Ads
Aktualita

Adakah Politik Identitas dalam Tayangan Azan?

Avatar photo
Ditulis oleh Arfendi Arif

Politik identitas sering dikritik dengan tajam. Dianggap faktor pemecah belah dan cara mudah untuk meraih suara dalam setiap pemilu maupun kontestasi politik. Namun, ternyata tidak mudah untuk tidak menggunakan politik identitas dalam penampilan politik.

Belum lama ini, calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Ganjar Pranowo sedang viral dituding melakukan politik identitas. Ini berawal ketika ia tampil dalam kumandang azan magrib di tv swasta RCTI dan MNC TV.

Dalam tayangan tersebut terlihat Ganjar memakai baju koko, berpeci dan menyalami jamaah serta menyilahkan masuk masjid. Gambar Ganjar sedang berwudhu, duduk thahiyat di shaf depan sebagai makmum juga dishot dan muncul dalam kamera.

Sebagai calon presiden dari partai berlambang banteng moncong putih yang selama ini cukup tajam mengkritik politik identitas dan politisasi agama, munculnya wajah Ganjar dalam kumandang azan dinilai tidak konsisten oleh nitizen dan warganet.

Dalam suasana sekarang yang tampaknya sudah mulai terasa semacam “pemanasan kampanye”, tampilnya tayangan Ganjar Pranowo di azan maghrib televisi diduga memanfaatkan dan ingin menarik suara massa Islam melalui pencitraan ibadah. Inilah yang diangap sebagai politik identitas yang selama ini getol dituding sebagai faktor pemecah bangsa.

Tayangan Ganjar itu kemudian menjadi sorotan para pengamat. Pemerhati pemilu Kaka Suminta menduga video Ganjar tersebut masuk kategori politisasi identitas. Ia menonjolkan keyakinan agamanya untuk mempengaruhi pilihan masyarakat pada saat pilpres dan pemilu nanti.

Kaka Suminta yang juga Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) menambahkan, meskipun video itu tidak ada suara atau ajakan untuk memilih, namun jika terus diputar dan berulang bisa mempengaruhi pilihan publik atau masyarakat.

“Ketika seorang calon kandidat menonjolkan identitasnya baik itu agama,suku, ras, golongan dan kelompok tertentu dan ngeblok di satu identitas, sudah masuk ranah politik identitas” ujarnya, seperti dikutip BBC News Indonesia.

Hal yang senada disampaikan oleh Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramita. Ia menduga bakal capres Ganjar Pranowo memang melakukan potensi politik identitas.

“Karena sebelumnya Ganjar tidak pernah akrab dengan situasi yang lekat dengan simbol keagamaan. Dan melalui video tayangan azan maghrib, Ganjar memperlihatkan citra dirinya yang identik dengan umat Islam,” terangnya.

Apakah ada pelanggaran yang dilakukan Ganjar Pranowo dalam tayangan azan tersebut. Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu berjanji untuk mendalaminya. Ketua Bawaslu Rahmat Bagja mengatakan punya waktu satu minggu sejak hari ini (9/9/2023) untuk mengkajinya.

“Kami punya waktu 7 hari sejak ditemukan dugaan. Bawaslu akan berusaha merampungkan pendalaman terhadap tayangan azan ini apakah masuk kategori pelanggaran atau tidak,” janjinya.

Sementara itu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga memperhatikan kasus Ganjar Pranowo ini. Pihak KPI akan melakukan pengkajian dan klarifikasi terhadap stasiun televisi bersangkutan.

” KPI telah mengirimkan surat ke stasiun tersebut menanyakan kesediaan waktu minta klarifikasi. Tinggal menunggu kesediaan waktu dari pihak lembaga penyiaran,” ujar Aliyah, Komisioner KPI Bidang Pengawasan Isi Siaran.

Pihak MUI juga memberikan tanggapan dengan kemunculan Capres PDIP Ganjar Pranowo dalam tayangan azan di televisi swasta ini.

Menurut Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas, tayangan video Ganjar Pranowo dalam azan maghrib itu sangat bagus dan tidak masalah.

“Tayangan tersebut ada muatan dakwah, mengajak orang untuk shalat dan berbuat baik. Tayangan yang menampilkan Ganjar itu sah-sah saja,” ujarnya.

Menurut Anwar, kalau ada bakal calon presiden yang lain mau melakukan hal yang sama, cukup bagus dan silahkan.

Hanya, Anwar Abbas memberikan catatan, wajah capres dalam tayangan azan akan menimbulkan pro dan kontra saat pemilu dan pilpres 2024 sudah dekat. Dan tayangan azan tersebut berpotensi kegaduhan, maka sebaiknya ditinggalkan.

” Jika hal itu yang terjadi maka ada qaidah terkenal di kalangan ulama fiqh dan ushul fiqh yang perlu dipertimbangkan, yaitu meninggalkan kemafsadatan (keburukan) harus didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan ( kebaikan). Jika menyiarkan hal tersebut akan lebih bessr mudharatnya dari pada manfaatnya atau akan menimbulkan kegaduhan serta pro dan kontra dalam masyarakat, maka hal itu lebih baik ditinggalkan saja”, jelasnya.

Menjelang Pilpres 2024 ini memang muncul himbauan kepada madyarakat untuk memilih pemimpin yang baik dan tepat. Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas ketika menghadiri acara Tabligh Akbar Idul Khotmi Nasional Thoriqoh Tijaniah ke-231 di Pondok Pesantren Az-Zawiyah, Tanjung Anom, Garut, Jawa Barat (3/9/2023) mengatakan, agar masyarakat tidak memilih pemimpin yang yang memecah belah umat.

“Harus dicek betul, pernah nggak calon pemimpin kita, calon presiden kita ini, memecah belah umat. Kalau pernah, jangan dipilih,” ujarnya.

Yaqut Cholil Qoumas juga meminta masyarakat tidak memilih calon pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan.

Tampaknya, pernyataan Menteri Agama terakhir ini sangat relevan dengan peristiwa capres Ganjar Pranowo yang tampil di televisi saat azan magrib yang viral dan menjadi pembicaraan ramai sekarang ini.

Kalau hal itu termasuk menggunakan agama sebagai alat politik – melakukan politisasi agama atau politik identitas untuk memperoleh kekuasaan – betapa mudah mengkritik politik identitas, tapi juga betapa sulit dan tidak mudah menghindarinya.

Apakah itu yang dikatakan bahwa politik itu dinamis?

Tentang Penulis

Avatar photo

Arfendi Arif

Penulis lepas, pernah bekerja sebagai redaktur Panji Masyarakat, tinggal di Tangerang Selatan, Banten

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading