Ads
Tasawuf

Bahkan Allah Punya Malu

Ada bermacam malu, mulai karena melakukan pelanggaran serius sampai hal yang remeh temeh, seperti bermunajat meminta sesuatu kepada Allah.

Syahdan, serombongan sufi keluar malam dan melewati sebuah rimba. Tiba-tiba mereka memergoki seseorang yang sedang tidur, sementara kudanya merumput di dekatnya. Mereka membangunkan orang itu, dan bertanya:

“Kamu tidak takut tidur di tempat mengerikan dan banyak binatang buas ini?”

“Di hadapan-Nya aku malu menakuti selain Dia,” kata orang itu seraya meletakkan kepalanya kembali. Dan meneruskan tidurnya.

Ada beberapa macam malu, seperti diungkapkan Abul Qasim An-Naisaburi. Pertama, adalah malu dikarenakan pelanggaran, seperti malu Nabi Adam a.s., ketika ditanya, “Apakah engkau berniat lari dari Kami?” Beliau menjawab, “Tidak, karena malu di hadapan-Mu.” Kedua, malu karena terbatas. Ini seperti malunya para malaikat yang mengatakan, “Maha Suci Engkau! Kami telah menyembah-Mu tidak sebagaimana layaknya Engkau disembah.”

Ketiga  adalah malu karena mengagungkan. Yang demikian tampak seperti pada Malaikat Israfil a.s., yang menutupkan sayapnya ke tubuhnya karena malu kepada Allah. Keempat adalah malu karena kemuliaan hati, seperti malu Rasulullah s.a.w., ketika malu untuk mempersilakan pergi tamu-tamu beliau. Sehingga Allah swt, lalu berfirman, “…… dan jika kamu selesai makan, keluarlah kamu semua tanpa asyik memperpanjang percakapan.” (Q. 33:53).

Yang kelima adalah malu karena terlalu remeh untuk diungkapkan. Ini seperti malunya Nabi Musa a.s. ketika munajat, “Aku mengajukan suatu kebutuhan dari dunia ini, dan aku malu meminta kepada-Mu, wahai Tuhanku,” dan Allah selalu menjawab kepadanya, “Mintalah kepada-Ku, bahkan untuk adonan roti dan jerami untuk domba-dombamu.”

Terakhir, malu karena sifat pemberi kenikmatan, yang merupakan Malu Allah swt. Dia memberikan buku yang Distempel kepada seorang hamba setelah melewati jembatan di akherat. Di dalam buku itu tiba-tiba tertulis, “Engkau telah melakukan (dosa) ini dan itu. Aku malu menunjukkannya kepadamu, karena itu pergilah; Aku telah mengampunimu!”

Al-Fudhail ibn Iyadh menjelaskan, “Ada lima  tanda celaka seorang manusia: Kerasnya hati, bengisnya mata, tiadanya rasa malu, hasrat terhadap dunia, dan lamunan yang tiada terbatas.”

Rasulullah s.a.w bersabda: “Malulah kamu sekalian di hadapan Allah dengan malu yang sebenar-benarnya.” Mereka berkata, “Tapi kami sudah merasa malu, wahai Nabi Allah, dan segala puji bagi-Nya!” Beliau bersabda, “Itu bukanlah malu sebenarnya. Orang yang ingin malu sebenar-benarnya di hadapan Allah s.w.t., hendaklah menjaga pikiran dan bisikan hatinya, hendaklah ia menjaga perutnya dan yang dimakannya, hendaklah ia mengingat mati dan fitnah kubur. Orang yang menghendaki akhirat hendaklah meninggalkan perhiasan-perhiasan kehidupan duniawai. Orang yang melakukan semua ini, berarti ia memiliki rasa malu yang sebenarnya di hadapan Allah.” (H.r. Tirmidzi dan Hakim).  Dan “Malu adalah sebagian dari iman.” (H.r.  Tirmidzi)

Sumber: Imam Al-Qusyairi an-Baisaburi, Risalah al-Qusyairiyah  (t.t.)

Tentang Penulis

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading