Tafsir

Bagaimana Nabi Mengaji (1)

monochrome photo of opened quran
Written by Panji Masyarakat

Bagaimana Nabi SAW  membaca Al-Qur’an? Sebagian keterangan datang dari Anas ibn Malik r.a., dahulu pelayan Rasulullah. “Beliau membaca dengan tempo panjang,” Anas bertutur.  “Membaca bismil laahir rahmaanir rahiim, beliau memanjangkan bismillaah, memanjangkan ar-rahmaan, memanjangkan ar-rahiim” (riwayat Bukhari). Umm  Salamah r.a., istri Nabi, dalam riwayat Turmudzi juga menerangkan qiraat (pembacaan) Nabi. “Rasulullah SAW  memotong-motong qiraat beliau,” katanya. “Beliau mengucapkan: al-hamdu lii-laahi rabbil ‘aalamiin, kemudian berhenti. Ar-rahmaanir rahiim, kemudian berhenti. Beliau membacanya maliki yaumiddiin.”

Berhenti pada tiap akhir kalimat itu disebut waqf (wakaf). Jadi, Nabi SAW membaca Qur’an (Al-Fatihah) pelan-pelan, dan tidak menyambungkan akhir ayat dengan awal ayat lain, walaupun dengan beberapa kekecualian dibolehkan. Adapun kalimat terakhir Umm Salamah menunjukkan perbedaan cara membaca, antara maaliki (dengan madd, pemanjangan) dan maliki. Nabi membacanya tanpa mad. Nanti ada riwayat-riwayat yang membolehkan pembacaan dengan mad, di samping satu-dua pengucapan lain untuk kata itu, seperti yang dicatat dalam Ilmu Qiraat.

Itu yang menyangkut “teknik luar” qiraat Qur’an. Adapun “teknik dalam” kiranya jelas dari sabda Nabi SAW.: “Sebagus-bagus orang suaranya adalah dia yang, bila membaca (Qur’an), kaulihat gentar kepada Allah.” Rasyid Ridha mengingatkan: menangis, dalam pembacaan Qur’an, disukai. “Kalau tidak,” katanya, “maka berusaha menangis dan berusaha khusyuk” (Al-Manar, IX, 554). Ada bahayanya, sebenarnya meski ini catatan, dan bukan sanggahan. Tangis yang memberikan kesan cengeng, atau overacting,  betapapun mengganggu. Terutama pada imam salat.

Itu pula barangkali pertimbangan Aisyah r.a., ketika Rasul SAW menyuruhnya meminta kepada ayahandanya, Abu Bakar r.a., agar mengimami salat. Itulah pertama kalinya Nabi memerintahkan orang menggantikan beliau (dan hanya Abu Bakar hal yang umum ditafsirkan sebagai isyarat Nabi mengenai kepemimpinannya sepeninggal beliau), berhubung Nabi dalam keadaan gering, “Tapi dia itu seorang yang lembut,” kata Aisyah. “Kalau membaca Qur’an, tidak bisa tidak menangis.” Tentu saja Nabi s.a.w. tetap menyuruhnya. Padahal, tangis Abu Bakar yang oleh Aisyah, agaknya, dinilai akan mengganggu jamaah itu tangis kekhusyukan. Bagaimana pula dengan tangis yang dibuat-buat? Itu faedah pertama yang bisa kita tarik. Yang kedua, bahwa Aisyah berkata yang mengenai ayahandanya, menunjukkan bahwa Nabi s.a.w. tidak berihwal begitu. Nabi, dalam membaca Qur’an, lebih mampu mengendalikan tangis, meski tanda-tanda tangis itu terdengar. Allahumma shalli ‘alaih.

Hiasilah suara kamu

Kekhusyukan, itulah sebenarnya yang dituntut dan itu dari dalam. Suatu hari Ziad An-Numairi, bersama seorang qari, datang kepada Anas ibn Malik r.a. Lalu dikatakan kepada si qari, “Bacalah”. Maka ia pun mengangkat suaranya dan “menyanyi”. Suaranya tenor. Mendengar itu Anas menyibakkan cadar dari wajahnya, yaitu kerudung hitam yang selalu dipakainya, dan berkata: “Wahai, ini. Bukan begini yang dahulu mereka lakukan!” Agaknya, si qari lebih mementingkan alunan suaranya itu dibanding kekhusyukan. Wallahu a’lam.

Tapi masalah “menyanyi” memang sebuah kontroversi. Umar ibn Abdil Aziz adalah khalifah Bani Umaiyah yang adil dan salih. Suatu hari, Sa’id ibnul Musaiyib mendengar Umar mengimami salat, dan “menyanyi”. Maka Sa’id pun mengutus seseorang kepada sang khalifah. “Mudah-mudahan Allah menyempurnakan Bapak,” kata Si utusan. “Para imam tidak membaca seperti itu.” Umar tidak pernah lagi mengulangi “nyanyian” -nya. Ibnul-Qasim meriwayatkan, Imam Malik diberi masalah tentang melagukan Qur’an dalam salat. Ia menolak keras. Katanya, “Aku tidak heran. Itu kan nyanyian seperti yang mereka lakukan untuk mendapat dirham.”

Namun kelompok lain berpegang pada sabda Rasul SAW (riwayat Abu Dawud dan An-Nasal): “Hiasilah Al-Quran dengan suara kamu.” Juga sabda Nabi dalam himpunan Muslim: “Bukan golongan kami orang yang tidak menyanyikan (yataghanna bil-) Qur’an.” Ada pula kata-kata Abu Musa Al-Asy‘ari kepada Nabi SAW: “Kalau saya tahu Bapak mendengarkan bacaan saya, tentu sudah saya baguskan qiraat saya demikian rupa. Saya per indah. Saya tartilkan.” Masih ada riwayat Abdullah  ibnul-Mughaffal r.a. Katanya, Rasulullah SAW membaca Qur’an di hari pembebasan Mekah, di perjalanan, yaitu. Surah Al-Fath, di punggung kendaraan beliau mengulang-ulang bacaannya.” Yakni seperti penyanyi yang mengulang-ulang syair. Maka, di antara yang membolehkan menyanyikan Qur’an adalah Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya, Imam Syafi’i, mufasir besar pertama, Ath-Thabari, dan banyak lagi.

Tapi Al-Qurthubi, dalam Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, yang menjadi bahan utama tulisan ini (jl. I, hlm. 10-17), meyakini pendapat yang sebaliknya. Katanya, hadis pertama di atas sebenarnya masuk dalam ‘bab pembalikan’. Kata-kata Nabi “Hiasilah Qur’an dengan suaramu” itu mestinya dipahami sebagai “Hiasilah suaramu dengan Al-Qur’an.” Al-Khaththabi pun menyatakan demikian. Itu seperti kalau orang Arab berkata, “Aku berikan kolam kepada onta,” dengan arti ia menggerakkan onta ke kolam. Lagi pula ada riwayat Abu Hurairah r.a.: “Aku mendengar Rasulullah SAW  bersabda, ‘Hiasilah suara kamu dengan Al-Quran’.”

Ke dalam pengertian itu pula Qurthubi memulangkan kata-kata Abu Musa r.a. kepada Nabi SAW tadi: “Kalau saya tahu Bapak mendengarkan qiraat saya, pasti sudah saya baguskan…” Ini menunjukkan, kata Qurthubi, tadinya ia membaca dengan cepat. Maka, melambatkan dan mentartilkan qiraat, seperti yang akan diperbuatnya kalau dia tahu kehadiran Nabi, menjadi penambah kebagusan suaranya, “dan na’udzubillah untuk menakwilkan seakan-akan Rasulullah SAW bersabda bahwa Al-Quran diperindah oleh suara atau lainnya,” katanya.

Ada pendapat, perintah memperindah itu sebenarnya berhubungan dengan pembacaan itu, dan bukan dengan Qur’an. Jadi, “Perindahlah qiraat dengan suara kamu.” Di situ Qur’an bermakna qiraat seperti dalam firman Wa qur-aanal fajr (“Dan quran fajar”; Al-Isra 78), yang sebenarnya menunjuk pada qiraat fajar. Juga Al-Qiamah 16.

Bersambung

Penulis: Syu’bah Asa. Sumber: Panji Masyarakat, 2 Juni 1997

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda