Menghadapi ultimatum Sekutu yang berjangka waktu hanya 24 jam itu mengharuskan Sjam untuk memberi jawaban yang tepat. Adalah tidak mudah merumuskan sesuatu jawaban pada saat yang teramat kritis itu bila yang bersangkutan tidak memiliki integritas dan moral kepemimpinan yang luhur. Sjam memutuskan menemui Kolonel A.H. Nasution, Komandan TRI Divisi Ill. Kesepakatan dicapai yaitu mengadakan pengungsian ke luar kota, dan Bandung akan dibakar menjadi lautan api. Kesepakatan Sjam dan Nasution ini mengingatkan kita kepada pilihan yang diambil oleh Jenderal Kutuszov tatkala menghadapi penyerbuan Napoleon dari Perancis. Kutuszov selaku penguasa yang bertanggung jawab terhadap kota Moskwa, memilih membakar kota tersebut daripada membiarkannya diduduki oleh tentara asing. Kelak ternyata keputusan Kutuszov itu adalah pilihan yang tepat, oleh karena Napoleon menjumpai Moskwa hancur berdebu, tanpa manusia, tiada anggur, dan dingin menggigit.
Sjam sibuk melakukan pengaturanpengaturan pengungsian, anak-anak dan wanita didahulukan. Berduyun-duyun rakyat meninggalkan kota Bandung, dengan hati pilu dan perasaan berdebar gerangan apa yang akan terjadi dengan kota Bandung tercinta. Aparatur pemerintahan diungsikan ke kota Garut,.
Pada hari itu (24 Maret 1946) tepat jam 20 : 01 terdengar ledakan yang dahsyat kemudian asausul menyusul dengan tledakan ledakan berikutnya yang meluas he segenap penjuru kota Langit merah menyala, asap hitarmn Kepul-mengepul. Bandung lautan api. Peristiwa tersebut telah mengaugah se orang komponis besar Indonesia kelahiran Kwitang Ismail Marzuki yang berada di tengah-tengah massa pengungsi untuk menggubah lagu perjuangan yang amat terkenal: Hallo-hallo Bandung.
Pada awal 1947 Sjamsuridjal memperoleh tugas baru terpilih selaku wali kota Surakarta, kali ini tugasnya itu memerlukan kemampuan penerapan segi artistik dari leadership. Sjam bertugas mengubah status Surakarta dari kerajaan Mangkunegaran dan Kasunanan menjadi Kotapraja. Tugas tersebut dilaksanakannya dengan baik. Tidak hanya itu di tengah pemberontak PKI di kota Surakarta yang dia antaranya mengakibatkan gugurnya Dr. Muwardi, Sjam masih sanggup menjadi tuan rumah Pekan Olah Raga Nasional yang diadakan di Stadion Sriwedari Surakarta!
Jikalau Sjam tidak memiliki kekayaan imajinasi yang dihimpun melewati pengalaman yang panjang sebagai tokoh pemuda organitisasi cendekiawan, pembina kader, ikut mengaerakkan massa dalam pergerakan PSII, kita amat sulit untuk memahami betapa kemampuan Sjam memecahkan problem-problem yang masykul selaku birokrat.
Wali Kota (gubernur) Jakarta Raya Suwiryo terpilih sebagai Wakil Perdana Menteri dalam Kabinet Sukiman (Mei 1951). la meletakkan jabatan selaku walikota. Rapat Dewan Perwakilan Kota Sementara memilih 4 orang calon, masing-masing: 1.Mr. Moh. Roem (memperoleh suara terbanyak), 2. Sjamsurijal, 3. Jahja Malik, 4. Dr. Buntaran.
Pemerintah Pusat menetapkan Sjam selaku wali kota (gubernur). Periode Sjam selaku Wali Kota Jakarta Raya (27 Juni 1951 – 1 November 1953) adalah menampilkan wajah Sjam sebagai manusia pembangunan (seperti konotasi yang kita kenal dewasa ini). Dasar-dasar pembangunan Jakarta Raya telah diletakkan oleh Sjam. 3 Masalah pokok yang menjadi tema utamanya pada waktu itu adalah: 1. pembagian aliran listrik, 2. penambahan air minum, 3. urusan tanah, Untuk itu dipersiapkan pusat instalasi listrik di Ancol, proyek penjernihan air Pejompongan, perluasan areal pemukiman sebanyak 205 hektar
Jalan Thamrin yang kita kenal sekarang, Kebayoran Baru sebagai kota satelit, Grogol, dibangun pada masa Sjamsurijal. Mesjid Agung Al-Azhar termasuk amaliahnya yang perlu kita kenangkan.
Bila dewasa ini dalam dunia bisnis kita kenal organisasi HIPWI (Himpunan Pengusaha Wanita Indonesia) niscayalah organisasi semacam itu pada masa Sjam sudah dirintis cikal bakalnya. Pada waktu itu diadakan Gelanggang Dagang untuk Wanita dengan pemrakarsa seorang bekas aktifis JIBDA (Jong Islamieten Bond Dames Afdeling) Ibu Datuk – Tumenggung. Lokal sekolah bertambah banyak, begitupun sekolahsekolah kejuruan banyak dibuka. Perumahan (bedeng-bedeng) untuk orang miskin dan cacat badaniah telah pula dikembangkan pada waktu itu.
Pada tahun 1953 Sjam berakhir jabatannya selaku Wali Kota (Gubernur) Jakarta Raya, setelah itu sampai dengan 1959
Sjam menjadi pegawai tinggi pada Kementrian Dalam Negeri. Sejak pensiun (1959) situasi politik sudah sangat tidak menguntungkan bagi tokoh seperti Sjam yang dikenal sebagai salah seorang pemimpin Masyumi. Sjam menyibukkan dirinya dalam kegiatan kegiatan sosial, memimpin Yayasan Pra Yuana. Tampaknya bagi tokoh seperti Sjam tidak ada waktu untuk berhenti beramal, kendati dalam situasi seperti apa pun juga.
Pada 29 Desember 1964 di Surabaya, cendekiawan Islam yang selalu. berkhidmat untuk kejayaan bangsa dan keluhuran agama itu berlangsung keharibaan-Nya.

Penulis: Ridwan Saidi (1942-2022), budayawan Betawi, sejarawan dan intelektual Islam. Pernah menjabat Ketua Umum PB HMI, menjadi anggota DPR RI dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Sumber: Panji Masyarakat, No 378, 21 November 1982.