Ads
Cakrawala

Pribadi Muhammad (2): Sebagai Utusan Allah

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Akhirnya, pada usia 40 tahun enam bulan beliau mendapat wahyu pertama, yaitu surah Al-‘Alaq (Iqra). Sekarang kita bisa melihat dua hal dari pribadi Muhammad, yang pertama aspek manusia biasa dan yang kedua dia sebagai rasul Allah.

Sebagai manusia biasa, Muhammad seorang yang penuh kasih, membutuhkan makan dan minum, bekerja keras agar dapat memenuhi kebutuhan hidup di dunia. Tetapi setelah menjadi rasul, Nabi harus dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan umatnya yang bersifat ruhani (spiritual).

Nabi pernah menyampaikan pidato kepada pengikutnya: “Barangsiapa yang pernah disakiti bagian punggungnya: inilah punggungku untuk dituntut balas”. Maksudnya, beliau mengatakan bahwa “selama saya masih memimpin kalian semua, sekiranya kalian tersinggung atau pernah punggung kalian saya sakiti, sekarang ini kalian bisa menuntut balas”. Waktu itu ada seorang sahabat yang menunjukkan jari tangan dan berkata: “Wahai Rasulullah, dulu dalam satu pekan peperangan, unta saya lebih dahulu dari unta Rasulullah tapi kemudian Rasul mencambuk untanya dan mendahului.” Hanya itu.

Permasalahan kita sekarang, apakah yang harus kita ikuti sebelum Muhammad menjadi nabi atau setelahnya. Ahlul hadits mengatakan, berdasarkan riwayat di atas, sebelum menjadi nabi pun beliau sudah menjadi contoh panutan kita. Dan apa saja yang diperbuat Nabi setelah menjadi nabi juga harus menjadi panutan kita. Misalnya, ada ungkapan bahwa kebanyakan umat muslim menerima tanpa syarat semua yang tertulis dalam kumpulan-kumpulan klasikal. Mereka lebih suka mengikuti semboyan khalifah pertama (Abu Bakar Siddiq) yang mengatakan, “Aku tidak pernah membuang apa pun dari semua hal yang telah dilakukan Rasul, sebab aku khawatir jika aku membuangnya aku akan tersesat.”

Itu sebuah penyeruan yang khidmat dan disertai kasih sayang kepada Nabi. Mereka merupakan pengikut ajaran Muhammad yang sejati, dan dalam hal-hal yang dianggap remeh pun mereka tetap bergantung pada hadis. Bagaimana Nabi makan dan minum, bagaimana cara Nabi berjalan, itu semua menjadi panutan dalam kehidupan kita. Nanti kita akan kita lihat pula kenapa ada orang yang pakai sorban, pakai jubah besar, pakai jilbab dan sebagainya, semua ini mengikuti tradisi Nabi Muhammad SAW. Imam Al-GhaZali dalam Ihya ‘Ulumiddin menyebut bahwa kunci kebahagiaan adalah mengikuti sunNah dan meniru segala yang diperbuat Nabi, dalam setiap gerakan dan masa istirahat.

Syafaat dan Bid’ah

Ibadah kepada Allah haruslah dibarengi pembekalan diri yang mantap dalam hal peneladanan kepada Rasul SAW. Karena ketaatan kepada Nabi berarti pula ketaatan kepada Allah SWT, seperti disebutkan dalam sebuah hadis “Barangsiapa taat kepadaku sesungguhnya ia taat kepada Allah”. Dengan cinta kepada Rasul kita akan mendapat fasilitas-fasilitas yang luar biasa, seperti syafaat (pertolongan) Nabi di akhir zaman. Tetapi syafaat tidak muncul dengan sendirinya: harus berawal  dari amalan-amalan baik kepada Allah SWT. Maka Nabi Muhammad harus kita ikuti sejauh ajaran yang beliau bawa kepada kita, jadi bukan harus semua tingkah laku beliau.

Sekarang ini muncul persoalan bid’ah, yang menurut sebagian ulama menyesatkan karena tidak ada contohnya dari Nabi, atau sesuatu yang mengada-ada dan tidak diajarkan agama, kita tambah dari apa-apa yang tidak Nabi katakan, dan seterusnya. Bid’ah itu terkait dengan ibadah ritual, misalnya puasa maupun salat. Dalam Al-Qur’an disebutkan “Dirikanlah salat,” dan bagaimana pelaksanaan salat itu sudah diperagakan Nabi. Karena itu persoalan ritual, kita tidak boleh mengada-ada, jadi misainya tidak boleh hanya eling saja dalam salat.

Memang dalam tasawuf, zikir itu dikatakan untuk mengingat Tuhan, dan setelah mengingat Tuhan buat apa zikir? Walau seorang sufi atau ulama mengatakan begitu, bahwa melakukan salat cukup dengan zikir, salat sudah ditentukan Nabi cara-caranya. Kenapa persoalan ritual ditentukan oleh Allah, karena hal itu berhubungan dengan hubungan kita dengan Allah. Salat itu ‘kan sudah ada kerangkanya. Kemudian dalam salat itu ada persoalan yang wajib serta yang sunah. Yang sunah kita boleh nambah.

Kalau kita lihat jamaah di Tanah Suci, ketika salat ada yang menaruh tangan di perut, ada yang di pinggang, bahkan hanya meluruskan kedua tangan. Sesungguhnya semua cara salat seperti itu telah diperagakan Nabi sebelumnya. Kenapa Nabi mempraktikkan beberapa cara tersebut? Karena hal itu bukan persoalan wajib. Apa maknanya kalau Nabi meletakan tangan di perut atau di pinggang, nanti dilihat oleh sahabat begitu dan harus begitu terus, sehingga dianggap wajib. Karena itu persoalan sunah diberi variasi.

Tapi walaupun variasi bermacam-macam, pernah tidak Nabi misalnya mengangkat satu tangan ketika takbiratul ihram? Apalagi mengganti tahiat dalam salat sebagai urutan terakhir? Jadi, persoalan bid’ah terkait dengan persoalan ritual, sedangkan para sufi dalam menerapkan ilmu tasawuf mereka bukannya berhubungan dengan persoalan bid’ah. Tasawuf itu hanya metode mendekati Tuhan (taqarrub).

Adapun syafaat yang dijelaskan di atas, salah satu tolok ukur kita dalam mencari pertolongan di akhirat nanti adalah dengan mengajarkan kecintaan kepada Rasul, agar kerinduan kita kepadanya menjelma menjadi tindakan kepatuhan kepada perintah-perintah dan larangannya dalam tingkah laku kita di dunia ini. Kecintaan itu harus diterjemahkan pada tataran sikap yang baik dan prilaku yang mulia, perbuatan kebajikan, tolong menolong sesama insan, dan inilah yang akan menolong kita di masa yang akan datang (hari kiamat), sampai kita kembali kepada-Nya dengan husnul khatimah, amin.

Bukankah Nabi sebagai uswatun hasanah bisa kita contoh dengan baik? Kebanyakan halhal yang bukan berasal dari Nabi justru menjadi ikutan. Padahal ajaran Islam sudah banyak menjelaskan bahwa ketaatan kepada Nabi berarti ketaatan kepada Allah, sedangkan ajaran itu bukan sesuatu yang begitu saja tapi memang kehendak Allah.

Semua yang dicontohkan Nabi sebelum menjadi nabi adalah contoh dari manusia sempurna. Apalagi setelah beliau menjadi rasul. Dalam berbagai hal dapat kita lihat bahwa setiap perilaku dan perbuatan Nabi dapat menjadi panutan semua manusia. Dan jika ibadah kita kepada Tuhan, semata-mata untuk mendapat rida-Nya, ini pula yang akan menolong nasib kita di akhir zaman.

Penulis: Prof. Dr. Zainun Kamal, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Sumber: Majalah Panjimas, 3-Oktober – 12 November 2002

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda