Setelah melewati proses yang berliku dan melelahkan, Kiai Haji Mas Mansur akhirnya bersedia menjadi hoofd bestuur alias ketua umum Pengurus Besar Muhammadiyah. Kongres Muhammadiyah ke-26 tahun 1937 di Yogyakarta memang berlangsung dramatis, karena diwarnai pertentangan antara kaum tua dan kaum muda. Angkatan muda rupanya kurang puas terhadap kebijakan Pengurus Besar yang waktu itu dikuasai tiga tokoh tua. Yaitu KH Hisyam, KH Mochtar dan KH Syuja, yang lebih fokus kepada urusan-urusan sekolah, dan dinilai melupakan bidang tablig atau penyiaran Islam. Kelompok muda tambah kecewa karena para peserta kongres lebih banyak memberikan suara kepada tiga tokoh itu. Namun, setelah bermusyawarah ketiga tokoh itu secara ikhlas mengundurkan diri.
Persoalan datang: Ki Bagus Hadikusumo menolak jadi ketua ketika diusulkan. Begitu pula dengan Kiai Hadjid. Lalu perhatian pun ditujukan kepada ketua Konsul Mhammadiyah Surabaya – Mas Mansur. Tokoh muda yang bergabung dengan persyarikatan tahun 1921 ini tentu saja menolak. Tapi, lagi-lagi setelah melalui dialog yang panjang, Mas Mansur akhirnya bersedia menerima jabatan yang tidak pernah dibayangkannya itu.
Begitulah, menjelang akhir 1937 Mas Mansur pun memboyong keluarganya dari Surabaya ke Yogyakarta, tempat kedudukan Pengurus Besar Muhammadiyah. Karena sebagai hoofd bestuur tak memperoleh gaji, agar bisa menghidupi keluarganya Mas Mansur diangkat menjadi guru dan direktur Madrasah Mu’allimin Muhammdiyah, sekaligus bertindak selaku pimpinan kompleks asrama Mu’allimin (baca: https://panjimasyarakat.com/2022/11/18/langkah-baru-pesantren-tertua-muhammadiyah/ ).
Bagi Mas Mansur, dunia pendidikan bukan hal yang asing karena sebelum jadi orang nomor satu di Muhammadiyah dia sudah bergelut di dunia ini. Sepulang dari studinya di Timur Tengah (Mekah dan Kairo), Mas Mansur membentuk kelompok diskusi Taswirul Afkar pada tahun 1916 di Surabaya bersama beberapa kiai muda, seperti K.H. Abdul Wahab Hasbullah dan K.H. Ahmad Dahlan Ahyad. Kelompok diskusi ini bertujuan “….ingin memajukan umat Islam, terutama kaum pemudanya dengan memancing mereka untuk menambah pengetahuan melalui perdebatan-perdebatan…” Pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan di bidang sosial keagamaan.
Dari serangkaian diskusi ini timbullah gagasan untuk mendirikan sebuah madrasah yang bertujuan menanamkan serta membangkitkan semangat patriotisme dan nasionalisme anak didik yang dijiwai oleh nilai-nilai Islam. Oleh karena itu madrasah itu diberi nama Nahdhatul Wathan, Kebangkitan Tanah Air. Dalam susunan pengurus madrasah yang berlokasi di Kawatan Gang IV Surabaya itu Mas Mansur terpilih sebagai kepala sekolahnya. Ia dibantu oleh K.H. Mas Alwi saudara sepupunya, dan K.H. Ridwan. Sedangkan K.H. Abdul Wahab Hasbullah ditunjuk sebagai pimpinan Dewan Guru dan K.H. Abdul Kahar sebagai direkturnya.
Bekas Kandang Kambing
Pada 1920 bersama Fakih Hasyim dan Haji Ali yang sepaham, Mas Mansur membentuk Ihyaus Sunnah. Kelompok diskusi agama dan pendidikan ini rupanya menarik simpati Pemimpin Sarekat Islam Tjokroaminoto. Kemudian Mas Mansur dan Tjokro mendirikan Ta’mirul Ghofilin, sebuah forum dakwah yang dikordinir oleh Tjokroaminoto. Melalui forum ini Tokroaminoto kerap kali mengundang K.H Ahmad Dahlan untuk memberikan pengajian di rumahnya, Peneleh Gang IV, Surabaya. Tidak sedikit tokoh pergerakan yang menghadiri forum pengajian itu.
Setahun kemudian, tepatnya 17 April 1921, Ihyaus Sunnah mengadakan pertemuan yang dihadiri oleh K.H. Ahmad Dahlan. Dalam pertemuan itu diputuskan bahwa Ihyaus Sunnah akan menjadi cabang Muhammdiyah. Dan beberapa hari kemudian, surat kabar Oetoesan Hindia terbitan 27 April 1921 melaporkan Muhammdiyah cabang Surabaya berdiri. Dalam kesempatan itu Mas Mansur menjadi ketua umumnya. Ini berarti Muhammadiyah Surabaya menjadi cabang kelima sejak Muhammdiyah berdiri pada 1912.
Pada 1922 Mas Mansur mengundurkan diri dari Madrasah Nahdhatul Wathan. Pengunduran ini karena ia berbeda pendapat dengan Wahab Hasbullah mengenai metode pengajaran dan persoalan furu’iyah (masalah-masalah ranting dalam soal agama). Ia kemudian berniat mendirikan sebuah madrasah baru. Tetapi tak mempuyai tanah untuk mendirikan bangunannya. Ia lalu melirik kandang kambing yang terletak di sebelah timur pondok ayahnya. Maka ia pun menemui sang ayahnya untuk menyampaikan niatnya itu. Dan sang ayah merestui.
Di atas tanah bekas kandang kambing yang berbentuk tegak lurus itu dibangunlah sebuah bangunan yang terdiri dari beberapa ruang kelas, ruang kantor, dan kamar mandi. Pada Sabtu 3 Muharram 1340 H atau 26 Agustus 1922 diresmikanlah madrasah yang diberi nama Hizbul Wathan, meminjam nama organisasi kepanduan Muhammadiyah yang didirikan pada tahun 1918. Tapi tak lama nama itu digantinya dengan Mufidah. Madrasah ini bertujuan “membentuk manusia muslim berakhlak mulia dan percaya pada diri sendiri.”
Merujuk kepada sekolah-sekolah atau madrasah yang ia dirikan dan atau yang ia kelola, bagi Mas Mansur, pendidikan bukan sekadar untuk menanamkan pengetahuan kepada anak didik, tetapi juga untuk menanamkan kesadaran. Dalam konteks menghadapi kekuasaan kolonialisme, kesadaran itu mweujud dalam sikap patriotisme dan nasionalisme, atau kesediaan untuk berkurban dalam berjuang serta cinta Tanah Air. Yang menjadi acuannya tentu saja nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama. Karena itu, bagi Mas Mansur, penting bagi anak didik untuk memiliki budi pekerti luhur dan rasa percaya diri. Bukankah akhlak yang mulia dan sikap tidak gentar dan cemas, sesungguhnya merupakan manifestasi keberimanan seseorang?
Manusia Pembelajar
Mula-mula Mas Mansur belajar agama kepada ayahnya. KH Mas Ahmad Marzuki. Tahun 1906, dalam usia 10 tahun, dikirim sang ayah ke Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura. Pesantren ini dipimpin oleh Kiai Haji Kholil, seorang kiai yang mansyur di seluruh Jawa dan Madura pada akhir abad ke-19 dan pada awal abad ke-20. Kiai Kholil Bangkalan dikenal ahli Nahwu (tata bahasa Arab) dan sastra Arab, fikih serta tasawuf.
Pada 1908, Mas Mansur pergi belajar ke Mekkah dalam usia 10 tahun. Ia kemudian memutuskan untuk melanjutkan studinya ke Universitas Al-Azar di Kairo, Mesir. Niatnya untuk pergi belajar ke Kairo itu segera dinyatakannya dalam sepucuk surat yang dilayangkan kepada ayahnya di Surabaya. Tetapi rupanya sang ayah tidak memberikan izin. Sang AYAH beranggapan bahwa Kairo bukanlah tempat yang baik untuk belajar karena kota itu merupakan tempat pelesiran dan maksiat belaka. Tekad Mas Mansur sudah bulat. Ia ternyata tidak bisa dihalangi lagi. Kendatipun tanpa persetujuan sang ayah. Pada tahun itu ia berangkat ke Kairo dengan menggunakan Kapal laut. Padahal Kiai Haji Mas Marzuki konon sudah mengancam kalau saja dia masih nekat untuk berangkat maka kiriman uangnya akan segera dihentikan.
Selain membaca buku-buku agama dan sastra Arab, ia melahap pula buku-buku ilmu pengetahuan umum, termasuk karya-karya filsafat dan sastra Barat yang telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Arab saat itu. Dengan demikian Mas Mansur tidak hanya berkenalan dengan pemikiran dari para pemikir Arab dan muslim, tetapi ia pun berkenalan dengan berbagai aliran pemikiran dan paham dari Barat. Beragamnya bacaan inilah yang kelak membentuk watak serta memperluas cakrawala pemikiran dan pandangannya. Kegemarannya mambaca itu tampak dari buku-buku yang dibawanya pulang ke Surabaya, sebanyak dua lemari besar.
Perhatian dan minat Mas Mansur terhadap gerakan kebangsaan dan gerakan pembaruan pemikiran agama tidak mustahil timbul selama ia berada di Timur Tengah. Para pelajar di Mekah atau Kairo senantiasa mengikuti situasi di Tanah Air melalui berita-berita yang dibawa oleh jamaah haji atau para pelajar yang baru tiba di sana. Setelah itu mereka mendiskusikannya serta berusaha mencari pola dan bentuk perjuangan baik dalam rangka membangkitkan kesadaran beragama maupun berbangsa.
Sementara di Tanah Air, setelah terbentuknya Budi Utomo pada 1908, pada tahun-tahun yang hampir bersamaan (antara 1909-1912), berdiri tiga organisasi moderen, yaitu Syarikat Dagang Islamiyah (yang kemudian menjadi SI), Indische Partij, dan Muhammadiyah. Pada 1913 di Mekah dibuka cabang SI yang diketuai K.H Asnawi Kudus dengan sekretaris K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dari ketiga organisasi itu Mas Mansur tampaknya lebih tertarik dengan gerakan yang bersifat sosial-keagamaan, yakni Muhammadiyah, yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan. Sebelumnya mungkin ia telah memperoleh kabar bahwa seorang tokoh pembaru yang bernama Ahmad Dahlan mempunyai pribadi yang menarik, dan mendirikan Muhammadiyah di samping aktif di Budi Utomo.
Sebab itulah, setibanya di Batavia pada tahun 1915, tempat yang pertama kali dituju Mas Mansur bukannya Surabaya, tetapi Yogyakarta. Ia ingin sekali berkenalan dengan Kiai Ahmad Dahlan. Dan begitu berkenalan ia langsung saja terkesan oleh pribadi sang kiai yang ternyata sahabat baik ayahnya, seperti dikatakannya sendiri: “Waktu itu saya datang kepada beliau dan memperkenalkan diri. Baru saja berkenalan, hati tertarik, baru saja keluar kata lemah lembut dari hati yang ikhlas, hati pun tunduk…ketika itu beliau terangkan bahwa beliau sangat kenal dan bersahabat dengan ayah saya. Katanya kalau beliau ke Surabaya beliau tinggal di rumah Kiai Habib, tempat pertemuan kiai-kiai. Di sanalah beliau kerapkali bercakap-cakap lama dengan ayah saya memperbincangkan soal-soal agama. Dan apabila ayah saya datang ke Jogja beliau tinggal di rumah Kiai Nur, tempat pertemuan inyik-inyik itu pula.”
Dua puluh dua tahun kemudian, atau 14 tahun setelah KH Ahmad Dahlan, sebagaimana telah disebutkan, K.H. Mas Mansur memimpin Muhammadiyah menggantikan KH Hisyam, seraya menjadi guru dan direktur Madrasah Mu’allimin Yogyakarta, sekolah guru dan kawah candradimuka bagi calon-calon pemimpin persyarikatan.
Zaman Berganti
Sayang perubahan zaman telah ikut membawa dan menempatkan Mas Mansur dalam posisi untuk tidak meneruskan khidmatnya di dunia pendidikan, juga di persyarikatan pada akhirnya. Sebab pada November 1942 ia dan keluarganya harus berangkat ke Jakarta, setelah terlebih dulu transit selama sebulan di Surabaya, untuk memenuhi panggilan Gunseikan, pemerintah pendudukan Jepang yang telah menguasai Indonesia. Di Jakarta Mas Mansur menjadi tiga serangkai bersama Soekarno dan Hatta dalam Poesat Tenaga Rakyat. Sebenarnya ketua umum PB Muhammadiyah itu sudah dipanggil Gunseikan pada Agustus 1942. Menurut Harry J. Benda (Bulan Sabit dan Matahari Terbit), pemanggilan itu kemungkinan atas saran Soekarno. Jepang memang punya kepentingan untuk menjalin kontak dengan para pemimpin Indonesia yang berpengaruh yang mampu memobilisasi tenaga rakyat dan menghimpun harta benda mereka bagi kepentingan perang. Dan tentu saja pendekatan itu, disertai dengan iming-iming kemerdekaan untuk Indonesia.
Semula Mas Mansur enggan, karena dia ingin mengonsentrasikan pikirannya di pada persyarikatan yang dipimpinnya itu. Tapi akhirnya ia menerima tawaran kerja sama itu, dan ia pun mau tak mau harus menyerahkan kepemimpinannya kepada Ki Bagus Hadikusumo. Sebuah keputusan yang di kemudian hari ternyata sangat membebani dan mengganggu pikirannya. Inilah yang kemudian membuatnya mengalami gangguan kejiwaan. Kata A.R. Baswedan, pendiri Partai Arab Indonesia (PAI) yang juga kawan dekat Mas Mansur, dibandingkan Soekarno dan Hatta, Mas Mansur-lah yang paling sulit menentukan sikap terhadap berbagai persoalan yang muncul pada zaman Jepang, karena posisinya sebagai tokoh agama.
Mas Mansur yang lahir pada 23 Juni 1896 wafat di kota kelahirannya Surabaya pada 25April 1946. Dalam usia relatif muda, 49 tahun. Itu berarti ketika menjadi hoofd bestuur PB Muhammadiyah dia berusia 39 tahun.