Serang menyerang antarmuslim dengan menggunakan ayat Quran plus hadis Nabi dilakukan secara melampaui batas (ghuluw), sehingga melanggar prinsip-prinsip ajaran Islam sendiri.
Inilah aspek paling runyam dan bikin kisruh umat dalam Pemilihan Presiden 2019. Apalagi kalau bukan soal Islam. Agama yang diyakini penganutnya membawa rahmat bagi semesta ini digunakan para para suporter muslim untuk menyerang pendukung muslim lainnya. Serang menyerang antarmuslim dengan menggunakan ayat Quran plus hadis Nabi ini dilakukan melampaui batas (ghuluw), sehingga melanggar prinsip-prinsip ajaran Islam sendiri. Ajaran Islam yang bersifat multitafsir, harus diakui, memang memberi peluang bagi tumbuhnya sikap-sikap ghuluw yang termanifestasikan dalam ucapan-ucapan yang mengandung kebencian, tuduhan-tuduhan keji (fahsya’), tindak kekerasan dan perbuatan-perbuatan ekstrem lainnya. Apalagi jika hanya ditangkap secara harfiah.
‘Perang” muslim melawan muslim dalam pilpres yang sesngguhnya bersifat duniawi ini, karena motif utamanya memperebutkan kekuasaan, bukan hanya memecah persudaraan (ukhuwah) tetapi juga telah memunculkan semacam kesimpulan hukum. Salah satunya adalah bahwa muslim yang mendukung atau memilih calon tertentu masuk dalam golongan orang-orang munafik (munafiqun). Menuduh sesama muslim munafik ini tidak hanya subur di media sosial, tetapi juga marak dalam khutbah-khutbah Jum’at dan berbagai pengajian. Padahal, Nabi Muhammad sendiri tidak pernah mencap seorang muslim munafik.
Syahdan, di Madinah dikenal seorang tokoh berpengaruh bernama Abdullah bin Ubay. Ucapan-ucapan dan perbuatan pemuka suku Khazraj ini sering dinilai merugikan kaum Muslim. Hampir setiap fitnah waktu tu selalu melibatkan dia. Termasuk dalam berita hoax (haditsul ifki) yang menimpa istri Nabi, Aisyah r.a. yang dituduh selingkuh. Meski begitu, ketika Abdullah bin Ubay sakit, Rasulullah s.a.w. menyempatkan diri untuk membesuknya. Betapapun, di permukaan Abdullah bin Ubay menunjukkan dirinya sebagai seorang Muslim. Oleh karena itu pula, ketika putra Abdullah bin Ubay, yang juga bernama Abdullah, datang menemui Nabi, meminta salah satu kain Rasulullah saw untuk dijadikan sebagai kafan bagi ayahnya, Rasulullah mengabulkannya. Kemudian ketika Abdullah juga meminta Rasulullah untuk menshalatinya, beliau pun berkenan.
Waktu itu Umar bin Khaththab, sempat menarik baju Rasulullah, dan berkata: “Wahai Rasulullah, Anda akan menshalatinya? Bukankah Allah melarangmu untuk menshalatinya?”
Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya Allah SWT memberikan kepadaku dua pilihan kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka. Meskipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka. Yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. (QS at-Taubah:80) Dan saya akan menambahnya lebih dari tujuh puluh kali.”
Umar berkata: “Sesungguhnya dia itu orang munafik.”
Setelah Rasulullah saw menshalati jenazah Abdullah bin Ubay, barulah turun ayat: “Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangi (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam Keadaan fasik. (QS. At-Taubah:84).
Itulah gambaran orang munafik, yang bahkan Nabi Muhammad sendiri tidak mengetahuinya kecuali Allah yang memberitahunya. Yakni orang yang berpura-pura mengikuti ajaran agama Islam, namun sebenarnya hati mereka memungkirinya. Mereka tidak beriman namun berpura-pura beriman. Dan Abdullah bin Ubay merupakan representasi dari perilaku kemunafikan (nifaq) atau hipokrisi yang berkaitan dengan akidah,dimana hanya Allah belaka yang mengetahui apakah seseorang itu munafik atau tidak. Ini pula yang disebut nifaq besar, yang dapat mengeluarkan seseorang dari keislamannya dan menggugurkan seluruh amalnya..
Rasulullah menshalati Abdullah bin Ubay ketika itu mengacu kepada pengakuan Abdullah bin Ubay bahwa ia seorang Muslim. Dan Islam mengajarkan ummatnya untuk memperlakukan manusia sesuai dengan kondisi yang diperlihatkan, sedangkan urusan hati dan batinnya adalah kewenangan Allah SWT.
Lalu bagaimana dengan hadis Nabi yang menyatakan tanda-tanda orang munafik? Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah bersabda : “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu; jika berbicara berdusta, jika berjanji mengingkari dan jika dipercaya berkhianat.” Inilah jenis hipokrisi atau nifaq kecil, yakni perbedaan antara lahir dan batin yang tidak bersangkut paut dengan akidah. Jenis hipokrisi yang satu ini bisa menimpa siapa saja, termasuk setiap orang yang beriman. Karena itu Anda boleh saja bertanya: “Siapa di antara kita yang sama sekali bebas dari dari satu dua butir hipokrisi sebagaimana ditengarai oleh Nabi?” Dengan kata lain, tanda-tanda hipokrisi yang dikemukakan Nabi tersebut merupakan bagian dari kelemahan manusiawi. Nabi bersabda, “Sudah diturunkan hipokrisi kepada satu kaum yang lebih baik dari kamu.” Justru karena itu kita bermohon kepada Allah, dalam satu doa yang diajarkan oleh Nabi: “Allahumma inni a’udzu bika minasy syiqaaqi wan-nifaaqi wa suu-il akhlaaq (Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari perpecahan,dari sikap hipokrit dan khlak yang buruk).” (Hadis riwayat Abu Daud dan Nasa’i.
Agaknya jenis munafik model Abdullah bin Ubay-lah yang yang dituduhkan kepada sesama uslim pada musim pilpres 2019. Jadi, bukan hipokrisi jenis kedua sebagaimana disinyalir Nabi, yang bisa menempel kepada siapa saja. Termasuk para pendukung pasangan calon 01 maupun pendukung calon 02.