Ads
Bintang Zaman

Hasan Al-Bashri (3): Jangan Gunakan  Politik untuk Bohongi dan Menindas Rakyat

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Ketika pemberontakan Ibnul Asy’asy meletus pada (81 H/711 M), banyak ulama yang mengajaknya mendukung Ibnul Asy’asy guna menghancurkan kezaliman dan menegakkan keadilan. Ia menolak. Lalu mereka menanyakan pendapatnya tentang Hajjaj ibn Yusuf Ats-Tsa-qafi, panglima angkatan bersenjata yang dinilai zalim. Jawabnya: “Menurut hemat saya, sebaiknya kita tidak memerangi dia. Jika ia pantas mendapat hukuman Tuhan, apakah kita dapat menghalanginya dengan sebilah pedang? Jika tindakannya terasa sangat menekan, hadapilah dengan kesabaran, hingga Allah menentukan hukuman bagi durjana. Dan Allah sebaik-baik pemberi putusan.” Sungguhpun demikian, ia pernah memperingatkan Hajjaj ketika sang panglima merampas tanah rakyat dan membangun rumah mewah di kawasan Wasit, Iran Utara.

Hasan Al-Bashri tidak menyukai cara-cara “inkonstitusional” (istilah sekarang) dalam upaya mengubah tatanan sosial politik yang busuk, meski ia tidak mendukung pemerintah. Gubernur Basrah, Umar ibn Hubairah, mengundang sejumlah ulama guna mengajak mereka menyatakan kebulatan tekad mendukung Khalifah Yazid ibn Abdul Malik. Ulama-ulama besar yang lain, seperti Ibn Sirin dan Asy-Sya’bi, menanggapi ajakan itu dengan gaya diplomasi. Lalu Gubernur berpaling kepada Hasan, dan menanyakan pendapatnya. Tetapi ulama besar ini malah berceramah:

“Wahai Ibn Hubairah, takutlah Anda kepada Allah dalam urusan Yazid; dan jangan takut kepada Yazid dengan membelakangi Allah. Allah melarang Anda menaati Yazid penguasa zalim yang tidak akan dapat menghalangi Anda dari murka Allah. Waspadalah, suatu ketika Allah akan mengirim malaikat maut untuk memindahkan Anda dari istana yang luas dan sejuk ini ke dalam kubur yang sempit dan pengap. Pada saat itu tidak ada yang dapat menyelamatkan Anda selain amal perbuatan Anda sendiri. Wahai Ibn Hubairah, janganlah mendurhakai Allah, karena Allah menitipkan kekuasaan ini kepada Anda agar digunakan untuk mengharumkan agama Allah dan membela hak-hak rakyat. Janganlah menggunakan kendaraan politik untuk menindas dan membohongi rakyat serta mendurhakai Allah. Tidak boleh ada ketaatan kepada makhluk untuk durhaka kepada Khalik.”

Hebat: ia tidak ditangkap. Barangkali karena ia juga orator yang mengesankan, yang tandingannya hanya bisa dicari pada diri, tak lain, Hajjaj ibn Yusuf.

Hidup Zuhud

Oposisi moral yang dikembangkan Hasan Al-Bashri berpangkal pada sikap zuhd atau asketisme. Zuhud yang dihayati para sahabat Nabi tidak identik dengan kemiskinan. Utsman ibn Affan dan Abdur Rahman ibn Auf, r.a., adalah para hartawan, tetapi keduanya bersikap asketis dari kekayaan. Utsman pernah menanggung seluruh biaya pasukan Nabi, pada musim paceklik. Ketika seorang Yahudi melarang kaum muslimin menimba air dari sumur miliknya, ia membeli sumur itu dengan mahal dan menyerahkannya kepada umum.

Pada masa Hasan Al-Bashri (wafat 110 H/728 M) belum dikenal istilah-istilah tasawuf ataupun sufi yang baru terdengar sekitar tahun 150 H/768 M, Abu Hasyim Al-Kufi adalah yang pertama disebut sufi meski yang paling pantas sebenarnya gurunya, yang tak lain Hasan Al-Bashri. Hasan anti kekerasan. Ia memilih pena dan tinta daripada darah dan pedang dalam memperjuangkan kebenaran. Beberapa pucuk surat dilayangkannya kepada para pembesar negara selama hidupnya. Di antara mereka, hanya Umar ibn Abdil Aziz (berkuasa 99-101 H/ 717-719 M) yang menanggapinya secara serius.

Umar sendiri pribadi yang adil dan saleh. Ia berjalan dalam iring-iringan sehabis penobatannya di Masjid Agung, dan tiba-tiba keluar dari rombongan untuk menemui dan mencium gurunya yang dilihatnya turut mengelukannya di pinggir jalan. Ia mewariskan sesuatu pada khutbah Jumat, yang umumnya tetap dipakai sampai sekarang: pembacaan ayat “Allah memerintahkan menegakkan keadilan dan budi, bermurah hati kepada karib kerabat, dan melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Ia mewejang kamu agar kamu mengingat-ingat (QS 16: 90). Ayat itu disuruh ucapkan sebagai pengganti doa kutukan kepada kaum Ali r.a. yang waktu itu dibacakan pada khutbah Jumat.

Keadilan khalifah itu menyebabkan para orientalis menyebutnya sebagai Umar II (Umar I adalah ibn Al-Khattab). Dan, tidak bisa dilupakan, ia orang pertama yang memerintahkan penggalian hadis-hadis Nabi di seluruh wilayah, mengingat makin sedikitnya para pendahulu yang masih hidup. Antara lain dari cucu Asma, kakak Aisyah r.a. dan ibu Abdullah ibn Zubair sang “pemberontak”. Umar ibn Abdil Aziz menghadapi Hasan Al-Bashri dengan takzim.

Karya-karya Hasan Al-Bashri

Simaklah kitab-kitab kuning, dan Anda akan mendapati nama Hasan Al-Bashri dikutip di banyak tempat. Menurut catatan Fuad Sizkin, penulis buku Tarikhut Turatsil ‘Arabi, karya ilmiah Hasan al-Bashri sekitar. 12 judul:

1) Tafsirul Qur’an. Karyanya ini banyak dikutip ‘Amr ibn Ubaid, pemuka mazhab Mu’tazilah, dan sampai kepada kita secara berserakan dalam berbagai kitab tafsir;

2) AlQira’at. Karya ini tidak bisa kita dapati secara utuh, tetapi yang mudah melalui It-haf Fudhala’il Basyar (Khazanah Orang-orang Mulia) karya Ahmad ibn Muhammad Ad-Dimyathi (wafat 1117 H/1705 M);

3) Risalah fil-Qadr, yang ditulis untuk membantah pandangan Khalifah Abdul Malik ibn Marwan tentang persolan takdir;

4) Risalah fi Fadhli Makkah Al-Mukarramah (tentang keutamaan Mekkah);

5) Arba’ wa Khamsuna Faridhah (Lima Puluh Empat Kewajiban Agama);

6) Risalah fit-Takalif (tentang perintah-perintah agama);

7) Syuruthil Imamah (Syarat-syarat Kepala Negara);

8) Washiyatun Nabi li Abi Hurairah (Wasiat Nabi ke-pada Abu Hurairah);

9) Al-Istighfaratul Munqidzah minan-Nar (Berbagai Is-tighfar yang Menyelamatkan dari Neraka);

10) Al-Asmaul Idrisiyah. (risalah tentang tasawuf);

11) Surat-surat yang ditulis untuk Khalifah Umar ibn Abdul Aziz; dan

12) Kumpulan pidato, sebagaimana disusun Al-Ja-hizh dalam Kitabul Bayan wat-Tabyin.

Penghulu Gerakan Keagamaan

Hasan Al-Bashri meninggalkan anak didik yang banyak dalam berbagai disiplin ilmu. Di bidang tasawuf tercatat antara lain: Abu Hasyim Al-Kufi, Abu Ayub As-Sakhtiani, Farqad As-Subkhi, Malik ibn Dinar, Abdul Wahid ibn Zaid, dan Muhammad ibn Wasi’.

Tapi artinya yang terpenting terutama bukan pada tasawuf, kecuali kalau itu sekadar kata lain untuk kesalehan. Kenyataan bahwa baik Ahlus Sunnah maupun Mu’tazilah menganggapnya sebagai “orang kita”, menunjukkan kebesaran tokoh ini terutama dari jurusan  Ilmu Kalam. Dalam Hadis, juga, jika disebut nama Al-Hasan, itu berarti Al-Bashri kecuali sedikit, yakni Al-Hasan ibn Ali, r.a. Bahkan, seperti ditulis Gibb dan Kramers, hampir semua gerakan keagamaan dalam Islam bisa dipulangkan kembali ke tokoh ini.

Tidak mengherankan bila ketika ia wafat dengan penuh kehormatan, pada suatu malam Jumat di tahun 110 H/728 M, di masa pemerintahan Hisyam ibn Abdil Malik, seluruh penduduk kota dari pagi hingga sore antre untuk bisa menshalati jenazahnya di Masjid Agung Basrah yang sesak.

Penulis: Prof. Dr. Asep Usman Ismail, Guru Besar Tasawuf UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. (Catatan Redaksi: Asep menulis artikel ini  sewaktu menjadi mahasiswa Program Pascasarjana lAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta). Sumber:  Panji Masyarakat,  23 Juni 1997.

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading