Ads
Relung

Dari Benda-benda Angkasa

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Di Indonesia dan beberapa negara berpenduduk mayoritas muslim, 1 Muharam dinyatakan sebagai hari besar Islam. Namun di satu atau dua negara, awal tahun hijriah tidak dianggap demikian, walaupun secara resmi negara itu menggunakan penanggalan hijriah. Alasan mereka, dalam Islam hanya terdapat dua hari besar resmi: Idul Fitri dan Idul Adha.


Penanggalan hijriah mengabadikan sebuah peristiwa yang sangat penting dalam sejarah Islam, yaitu hijrahnya Nabi Muhammad Saw. dari Mekah ke Madinah. Namun Nabi tak pernah mendekritkannya sebagai penanggalan resmi Islam. Penanggalan ini menjadi resmi karena kebutuhan umat Islam akan sistem penanggalan yang dapat mengatur kehidupan mereka dengan baik.


Adapun yang pertama kali mengusulkan kepada Khalifah Umar agar surat-surat resmi beliau diberi tanggal adalah Abu Musa Al-Anshari. Waktu itu para gubernur di daerah-daerah sering mendapat kesukaran dalam merujuk instruksi atau perintah khalifah, karena surat-surat yang dikirim tidak bertanggal. Setelah bermusyawarah dengan para pembesar sahabat, Umar menerima gagasan Ali ibn Abi Thalib yang mengusulkan peristiwa hijrah sebagai awal penanggalan Islam. Hal itu lebih penting dari peristiwa-peristiwa lainnya, karena hijrah merupakan starting point kehidupan bernegara dan bermasyarakat.


Sebenarnya penanggalan hijriah tidak terlalu mengada-ada sebagai penanggalan Islam. Penanggalan hijriah menggunakan sistem perjalanan bulan (lunar system) yang sudah dikenal sejak lama di dunia karena kesederhanaannya. Berbeda dengan sistem perjalanan matahari (solar system) yang membutuhkan ahli khusus untuk menentukan bilangan hari dan bulan dalam setahun, sistem perjalanan bulan dapat diamati oleh setiap orang dengan mudah: dari bulan sabit pada awal bulan sampai ke bulan sabit pada akhir bulan. Nabi sendiri juga mengisyaratkan bahwa hanya ada dua kemungkinan jumlah hari dalam sebulan: 30 atau 29 hari. Langit Arabia yang cerah sepanjang tahun menjadikan pekerjaan mengamati bulan sepanjang malam sebagai sesuatu yang mengasyikkan dan sudah menjadi kebiasaan.


Allah telah menjadikan bulan, matahari, tata surya, dan seluruh benda-benda angkasa agar dapat didayagunakan oleh manusia (Q.S. Ibrahim: 32-33). Berdasarkan perjalanan benda-benda angkasa itu, Allah menciptakan siang dan malam sehingga tercipta sistem penanggalan. Allah telah menentukan dalam kitab-Nya sejak Ia menciptakan langit dan bumi bahwa ada 12 bulan dalam setahun, dan empat di antaranya adalah bulan suci (Q.S. At-Taubah: 36).


Jadi, perhitungan hari, bulan, dan tahun itu bukan sekadar bernilai keagamaan, tetapi juga berdasarkan perhitungan riil dari hukum-hukum Allah yang tidak berubah di jagat raya ini. Itulah yang disebut fitrah (kreasi) Allah yang menciptakan sistem kehidupan beragama dan sistem kehidupan di alam ini berdasarkan kaidah-kaidah pasti yang tak berubah. Itulah addinul-qayyim (agama atau aturan hidup yang benar), tetapi banyak orang yang tidak mengetahuinya (Q.S. Ar-Rum: 30).


Karena itu, agama yang benar ini mendidik masyarakat untuk berpikir logik. Perjalanan benda-benda angkasa seperti bulan dan matahari adalah perjalanan rutin berdasarkan hukum tidak berubah yang ditetapkan Allah. Tujuannya adalah agar manusia dapat mengetahui bilangan tahun, bulan, dan hari dalam rangka memudahkan kehidupannya.


Agama yang benar ini mengingatkan bahwa perjalanan bulan, matahari, dan benda-benda angkasa tidak ada hubungannya dengan nasib manusia. Semuanya adalah ciptaan yang nasibnya telah ditentukan oleh penciptanya, yaitu Allah Swt. “Jangan bersujud kepada matahari atau bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang telah menciptakannya, bila kamu benar-benar menyembah-Nya.” (Q.S. Fushshilat: 37). Karena itu, horoskop, astrologi, dan berbagai kiat kaum paranormal yang memprediksi kehidupan manusia berdasarkan perjalanan benda-benda angkasa adalah pekerjaan sia-sia yang tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan agama yang benar.

Penulis: Syu’bah Asa (1943-2011), pernah menjadi wakil pemimpin redaksi dan asisten pemimpin umum majalah Panji Masyarakat, dan pemimpin redaksi majalah Panjimas. Sebelumnya bekerja di majalah Tempo dan Editor. Sastrawan yang pernah menjadi anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok ini sempat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Sumber: Panji Masyarakat, 19 Mei 1997.

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading