Ads
Cakrawala

Kolom Komaruddin Hidayat: Ibnu Sina Jumpa Alhallaj Empat Mata

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Pada suatu waktu, Ibnu Sina dan Al-Hallaj sepakat untuk bertemu, mengadakan diskusi, atau semacam debat, tentang siapakah di antara filosof dan sufi yang memiliki keyakinan yang benar tentang Tuhan dan kehendak-Nya atas manusia. Ibnu Sina, yang filsuf, dan Al-Hallaj, mistikus yang legendaris itu, tak ingin melihat murid muridnya taling bertengkar, bodoh-membodohkan, antara pendukung filsafat dan pendukung mistisisme. Dengan begitu, keduanya sepakat, siapa yang kalah dalam debat akan meninggalkan pahamnya dan beralih mengikuti paham yang menang.

Sebagaimana diketahui, lbnu Sina berpendirian bahwa akallah senjata milik manusia yang paling ampuh, senjata pamungkas yang merupakan pancaran ke-Maha Pintar-an Tuhan. Dengan kekuatan akal sesungguhnya manusia mampu menemukan dan membangun tata nilai kehidupan yang benar, yang baik, sebagaimana yang dikehendaki Tuhan untuk kebaikan hidup manusia sendiri. Namun, karena tidak setiap orang mampu mengembangkan dan mendaya-gunakan potensi akalnya, maka pekerjaan filosoflah untuk memberikan penerangan dan bimbingan kepada masyarakat, bagaimana cara hidup yang baik dan bagaimana seseorang dapat mendapatkan keyakinan atau iman yang benar dan pasti, tentang Tuhan.

Menurut Ibnu Sina, dengan demikian, kelompok masyarakat yang terbaik dan terpintar adalah para filosof. Yaitu mereka yang sadar sesadar-sadarnya bahwa hakikat kemanusiaan yang paling esensial adalah karena mereka memiliki akal. Dan pekerjaan manusia yang paling mulia dan menyenangkan adalah, dengan akalnya tadi, mereka bermenung dan berpikir. Sedangkan obyek pemikiran yang paling luhur dan paling benar adalah berpikir tentang hal yang baik-baik, yang bermuara pada kesadaran tentang eksistensi dan ke-Maha Baik-kan Tuhan.

Berpikir tentang kebaikan, menurut Ibnu Sina, akan mengarahkan seseorang bertingkah laku dan berkepribadian baik pula. Berpikir itu pangkal perilaku. Sementara perilaku seseorang haruslah bisa dipertanggungjawabkan menurut akal sehatnya. Akal sehat adalah akal yang senantiasa tertuju untuk berpikir yang baik. Semua ide yang baik dan kebaikan itu, bersumber dan bermuara dari dan peda diri Tuhan.

Bila seseorang telah mampu mengembangkan potensi akainya secara maksimal, di mana maksimalisasi ini meniscayakan seseorang bermoral baik dan bersih, maka akalnya akan mencapai tingkat apa yang dinamakan akal aktif. Kesadaran akalnya laksana malaikat Jibril. Alam dan tatanannya yang oleh orang awam sulit dimengerti mana pangkal dan mana ujung, menurut filosof — dengan kekuatan analisanya — alam begitu gamblang, memiliki garis rumus yang begitu pasti dan akurat, jauh lebih pasti dan akurat daripada rumus ilmu pasti. Alam memiliki struktur dan premis-premis yang tak bisa dibantah kebenarannya, di mana eksistensi, ke-Maha Baik-kan dan ke-Maha Pintar-an Tuhan satu-satunya konklusi yang valid.

Hidup: Indah dan Siksaan

Lain halnya pandangan Al-Hallaj yang mistikus. Senjata pamungkas milik manusia bukannya terletak pada akalnya, melainkan mata hatinya. Mata hatilah yang mampu menangkap kilatan Tuhan dan kasih-Nya yang tercurah ke alam semesta ini, baik alam makro maupun mikro. Hatinya begitu yakin dan bergairah bahwa alam ini tercipta karena kasih Tuhan. Dan hanya hati manusia yang mampu menangkap dan memahami kasih semesta itu. Maka pekerjaan yang paling membahagiakan adalah bila seseorang telah mampu menjalin komunikasi cinta yang sedalam-dalamnya dengan Zat Yang Maha Kasih. Kenikmatan yang prima di saat hati seorang sufi munajat dan dialog mesra dengan Tuhannya. Dialog ini pada tingkat yang intens berlangsung tanpa huruf, tanpa kata dan tanpa kalimat, karena sesungguhnya hakikat komunikasi cinta tidak akan mungkin dibahasakan melalui kata dan kalimat. Getaran cinta hanya akas bisa dirasakan dan ditangkap oleh mata hati. Dan bila hati seorang sufi telah kosong dari rasa cinta dan keinginan mencinta selain pada Yang Maha Kasih, maka tak ada lagi ruang kosong di hatinya baik untuk mencintai maupun membenci terhadap dunia dan sesamanya.

Bagi Al-Hallaj hidup adalah indah, tetapi sekaligus siksaan. Sebagai siksaan, karena hati harus menanggung derita kerinduan untuk bisa bertemu lebih dekat lagi dengan Kekasihnya, di mana pintu kematian merupakan pintu gerbangnya. Dunia begitu nista karena cenderung memalingkan seseorang dari keasyikan bermunajat dengan-Nya, dan diganti dengan kenikmatan semu.

Namun, hidup sesungguhnya juga memiliki keindahan, ketika seseorang telah berhasil membebaskan diri dari jeratan-jeratan nafsu dunia, lalu hatinya pun senantiasa tertambatkan kepada-Nya. Tambatan ini bukan sekedar damba pada kasih-Nya, melainkan diri Sang Kekasih, sumber semesta kasih dan cinta. Gembira, sedih, bahagia, derita, semuanya bertumpu pada perasaan hati. Tetapi semua itu tiada lagi tempat ketika hati seorang sufi telah terbakar oleh keasyikan menatap dan bermunajat mesra dengan-Nya. Begitu intim dan dekatnya, menurut Al-Hallaj, sehingga tiada lagi predikat ruang dan waktu. Bahkan sebaliknya, ruang dan waktu tenggelam dalam diri seorang sufi. Pada saat-saat demikian, ia bagaikan tengah mikraj sebagaimana yang dilakukan Rasul Muhammad, dan serasa. tak mau kembali lagi ke kesadaran biasa. Mata hatinya memancarkan cahaya di atas cahaya, semakin bercahaya ketika bersambung dengan cahaya absolut, pancaran kasih-Nya.

Binagraha

Demikianlah, ketika tiba waktu yang telah disepakati Ibnu Sina dan Al-Hallaj datang lalu memasuki ruangan untuk berdialog dan berdiskusi empat mata. Sementara murid-murid dari kedua guru berkumpul di luar. Mereka menjagoi guru masing-masing.

Begitulah, di luar dugaan para murid, ternyata pertemuan teramat penting ini berlangsung amat singkat. Bahkan mereka menduga, diskusi digagalkan. Maklum, keduanya bukan sembarang empu. Hanya dalam waktu singkat mampu menyelesaikan sekian masalah yang tidak akan bisa dibahas oleh sembarang orang dalam batas waktu yang sama. Keduanya tidak hanya tahu di ujung kata, bahkan sebelum lawan bicara membuka mulut sudah tahu apa yang akan diomongkan.

Pertemuan selesailah sudah dan Ibnu Sina ke luar duluan. Maka diberondonglah dengan pertanyaan, kira-kira seperti seorang menteri baru ke luar dari Binagraha (dulu kantor Presiden Soeharto) dikerubungi wartawan. Para murid segera ingin tahu, paham serta keyakinan siapakah di antara keduanya yang benar mengenai Tuhan. Maka dengan tenang dan pasti, ia pun menjawab, “Ternyata Al-Hallaj melihat dan merasakan persis apa yang saya pikirkan.” Hanya itu jawabannya. Dan orang pun manggut-manggut. Dan kini giliran Al-Hallaj ke luar, lalu memberi jawaban; ’’Ibnu Sina yang filosof itu ternyata berpikir dan memikirkan persis mengenai ape yang saya lihat dan rasakan.” Lagi-lagi orang pun manggut-manggut, entah apa yang dianggutkan.

Ketika profesor saya selesai menyampaikan anekdot di atas, saya bertanya bagaimana kira-kira hasil diskusi kalau saja Ibnu Hanbal dan Abu Hasan Al-Asy’ari ikut serta? Tetapi sayang, sebelum pertanyaan saya majukan, sang profesor sudah ke luar, meninggalkan ruang kuliah.

Ankara, 4 Desember 1985

Penulis: Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Prrnah menjabat rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Kolom ini ditulis ketika dia menempuh pendidikan doktoral (S3) di Universitas Ankara, Turki. Sumber: Panji Masyarakat, No. 493, 1 Februari 1986

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda