“Maka, ya, Tuhan,” kata Nabi Daud dalam satu doanya, “tunjukkanlah nikmat-Mu yang paling sepele kepadaku.”
“Hai Daud, bernafaslah,” perintah Allah.
Daud pun menarik nafas.
Allah lalu berfirman, “Siapa yang (mau) menghitung nikmat ini pada malam dan siang hari?”
Beberapa generasi sebelumnya, berserulah Nabi Musa a.s. kepada Allah: “Bagaimana saya bersyukur kepada-Mu sementara nikmat-Mu yang paling kecil sekalipun, yang Kauberikan kepadaku, tidak bisa disetarai oleh seluruh amal saya?” tanyanya.
“Hai Musa,” Allah lalu menurunkan wahyu-Nya, “(dengan kata-katamu itu) sekarang kamu telah bersyukur kepada-Ku.”
Tentang Nabi Muhammad SAW, istri beliau Aisyah r.a. punya cerita. “Suatu malam Rasulullah datang kepadaku,” kenangnya sambil menangis. “Lalu kami sama-sama masuk ke dalam selimut sampai kulit saya dan kulitnya bersentuhan. Lalu beliau berkata, ‘Izinkan saya beribadah kepada Tuhanku.’ Saya berkata, `Saya sebenarnya senang berdekatan dengan Bapak, tapi saya bisa mengusik nafsu Bapak,’ Lantas saya izinkan beliau untuk beribadah. Beliau bangun dan pergi ke tempat air, lantas berwudhu. Tampak beliau menuangkan air (wudu) dengan sangat hematnya. Rampung, beliau salat, dan air matanya mengucur hingga membasahi dadanya. Kemudian beliau ruku, dan menangis. Beliau sujud, dan menangis. Beliau mengangkat kepala, dan menangis. Begitulah, beliau tak henti-hentinya menangis hingga Bilal mengumandangkan azan subuh. Saya lalu berkata, ‘Hai Rasulullah, apa yang membuat Bapak menangis. Bukankah Allah telah mengampuni dosa Bapak, baik yang sudah lalu maupun yang akan datang?’ Beliau menjawab, ‘Tidak bisakah aku menjadi seorang hamba yang bersyukur? Mengapa tidak saya melakukan itu …?”
Belakangan, seorang tokoh sufi Imam Al-Bushiri menulis satu bait dari syair panjangnya yang diberi nama Qashidatul Burdah: “Dan nafsu itu tak ubahnya bayi Jika kamu turuti dia, ia akan minta terus disusui Tapi, jika kamu menyapihnya, ia akan berhenti juga.”
***
Anda, mungkin, punya mobil bagus, dan kedudukan tinggi. Dan sangat boleh jadi, Anda masih belum puas, dan menganggap apa yang Anda miliki, yang Anda raih, belum apa-apanya dibanding pada orang lain. Akhirnya, Anda terus hanyut oleh arus kekecewaan hebat.
Nah, bagaimana kita mampu menghadang arus dahsyat itu, lebih-lebih di zaman yang, kata orang, serbauang ini? Adakah cara pandang positif terhadap kehidupan dan dunia ini; cara menikmati kehidupan ini, dari hari ke hari, dan dari menit ke menit; cara pandang yang tidak “mengharap burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan”? Lalu adakah cara efektif untuk mengelola stres?
Sufi besar dari Baghdad, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, yang pengaruhnya cukup besar di negeri kita, pernah berkata: “Seorang kaya yang bersyukur lebih baik daripada seorang fakir yang sabar. Tapi, seorang fakir yang bersyukur masih lebih baik dari keduanya.”
Fakir bersyukur, why not? Nabi pun pernah bersabda, “Pada hari kiamat kelak, akan ada panggilan: ‘Para pemuji silakan berdiri.’ Maka berdirilah sekelompok orang, lalu mereka masuk surga.” Nabi ditanya, “Siapakah gerangan para pemuji itu?” Nabi menjawab, “Mereka yang bersyukur kepada Allah di waktu sulit dan papa.”
Seorang fakir, atau orang yang mendapat kesulitan, bisa memulai dengan sabar. “Sabar adalah kunci penghilang kesusahan, yang bisa mendatangkan rasa syukur,” kata Sayid Mahmud Al-Alusi Al-Bagdadi. Itu sebabnya, dalam Al-Qur’an kata syukur banyak dipasangkan dengan kata sabar, dengan kata syukur ditaruh belakangan.
***
Syukur, menurut Imam Al-Ghazali, tersusun dalam tiga unsur: ilmu, hal (keadaan) dan amal. Pada tingkat ilmu, yang bersangkutan menyadari bahwa kenikmatan yang dia peroleh berasal dari pemberi nikmat (Allah misalnya). Pada tingkatan hal ia merasakan kebahagiaan. Lalu pada tingkatan amal, ia menjalankan apa yang menjadi kehendak sang pemberi nikmat dan apa yang disenanginya.
Syukur punya implikasi luar biasa terhadap diri (hal) yang bersangkutan. Dengan bersyukur, terbukalah pintu kebahagiaan di dalam hatinya. “Orang yang ber-syukur akan senantiasa mengamati segala macam nikmat Allah, keutamaan dan kemuliaan-Nya. Hal ini bakal memperkukuh kecintaannya kepada Allah,” kata Ibn Katsir. Ini pada gilirannya melahir-kan sikap yang lebih tenang dan bijak, serta menghilangkan rasa takut dan kesusahan.
Syukur pun punya dimensi horizontalnya sendiri. “Tidak akan bersyukur kepada Allah orang yang tidak bersyukur kepada orang lain,” sabda Rasulullah SAW Ini bisa berarti, demikian Ibn Katsir, orang yang tidak biasa berterima kasih kepada orang lain tidak akan bisa berterima kasih kepada Allah. Kemungkinan tafsir lainnya, kata Ibn Katsir, Allah tidak akan menerima syukur seorang hamba atas segala kebaikan-Nya jika ia tidak mau bersyukur atas kebaikan orang lain dan mengingkarinya. Sebab, keduanya berpautan.
Jangan salah. Syukur tidak secara otomatis mendorong orang berpuas diri. Bukankah dalam surah Ibrahim Allah berfirman, “Jika kalian bersyukur, maka Kami akan memberi tambahan kepadamu.” Para ahli tafsir cenderung berpendapat bahwa apa yang dimaksud tambahan ini anugerah spiritual (fadhl). Tapi, Ibn Katsir mengatakan, tambahan kenikmatan itu bisa bersifat materi, bisa pula rohani (kebahagiaan). Jadi, ayat ini setidaknya justru melecut orang yang bersyukur untuk berbuat lebih baik lagi, guna memperoleh tambahan itu.
Sumber: Panji Masyarakat, 16 Juni 1997