekarno menyatakan bahwa ia percaya akan kebijaksanaan rakyat bahwa kepala negara yang akan dipilih rakyat adalah seorang Muslim. Wahid Hasyim, Kiai Masjkur, dan Kahar Muzakkir menolak keras pendapat Soekarno tersebut. Upaya Soekarno mendekati pemimpin Islam agar mereka bersedia kompromi, tidak membuahkan hasil. Karena itu ketika Badan Penyelidik bersidang kembali pada 16 Juli 1945, Soekarno kembali mengimbau rekan-rekannya dari kalangan nasionalis agar menerima usul kalangan Islam. Ia menegaskan:
“Apa boleh buat saya minta kepada saudara-saudara yang berdiri atas dasar kebangsaan tadi supaya melepaskan teoretis prinsip ini, mengorbankan prinsip teoretis ini kepada persatuan yang harus lekas kita selenggarakan… Saya minta kepada saudara-saudara kebangsaan, jalankanlah offer ini. Marilah kita setujui usul saya itu: clausule di dalam UUD, bahwa Presiden Indonesia haruslah orang Indonesia asli yang beragama Islam. Kemudian artikel 28, yang mengenai urusan agama, tetap sebagai yang telah kita putuskan, yaitu ayat ke-1 berbunyi: Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan sariat islam bagi pemeluknya.” (Dikutip dari Risalah Sidang Badan penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia)


Bung Karno berhasil meyakinkan kalangan nasionalis yang masih keberatan, bahwa Piagam Jakarta adalah sebuah bentuk kompromi maksimal. Sementara kepada kalangan nasionalis-Islam ia menjamin bahwa negara yang akan dibentuk adalah bukan negara sekuler, karena ada rumusan sila pertama tadi, dan bahwa Presiden dan Wakil Presiden RI adalah orang Indonesia asli dan harus beragama Islam.


Dalam rapat BPUPKI tanggal 15 Juli 1945, Soepomo menyatakan bahwa Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 adalah gentlemen agreement antara golongan agama dan golongan kebangsaan. Sebuah konsensus yang harus ditaati semua golongan. Dan naskah Piagam Jakarta yang di dalamnya mengandung rumusan “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, serta rumusan UUD yng antara lain mencantumkan bahwa Presiden harus orang Indonesia asli dan beragama Islam, disetujui 62 orang anggota BPUPKI, dan hanya satu orang yang menolak.


Namun, sehari setelah kemerdekaan, menjelang sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Bung Hatta mengaku bahwa dia didatangi seorang opsir Kaigun yang mengaku membawa dari golongan Kristen di Indonesia Timur. Mereka keberatan dengan rumusan Piagam Jakarta. Dan jika rumusan itu tetap disahkan, maka mereka mengancam akan keluar dari negara kesatuan Republik Indonesia yang baru diproklamirkan. Setelah Bung Hatta mengadakan pertemuan informal dengan wakil golongan Islam, maka dicapailah kompromi, sila Ketuhanan mendapat atribut tambahan “Yang Maha Esa”, sebagai ganti dari tujuh kata yang dihilangkan.


Dengan demikian, keputusan sidang PPKI mengenai Pancasila sebagai dasar negara, dengan sila pertama yang kita kenal sekarang yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”, merupakan konsensus atau kesepakatan “Bapak-bapak Pendiri Bangsa” yang sejatinya bersifat final. Pancasila, dan pembukaan UUD 1945, sebagai gentlemen agreement, seperti dikemukakan As’ad Said Ali, tidak ada pihak yang seratus persen menang. “Ada proses saling memberi dan menerima. Selain itu, dan lebih penting, yang diutamakan adalah kepentingan bersama.” (As’ad Said Ali, Negara Pancasila, 2009, hlm. 167). Namun demikian, mantan wakil ketua BIN dan wakil ketua umum PBNU ini menyayangkan konsensus atau platform bersama dalam membentuk negara pada 1945 itu tidak serta merta diresapi banyak kalangan, dan nyaris tenggelam diterjang hiruk pikuk revolusi.


Selanjutnya, pasca penerimaan kedaulatan, ketika dunia dilanda perlombaan ideologi antara kapitalisme dan sosialisme, kata As’ad, hasrat menarik Pancasila sebagai ideologi pun menguat. Beberapa tokoh nasional bahkan mulai memandang Pancasila sebagai sebuah ideologi yang dapat disandingkan dengan ideologi-ideologi dunia itu. Bahkan Bung Karno dalam pidatonya pada 27 Januari 1953, Secara terang-terangan mempropagandakan Pancasila sebagai ideologi pemersatu seraya menentang Islam sebagai sebuah ideologi negara. Pernyataan ini, tidak lagi membuat gusar kalangan Islam. Akibatnya, sesuatu yang sudah dianggap selesai ini, kembali bergolak dalam sidang-sidang Konstituante ketika membicarakan dasar negara.


Sampai sekarang pun tidak sedikit yang mencoba membenturkan Pancasila dengan Islam. Padahal antara keduanya, bukan saja sejalan atau bersesuaian, melainkan nilai-nilai yang terdapat dalam lima dasar itu sejatinya merupakan bagian dari ajaran Islam itu sendiri. Oleh karena itu, hemat saya, terasa absurd jika masih ada yang ingin mempertentangkan bahkan membenturkan antara keduanya. Wallahul muwafiq.

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda