Ads
Tafsir

Bagaimana Nabi Mengaji (2)

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Menyanyi dan merasa cukup.

Ada takwil yang lain. Makna yataghanna (yang diterjemahkan dengan ‘menyanyi’) dalam hadis Nabi di atas sebenarnya yastaghni (tidak membutuhkan). Ini antara lain pendapat Sufyan ibn Uyainah, yang memahaminya sebagai: “merasa cukup, dengan Al-Qur’an, terhadap penuturan apa pun”. Takwil ini pula yang cenderung dipilih Bukhari.

Takwil lain lagi: yataghanna itu bukan menyanyi, melainkan bersedih-sedih (yatahazzan). Karena, kalau kata itu dari ghaniyyah (nyanyian), tentu akan dikatakan yataghaanaa dan bukan yataghannaa. Mereka berdalil dengan riwayat Mutharrif ibn Abdillah ibnisy-Syikhkhir, dari ayahnya: “Aku melihat Rasulullah SAW bersembahyang, dan dari dada beliau suara menggelegak seperti (air) periuk yang mendidih, karena tangis.” Ini dikuatkan dengan riwayat dari Abdullah (ibn Mas’ud). Katanya: “Bersabda Nabi SAW: `Mengajilah untukku.’ Maka aku membacakan untuk beliau Surah An-Nisa. Sehingga ketika sampai ke ‘Maka bagaimana bila Kami datangkan dari setiap umat seorang saksi, dan Kami datangkan engkau sebagai saksi atas mereka?’ (Q. 4:41), aku memandang ke mata beliau, dan ternyata kedua-duanya basah.” Allahumma shalli `alaih.

Takwil kelima antara lain dari Syafi’i. Imam ini ditanya mengenai pemaknaan Ibn Uyainah terhadap yataghanna (yang umumnya diartikan ‘menyanyi’) sebagai yastaghni (merasa cukup), menjawab: “Kita lebih paham mengenai itu. Sekiranya Nabi s.a.w. memaksudkan istighna’ (merasa cukup), tentulah beliau menyebut manlam yastaghni. Tetapi karena beliau menyebut yataghanna, tahulah kita bahwa yang beliau maksudkan adalah taghanni (penyanyian).” Begitu juga Ath-Thabari: “Yang dikenal pada kita, dalam pembicaraan orang Arab, taghanni itu ghinaa’ (nyanyian).” Adapun arti yang dikemukakan sebagian orang, bahwa taghanni bermakna ketidakbutuhan, “itu tidak ada dalam omongan orang Arab maupun syair mereka. Kita sendiri tidak tahu ada ahli ilmu mengatakan itu.” Qurthubi menyanggah ini. Katanya, ahli ilmu (bahasa) itu ada. Misalnya Al-Jauhari. Juga Al-Harawi.

Takwil keenam datang dari Shahih Muslim, sebuah hadis dari Abu Hurairah, yang mendengar Rasulullah SAW  bersabda, “Allah tidak mengizinkan sesuatu seperti Allah mengizinkan untuk seorang nabi: suara yang bagus, yang yataghanna dengan Al-Quran dan mengeraskannya.’ Thabari berkata: “Kalau yang benar seperti dikatakan Ibn Uyainah itu, tentulah penyebutan ‘suara bagus dan mengeraskannya’ itu tidak punya arti apa-apa.” Qurthubi juga menolaknya. Katanya, ‘mengeraskannya’ itu justru merupakan dalil untuk tiadanya penyanyian dan pengulang-ulangan. Nabi kan tidak mengatakan `menyanyikannya’ (yathribu bihi), melainkan ‘mengeraskan-nya’ (yajharu bihi)?

Adapun Abul Hasan ibnul-Baththal berhujah untuk Syafi’i. Katanya, “Kesulitan ini sudah diangkat oleh hadis Ibn Abi Syaibah.” Yakni yang bersumber dari Uqbah ibn Amir r.a. Sabda Rasul SAW: “Belajarlah Al-Qur’an, nyanyikan dia, dan tuliskan…” Tapi tentang ini, para ulama Maliki berkomentar: Hadis ini, walaupun sah sanadnya, ditolak oleh kenyataan bahwa “pembacaan Quran itu sampai kepada kita secara mutawatir dari seluruh guru qiraat, generasi demi generasi, tanpa pelaguan maupun penyanyian.”

Sebenarnya hadis tentang qiraat Rasul SAW  di punggung onta itu bisa membela “penyanyian”. Itu dimuat Bukhari, yang malah menyifati suara Nabi dalam (pengulangan, baik dengan kata-kata maupun gumam) itu sebagai: aaa, aaa, aaa, tiga kali. Tapi, asumsi Qurthubi, bunyi aaa, aaa, aaa itu layaknya akibat goyangan onta. Buktinya adalah hadis yang bersumber dari Abdirrahman ibn Abi Bakr, dari ayahnya, yang berkata: “Dalam pembacaan mad oleh Rasulullah s.a.w. tidak ada tarji’.” Juga penuturan Ibn Abbas: “Dahulu Rasulullah s.a.w. mempunyai muazin yang bernyanyi. Maka kata ‘Azan itu mudah dan sederhana. Jadi, kalau azanmu sederhana dan mudah… Dan kalau tidak, jangan ber-azan’.”

Lagu ‘Malam Kudus’. Qurthubi, ulama yang hidup dengan gaya keras kepada diri sendiri (dituturkan, ia berjalan di Kota Cordoba, Spanyol, dengan hanya satu lapis baju, di kepalanya sesobek ‘kopiah sederhana), tampak mencurigai nyanyian, benda yang memang dekat dengan kemauan bernikmat-nikmat. Keberatan Qurthubi didasarkan pada konstatasinya yang barangkali benar, di Cordoba abad ke-7 Hijriah, bahwa, dengan cara itu, Al-Qu’ran rusak. “Alif yang satu menjadi banyak alif, waw yang satu menjadi banyak waw..” Bahkan, terkadang, “Makna menjadi tak terpahami. Padahal itu haram.”

Lalu ia menuding: “Seperti yang mereka perbuat di gedung-gedung kota itu, di hadapan raja-raja, di hadapan jenazah. Lalu mendapat honor dan hadiah-hadiah…” Kemudian mengingatkan hadis Hudzaifah, yang mengantarkan sabda Nabi, “Bacalah Al-Quran dengan langgam-langgam Arab dan suaranya, dan hindarilah langgam-langgam para tukang cinta dan langgam-langgam para ahli dua kitab. Akan datang sesudahku kaum yang men-tarji’ Quran dengan tarji nyanyian dan ratapan,” dan seterusnya.

Dan itulah rahasianya, kiranya. Kalau tuduhan-tuduhan Qurthubi benar maka setidak-tidaknya sampai di masa itu seni baca Qur’an harus dikatakan belum selesai membentuk diri. Qurthubi misalnya menyebut tarji’ itu yang, menurut dia “seperti yang diperbuat kaum Nasrani.” Barangkali benar. Kalau kita menyaksikan misa-misa gereja, di Lebanon, misalnya, kita mendengar kalimat-kalimat di sana mengikuti lagu. Jika lagu seperti Malam Kudus (Holy Night) diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, panjang-pendek irama tidak akan pernah bisa sesuai dengan panjang-pendek yang sudah built in pada kata-kata. Arab. Tapi mereka paksakan mengikuti irama menjadi, misalnya, Yaa rabbi yaaaaasu‘, kata mereka, sementara seharusnya yasuuu’. Lalu diulang-ulang, sesuai dengan tuntutan komposisi.

Syair Arab pun punya perbedaan dalam penggunaan mad dibanding Qur’an. Meski kedua-duanya berangkat dari hukum-hukum vokal yang sama, pada syair, bila dinyanyikan, mad ash itu bisa diulur (dan disetujui), seperti pada akhir-akhir baris, demi kesesuaiannya dengan pakem-pakem lagu tradisional yang baku. Tentu salah besar bila Qur’an dinyanyikan seperti itu.

Musahabaqah Tilawatil Qur’an

Tetapi mustahil menganggap Thabari, atau Imam Syafi’i, yang hidup berabad-abad sebelum Qurthubi, membela “penyanyian” Quran bila keadaannya memang seperti dilukiskan ulama kelahiran Andalusia itu. Yang lebih logis: pro-kontra di masa Syafi’i dan Thabari itu sebenarnya terjadi pada pembacaan yang benar tidak seperti yang digambarkan Qurthubi di masanya. Kontroversi di masa lebih kuno itu agaknya antara pihak-pihak pembacaan yang “benar dan persis” dan yang “benar tapi tidak persis” dengan cara Nabi, andai cara Nabi memang tidak mengenal lagu. Atau antara para ulama yang lebih menyukai kesalihan dan sikap tegar dan yang lebih “lentuk dan memahami”.

Nabi sendiri sebenarnya bersikap longgar. Di sekitar beliau terdapat para sahabat yang bersuara bagus, yang jelas berlagu. Dan beliau suka. Nabi juga berlagu, tam-paknya, seperti yang beliau lakukan di punggung onta, yang memperdengarkan suara seperti aaa, aaa, aaa itu. Yang beliau inginkan, agaknya, dengan beberapa peringatan beliau terhadap pelaguan Quran, jangan nya-nyian atau lagu itu dipaksakan, dibuat-buat—seperti yang beliau peringatkan kepada si muazin. Yang kedua, jangan kepentingan lagu mengalahkan kepentingan arti kehadiran Qur’an sendiri sebagai petunjuk. Rasyid Ridha juga merasakan yang seperti itu. “Adalah disukai pembacaan Quran itu dengan tartil dan alunan lagu  untuk memberi bekas dan kekhusyukan,” katanya—dan “tanpa pemaksaan yang dibuat-buat.” Lalu ia menerakan sebagian hadis yang sudah dikutip, yakni se-mua yang “pro” penyanyian. (Rasyid Ridha, ibid.). Bila seorang imam Masjidil Haram, misalnya, mengalunkan takbir pertama dan “menyanyikan” Fatihah, dengan sederhana dan indah, alunan itu lahir dari dalam jiwanya, dan itu tidak bakal terjadi tanpa tersedianya kadar musikalitas yang besar dalam Quran sendiri, yang agaknya tak dianggap penting oleh mereka, juga ulama, yang daya musikalnya tak sekuat daya nalarnya. Lagu imam itu contoh lagu yang “lahir sendirinya”. Tapi Quran juga memungkinkan, lewat sejarahnya yang panjang, pengembangan lagu yang “otomatis” itu menjadi sebuah 5eni yang tertata, yang berinduk pada pakem-pakem yang tersusun dari remah-remah berbagai langgam kasidah dari lingkungan tempat Quran sendiri diturunkan, dan muncul, di masa mutakhir, sebagai se-buah dunia yang otonom, yang, sambil bersaing dengan berbagai pelahiran seni yang profan dan sekular, turut menghiasi bumi. Berdasarkan itu, satu rangkuman ayat bisa disusun lagunya, menurut pakem tertentu, tapi se-lalu bersifat individual—dan di sinilah letak faktor kreatif kesenimanannya. Semuanya berdasarkan aturan-aturan makhraj dan tajwid Quran, termasuk panjang-pendek vokal (satu ketukan, dua, tiga sampai tujuh, dan tidak ter-batas) yang sama sekali benar. Tidak mengherankan bila ulama seperti Al-Ustadz Umar Hubeis, yang tidak dikenal dekat dengan dunia seni baca Quran, ketika menjawab masalah ini justru me-ngutip hadis Rasul SAW, “Hiasilah Al-Quran dengan suara kamu, karena suara yang indah menambah keindahan Qu-ran”–hadis yang jelas akan “ditafsirkan lain” oleh Qurthubi. Ustadz Umar (lihat Fata-wa, 479) juga me-nyatakan pro ke-pada MTQ. Syukur juga bahwa catatan Ustadz, tentang para qari yang “mementingkan lagu dan nagham suaranya, walau menyalahi hukum tajwid”, sebenarnya tidak akurat.

Penulis: Syu’bah Asa. Sumber: Panji Masyarakat, 2 Juni 1997

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading