Ads
Ramadan

Catatan Ramadan Wina Armada Sukardi (1): Berbagi Kaveling di Rumah Allah

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Rumah kediaman saya terletak cuma “selangkahan” dari mesjid (Al-Husnah). Sebagai umat muslim, hampir setiap hari saya salat subuh di mesjid tersebut. Tentu ini saya lakukan lantaran semata-mata dan yang utama karena perintah Allah. Namun hal ini juga karena yang memungkinkan saya lakukan di mesjid pada subuh hari. Pertama, pada subuh saya belum punya kegiatan apa pun. Kalau pun ada kegiatan, seperti lari pagi atau ada pertemuan di pagi hari, dapat dilakukan setelah salat subuh.


Berbeda dengan salat-salat lain. Terus terang saja untuk salat lainnya, saya jarang salat di mesjid tersebut. Bukannya tak mau. Maklumlah pada waktu salat selain subuh, saya mungkin lebih banyak berada di luar rumah, dan pulang sudah larut malam. Dengan begitu, hampir tak ada waktu salat lain di mesjid dekat rumah. Maka saya jarang sekali salat di sana selain salat subuh. Paling sekali-kali salat Jumat, dan tentu salat Idul Fitri, salat Idul Adha dan jika ada acara khusus.


Hampir setiap hari salat subuh di mesjid yang sama, tanpa kita sadari membuat kita memiliki beberapa perilaku yang bagaikan terpola ketika melakukan salat subuh. Salah satunya dalam memilih “lokasi” tempat kita menunggu salat, dan pas waktu salat. Tentu “lokasi” itu yang menurut perasaan kita nyaman. Lantaran bertahun-tahun, bahkan belasan tahun, kita menempati posisi yang sama, sering kali, tanpa kita sadari, lantas kita merasa tempat salat subuh tersebut menjadi semacam “kaveling” milik kita. Begitu kita masuk mesjid, langkah kita otomatis mencari “kaveling” tersebut.


Saya pribadi biasanya jika datang ke mesjid, untuk menunggu salat subuh dan melakukan salat dua rakat, mengambil posisi di saf ketiga agak ke kanan dari arah masuk mesjid, di belakang imam dan depan mimbar.


Lantas ketika salat segera bakal mulai, saya pindah ke saf pertama, dua sisi kanan di belakang imam. Waktu imam selesai melafalkan, “Waladh dhaaliin….” Saya pun menyambut dengan mengeraskan suara menyebut “Aamiiiiin…”


Berbelas tahun terus menerus begitu, siapa pun imam dan muhazinnya, membuat saya merasa nyaman menempati “kaveling” tersebut secara permanen.


Lebih dari itu, secara merambat saya juga merasa itulah “kaveling” milik saya di mesjid ini. Di rumah Allah ini. Mungkin banyak, atau beberapa jamaah subuh lainnya merasa seperti saya.


Maka ketika ada jemaah lain, menempati “kaveling” kita, baik yang sebelum salat subuh maupun menjelang salat subuh, secara tidak sadar dalam hati mulai terganggu. Mulai ada perasaan gak enak. “Lho tempat gue kok loe duduki?” Kira-kira begitulah. Muncul semacam perasan tidak suka. Kita tak mau “kaveling” kita diduduki orang lain!


“Kaveling” itu harus dalam penguasaan kita. Jamaah lain silakan cari tempat yang berbeda. Toh, masih banyak tempat lainnya. Kita menjadi tak rela tempat kita “take over” orang lain.


Di sinilah mulai bersemayam bahaya dalam diri kita. Menempati posisi yang sama saat salat subuh si mesjid selama belasan tahun seakan memberikan hak kepada diri pribadi untuk mengklaim tempat di mesjid itu menjadi “kavling” milik kita pribadi. Seakan tempat itu privillage kita. Perasaan seperi itu pula yang sempat tanpa saya sadari juga hadir dalam diri saya.


Beruntung itu tak berlangsung lama, dan saya dapat tersadar atas kekhilafan itu. Mesjid milik Allah. Rumah Allah. Bukan mesjid pribadi kita. Kalau pun ada mesjid yang kita bangun secara pribadi, maka ketika telah dibuka untuk umum, mesjid telah berubah menjadi mesjid publik. Mesjid jamik. Menjadi rumah Allah. Semua orang berhak datang ke mesjid. Semua orang, memiliki hak untuk salat di mesjid itu. Semua orang punya hak sama untuk memilih dan menentukan mereka mau duduk atau salat di bagian mana pun sepanjang datang lebih dahulu dan tempat itu masih kosong.


Sebaliknya Kita tidak punya hak untuk mengklaim ada bagian-bagian tertentu dari tempat salat di mesjid hanya diperuntukkan buat kita, dan orang lain sepatutnya menghormati hak kita. Tak patut kita menuntut jemaah lain agar tidak melanggar “hak kaveling” kita. Semua orang di hadapan Allah sama. Semua diperbolehkan memilih menempatkan diri, dan salat di bagian mana pun dia mau dan memungkinkan. Kita sama sekali tidak punya hak untuk mengaturnya. Tentu ada pengecualian, jika ada acara-acara tertentu, bolehlah ditata susunan tempat duduk, tapi bukan yang permanen.

Wina Armada Sukardi

Wina Armada Sukardi


Saya teringat kepada sebuah mesjid yang berada masih di seputar tempat tinggal kami. Beberapa orang bercerita, mereka sempat salat di mesjid itu. Namun apa yang terjadi? Para jemaah tetap di mesjid tersebut memperlihatkan wajah-wajah tidak bersahabat ketika ada orang lain atau “orang baru “ salat di situ. Wajah-wajah yang jelas menunjukkan mereka tak berkenan ada orang lain salat “di mesjid mereka,” selain kalangan mereka sendiri.


Tak hanya itu, setelah “orang baru” atau “tamu” selesai salat di sana, tempat yang dipakai salat tersebut langsung dibersihkan dan dipel sebanyak tujuh kali. Tamu yang salat di situ pun masih melihat tempat bekasnya salat harus dipel sampai tujuh kali.


Seakan-akan yang barusan salat di situ najis dan haram, sehingga tidak boleh salat di sana. Kalau pun sudah salat, tempatnya harus dibersihkan sebersih-sebersihnya, antara lain harus dipel sampai tujuh kali.


Rupanya pengurus dan jemaah mesjid itu memang punya faham, mesjid itu khusus untuk kaum pengikutnya saja. Setiap sisi tempat salat di sana memang sudah “dikaveling” buat anggota jamaah sendiri. Dari tempat itulah mereka beranggapan jalan menuju surga. Makanya, orang lain tak boleh salat di mesjid itu. Selain jemaah mereka sendiri, tak boleh ada yang menduduki “kaveling” yang sudah terbentuk untuk para jemaahnya.


Alhamdullilah, saya cepat sadar. Perasaan bahwa tempat yang biasa kita duduki di mesjid, bukanlah ekslusif milik kita pribadii. Bukan kaveling privat. Tempat itu milik Allah. Tempat itu bebas dipakai oleh siapa saja.


Kini saya masih sering tetap salat di bagian yang menjadi favorit saya. Bedanya, jika ada orang lain yang kemudian lebih dahulu menempati lokasi di bagian itu, siapapun dia orangnya, saya rela. Saya Ikhlas seikhlas-ikhlasnya. Semua “kaveling” di mesjid kepunyaan Allah. Bukan punya kita, siapa pun kita. Di rumah Allah kita harus tulus berbagi “kaveling” dengan sesama jemaah lain, setiap saat. Siapa datang lebih dahulu, jemaah itu punya hak memilih lebih dahulu di mana pun dia mau duduk dan salat, selama masih kosong, termasuk di tempat favorit kita. (Bersambung)


Penulis: Wina Armada Sukardi, wartawan dan advokat senior, juga anggota Dewan Pakar Pengurus Pusat Muhammadiyah. Tulisan ini merupakan reportase pribadi yang tidak mewakili organisasi.

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading