Ads
Cakrawala

Anwar Harjono, Teladan Kearifan Pemimpin Umat

Avatar photo
Ditulis oleh Fuad Nasar

Pemakaman jenazah almarhum Bapak Dr. H. Anwar Harjono, S.H., saat itu telah selesai dilaksanakan sesuai tata cara yang disyariatkan agama Islam. Para pelayat satu per satu beranjak meninggalkan lokasi penguburan di Blok Khusus TPU Tanah Kusir Jakarta Selatan. Saya berdiri sejenak di sisi pusara seraya memanjatkan doa semoga seluruh amal ibadah, perjuangan dan pengabdian almarhum diterima di sisi Allah dan dibalas dengan surga yang abadi.

Anwar Harjono dilahirkan di Krian, Sidoarjo, Jawa Timur pada 8 Nopember 1923. Ia menempuh pendidikan Sekolah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta.  Pernah menjadi santri K.H Hasjim Asj’ari di Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Perjalanan hidupnya merefleksikan khittah mujahid pencari keadilan dan persatuan. Hal itu diabadikan sebagai judul buku peringatan 70 tahun disusun oleh Lukman Hakiem. Semenjak muda Anwar Harjono aktif dalam pergerakan Islam di Tanah Air di masa pra-kemerdekaan. Ia turut membidani lahirnya Gerakan Pemuda Islam Indonesia disingkat GPII tahun 1945 dan pernah terpilih untuk memimpin organisasi kader umat tersebut.  

Di awal kemerdekaan Anwar Harjono adalah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) tahun 1947 – 1950. KNIP merupakan parlemen sementara Republik Indonesia. Ia kemudian terpilih menjadi anggota DPR dan ditunjuk sebagai Wakil Ketua Fraksi Masyumi di DPR periode 1950-an. Pada tahun 1951 sebagai Wakil Sekretaris Delegasi Indonesia ke Kongres Umat Islam Sedunia di Pakistan. 

Semasa muda Anwar Harjono pernah berkarir sebagai pegawai tinggi Kementerian Agama. Ia mengepalai Biro Politik/Aliran Keagamaan di masa Menteri Agama K.H.A. Wahid Hasjim. Pada masa itu K.H. Wahid Hasjim mempromosikan kader-kader pemuda Islam yang punya kapasitas dari berbagai organisasi dan golongan masyarakat untuk memperkuat organisasi dan fungsi Kementerian Agama.

Sebagai politisi muslim dari partai Masyumi, Anwar Haryono mengalami berbagai peristiwa politik nasional di masa Presiden Soekarno. Setelah Masyumi membubarkan diri pada tanggal 17 Agustus 1960 karena tekanan dan konspirasi politik rezim Orde Lama, Anwar Harjono dan kawan-kawan yang secita-cita memusatkan perhatian pada perjuangan di bidang dakwah dan pembangunan umat. Situasi apa pun tidak membuat Anwar Harjono dan kawan-kawannya kehilangan arah. Mereka tetap istiqamah (konsisten) memperjuangkan keadilan dan kebenaran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di atas rel konstitusi UUD 1945.

Sebagai tokoh masyarakat Anwar Harjono pernah menjadi pengurus BP4 (Badan Penasehatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan) yang diprakarsai oleh Kementerian Agama. Hal itu membuktikan ia mempunyai perhatian besar terhadap pembinaan kehidupan keluarga sebagai fondasi kehidupan bangsa dan negara. Dalam bidang akademis, ia sempat menjadi staf pengajar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Universitas Ibnu Chaldun (UIC) Jakarta.

Ia bukan hanya tokoh muslim yang disegani di tanah air, sosoknya juga dikenal di Dunia Islam.Di forum internasional Anwar Harjono aktif dalam keanggotaan Dewan Direktur World Congress on Religion and Peace yang berpusat di New York Amerika Serikat (1970 – 1983).

Anwar Harjono seorang pemimpin yang arif “mencermati gelombang laut agar kapal tidak pecah dan berantakan di tengah samudera”. Semakin besar ketokohan seorang pemimpin, semakin berat tanggung jawabnya terhadap keselamatan umat dan bangsa. Sebagai tokoh Islam dan sekaligus tokoh bangsa, ia tidak berpikir jangka pendek, tetapi selalu berpikir jangka panjang,

Perkenalan Karena Buku

Saya berkenalan dengan Pak Anwar Harjono semenjak saya masih duduk di bangku SMA. Suatu hari saya mengirim surat mohon testimoni beliau untuk buku biografi dan pemikiran almarhum Bapak H.S.M Nasaruddin Latif, orangtua saya, yang akan diterbitkan. Surat saya dibalas beliau dengan penuh rasa kekeluargaan. Beberapa waktu kemudian saya menerima artikel kesan dan kenangan Pak Anwar Harjono tentang Bapak H.S.M. Nasaruddin Latif.

Dalam tulisannya beliau mengulas perjalanan muhibah Ulama Indonesia dipimpin oleh Nasaruddin Latif pada tahun 1956 meninjau kehidupan beragama dan umat Islam di Uzbekistan, semasa rezim Sovyet Rusia masih berkuasa. Beliau menyinggung isu glasnost dan perestroika yang lagi hangat di negara “beruang merah” itu.

“Rupanya pengalaman mereka sendiri selama puluhan tahun memberi pelajaran, bahwa sistem kemasyarakatan yang serba mengekang hati nurani, telah mematikan auto aktivitas. Sekurang-kurangnya telah sangat menghambat perkembangan kreativitas manusia, sehingga membawa kerugian sangat besar dalam pertumbuhan ekonomi. Mungkin berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itu lahirlah glasnost dan perestroika. Mudah-mudahan pengalaman umat manusia di sana dapat diambil sebagai perbandingan bagi umat manusia di mana pun. Sebab, manusia dilahirkan bebas dan ingin hidup secara bebas pula.“ tulis Pak Anwar Harjono.

Beliau mengajak pembaca agar mengambil hikmah dan pelajaran dari perubahan politik di negara Rusia. Secara tidak langsung memberikan refleksi atas situasi Tanah Air di masa Orde Baru yang membatasi kebebasan dan hak-hak demokrasi. Bahasanya halus dan tidak menimbulkan kesan konfrontatif.

Suatu hari saya datang menemuinya di kantor Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Jalan Kramat Raya No 45. Pak Anwar Harjono memberi dorongan semangat atas usaha saya mewujudkan buku biografi dan pemikiran H.S.M. Nasaruddin Latif yang sudah lama meninggal. Penerbitan buku mengalami kelambatan dari rencana semula karena terpaksa beralih dari penerbit CV Haji Masagung ke penerbit Gema Insani Press (GIP). Selain dukungan Pak Anwar Harjono, tak dapat dilupakan dukungan Bapak K.H. Hasan Basri, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Saya pernah bersilaturahmi di kediaman Pak Anwar Harjono di Jalan Marabahan Jakarta Pusat. Setelah beliau mengalami gangguan kesehatan fisik saya beberapa kali mengunjungi beliau di Rumah Sakit Islam Cempaka Putih Jakarta sejak awal beliau jatuh sakit dan menjalani perawatan. Saya ingat saat pertama kali bezuk beliau di rumah sakit, Pak Anwar Harjono, meski jarang bertemu namun ingat saya. Beliau mengenalkan saya kepada Ibu Anwar Harjono yang ketika itu berada mendampingi di rumah sakit.

Berpikir Rasional Walau Situasi Emosional

Suatu hari di tahun 1995 sewaktu kami dan beberapa kawan Youth Islamic Study Club (YISC) Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta Selatan berkumpul di teras masjid, depan Sekretariat YISC. Tiba-tiba di depan kami lewat Pak Anwar Harjono. Kebetulan hari itu (Ahad) beliau usai menghadiri acara resepsi pernikahan di aula lantai bawah (kini Aula Buya Hamka). Kami tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menggali ilmu dan pesan perjuangan dari seorang tokoh senior umat Islam.

Kami minta pendapat Pak Anwar Harjono, bagaimana idealnya sikap perjuangan yang perlu dimiliki generasi muda muslim saat ini? Jawab beliau, “Kita harus hangat, tapi tidak panas. Ibarat minum kopi, yang idealnya kopi itu hangat, bukan yang panas atau yang dingin. Kopi panas atau kopi dingin ndak sedap diminum, malah tak mau orang meminum. Sederhana bahasanya, namun maknanya mendalam.

Saya bertemu kembali dengan Pak Anwar Harjono dalam acara Seminar Pemikiran dan Perjuangan Mr. Sjafruddin Prawiranegara di Gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jalan Gatot Subroto Jakarta. Seminar diselenggarakan oleh YISC Al-Azhar. Saya salah satu anggota panitianya. Seminar Nasional Pemikiran dan Perjuangan Mr. Sjafruddin Prawiranegara selama dua hari tanggal 9 – 10 September 1995 menjadi catatan prestatif YISC Al-Azhar setelah sebelumnya sukses mengadakan seminar pemikiran dan perjuangan Buya Hamka dan Mohammad Natsir. Seminar tentang Mr. Sjafruddin Prawiranegara dihadiri istri almarhum Pak Sjaf dan putra-putrinya serta sejumlah tokoh di antaranya Ketua Umum MUI K.H. Hasan Basri, Anwar Harjono, dan A.M. Fatwa.

Dalam acara seminar selama dua hari itu, saya menyimak pesan perjuangan dan nasihat Pak Anwar Harjono kepada generasi muda. “Kita harus selalu berpikir rasional walaupun di tengah situasi yang emosional. Moral (akhlaqul karimah) adalah kunci dalam mengatasi perbedaan pendapat. Lawan pendapat adalah kawan berpikir.” ungkap beliau.

Pak Anwar Harjono mengingatkan, “Harus dihindari penyelesaian masalah dengan cara kekerasan, karena kekerasan tidak menyelesaikan masalah, tetapi akan membuahkan kekejaman, dan kekejaman akan beranak dendam dan seterusnya.“  Beliaumensitir nasihat Bung Hatta bahwa walaupun hati panas, kepala harus tetap dingin.

Sebelum pelaksanaan seminar, saya mengirim surat kepada Pak Anwar Harjono selaku pimpinan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Saya melampirkan artikel tentang Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang saya tulis. Saya menerima surat balasan dari beliau tanggal 27 Juni 1995. Selaku pribadi dan atas nama DDII beliau menyambut baik dan mengapresiasi seminar pemikiran dan perjuangan Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang diprakarsai YISC Al-Azhar. Pak Anwar Harjono selaku sahabat seperjuangan Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dan Gubenur Bank Indonesia pertama itu memberi tanggapan positif. “Usaha-usaha seperti ini perlu kita teruskan dan kembangkan dalam rangka menapak-tilasi jejak perjuangan para pemimpin kita, yang hampir-hampir tidak banyak diketahui masyarakat terutama kalangan generasi muda”. tulis beliau dalam surat pribadinya kepada saya.

Saya senang sekali menerima undangan dari Pak Anwar Harjono selaku Ketua Umum DDII pada acara Tasyakkur Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia/Keluarga Besar Bulan Bintang tanggal 18 Nopember 1995 (26 Jumadil Akhir 1416) di Aula Masjid Al-Furqan, Kramat Raya 45 Jakarta.  Undangan yang hadir saya lihat ramai sekali sehingga konon seribu tempat duduk yang disiapkan panitia tidak cukup menampung “reunian” keluarga besar Bulan Bintang. 

Maksud penyelenggaraan pertemuan itu diutarakan oleh Pak Anwar Harjono dalam kata sambutannya yaitu dalam rangka mensyukuri sehubungan penganugerahan tanda kehormatan bintang mahaputera kepada beberapa tokoh pejuang Islam/pemimpin Masyumi di masa revolusi kemerdekaan, yaitu: Prawoto Mangkusasmito, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Jusuf Wibisono, Abu Hanifah dan Syekh Muhammad Djamil Djambek. Sebelum itu, bintang mahaputera juga diberikan untuk Soekiman Wirjosandjojo, Mohamad Roem, Mohammad Rasjidi, Ibu Sunarjo Mangunpuspito, K.H. Noer Ali, dan K.H. Sholeh Iskandar.

Menurut Pak Anwar Harjono, “Pemberian bintang-bintang kehormatan itu adalah pengakuan resmi, bahwa mereka itu telah berbuat baik dan bahkan berjasa kepada bangsa dan negara. Walaupun perjuangan para pemimpin Masyumi itu semata-mata hanya mengharapkan ridha Allah, namun atas pengakuan resmi dari Pemerintah pada jasa-jasa mereka kepada bangsa dan negara itu kita wajib mengucapkan syukur kepada Allah. Dan kepada Pemerintah kita ucapkan terima kasih. Demikian juga kepada Panitia Nasional Indonesia Merdeka 50 Tahun yang secara langsung atau tidak langsung telah ikut mempermudah segala sesuatunya.” 

Pemimpin Tenang dan Teguh Dengan Prinsip

Pak Anwar Harjono adalah figur seorang pejuang dan pemimpin yang tenang, teguh dengan prinsip dan hidup sederhana. Tutur katanya teratur dan santun, namun tegas berkarakter, sama seperti bahasa tulisannya yang bernas dan analisanya mendalam. Tulisan beliau banyak dimuat di majalah Kiblat, Panji Masyarakat, Serial Media Dakwah, Suara Masjid dan media lainnya semenjak era 1950-an. 

Dalam dekade 1980-an, sejumlah tokoh pejuang dan sesepuh bangsa, antara lain Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Mohammad Natsir, Jenderal TNI (Pur) Dr. Abdul Haris Nasution, Mr. Kasman Singodimedjo, Boerhanuddin Harahap, Anwar Harjono, Letjen TNI (Purn) H.R. Dharsono, Ir. H.M. Sanusi, Letjen TNI Mar (Purn) H. Ali Sadikin, A.M. Fatwa, Dokter H. Ali Akbar dan tokoh lainnya sebanyak 50 orang menandatangani pernyataan keprihatinan yang dikenal sebagai Petisi 50. Pernyataan Petisi 50 merupakan tanggapan kritis terhadap pernyataan dalam pidato Presiden Soeharto. Pemerintah Orde Baru meresponnya secara berlebihan.

Semua tokoh penandatangan “Petisi 50” dicekal ke luar negeri dan menerima sanksi sosial tidak boleh berada dalam satu atap pada acara-acara yang dihadiri Presiden dan Wakil Presiden. Juga dibelenggu hak-hak sipilnya, tidak boleh mengajar di universitas negeri, bahkan tidak boleh mengajukan kredit usaha di bank-bank pemerintah. Suatu keadaan yang sulit terbayangkan di negara hukum dan negara demokrasi yang berdasarkan Pancasila.

Selain bergabung dalam Kelompok Kerja Petisi 50, Pak Anwar Harjono aktif dalam Kelompok Diskusi Cibulan, terdiri dari cendekiawan Prof. Dr. Deliar Noer, Letjen TNI (Purn) Dr. T.B. Simatupang, Rosihan Anwar dan lain-lain. Sebagai sarjana hukum beliau bergabung dalam Peradin, LBH, dan Lembaga Keadilan Hukum yang dibentuk PP Muhammadiyah.     

Jika direnungkan kemudian, setelah era itu berlalu, sebetulnya para pejuang dan negarawan senior itu hanya memberi masukan dan koreksian atas penyimpangan terhadap UUD 1945 dan kedaulatan rakyat di masa Orde Baru kala  itu. Mereka tidak mempunyai ambisi politik pribadi maupun kelompok, apalagi untuk menjatuhkan pemerintah. Setelah reformasi, suara-suara kritis di masa Orde Baru, terbukti kebenarannya, namun sudah terlambat diperbaiki oleh pemerintahan Presiden Soeharto dan para pembantunya.

Kabut politik mulai terkuak menjelang 1992. Pemerintah Orde Barumerangkul kekuatan Islam dan akomodatif terhadap aspirasi umat. Di antara para tokoh keluarga besar Bulan Bintang, qadarullah Pak Anwar Harjono diberi umur panjang hingga menyaksikan perubahan politik Indonesia.

Menjelang Pemilihan Umum 1992 pemerintah Orde Baru dengan kepemimpinan sentral Presiden Soeharto merubah pendekatan politiknya terhadap Islam dan umat Islam. Peranan tokoh-tokoh umat Islam ditempatkan pada tempat yang sewajarnya. Ibarat orang menggenggam tangan, cepat atau lambat tangan itu terbuka juga karena tidak mungkin kuat menggenggam terus menerus.

Perubahan sikap relijius Presiden Soeharto setelah menunaikan ibadah haji menjadi faktor yang menentukan bagi seluruh perubahan politik Orde Baru. Meski belum terjadi perubahan politik yang mendasar. Pak Anwar Harjono mengalami masa “bulan madu kedua” umat Islam dengan Pemerintah Orde Baru, di mana beliau tidak lagi kena cekal ke luar negeri.

          Perkembangan politik di akhir kejayaan Presiden Soeharto memberi iklim positif yang sebelumnya mengalami jalan buntu. Pemerintah mendukung deklarasi berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) yang diprakarsai beberapa mahasiswa aktivis dakwah kampus Universitas Brawijaya Malang. Para mahasiswa Unibraw penggagas ICMI, atas arahan mantan Menteri Agama dan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Alamsjah Ratu Perwiranegara mendekati B.J. Habibie. Mereka secara informal disarankan Alamsjah agar menemui B.J. Habibie di Masjid BPPT Jalan M.H. Thamrin untuk bikin janji pertemuan. ICMI setelah terbentuk diketuai oleh Menteri Riset dan Teknologi Prof. Dr. B.J. Habibie (terakhir Presiden ke-3 Republik Indonesia). Selain  itu Bank Muamalat, bank syariah pertama direstui pendiriannya dan didukung pembentukannya oleh Presiden Soeharto dan para menteri ekonomi. Pak Anwar Harjono waktu itu memimpin Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) setelah meninggalnya Mohammad Natsir yang merupakan guru politiknya Anwar Harjono.   

Sejak saat itu, praktis tidak ada lagi hambatan politis bagi Pak Anwar Harjono dan kawan-kawan untuk hadir dalam acara-acara resmi selaku pemimpin umat beragama maupun bertemu dengan Presiden Soeharto di Bina Graha. Pada waktu Konperensi Dakwah Negara-negara Organisasi konperensi Islam (OKI) diselenggarakan di Jakarta dan dibuka oleh Presiden Soeharto di Istana Negara, Pak Anwar Harjono selaku Ketua Umum DDII memperoleh kepercayaan sebagai Ketua Penyelenggara. Dalam usia yang tidak muda lagi beliau mengikuti berbagai forum pertemuan di dalam dan luar negeri demi kepentingan umat.

Pak Anwar Harjono ikut membidani lahirnya Forum Ukhuwah Islamiyah dan memimpin forum yang mewadahi silaturahmi dan kerjasama umat Islam dari berbagai macam ormas Islam.

Seorang wartawan bertanya, “Sekarang Bapak kok berubah, tidak galak seperti dulu lagi?” Pak Anwar Harjono menjawab, “Siapa dulu yang berubah? Perumpamaannya begini, ibarat seorang yang melakukan perjalanan jauh memakai baju dingin yang tebal untuk melindungi badannya dari cuaca dingin. Kalau di perjalanan cuaca telah berubah, tentu lucu kalau masih tetap memakai baju dingin.”

Suatu ketika saya menyimak khutbah Jum’at di Masjid Agung Al-Azhar Jakarta yang disampaikan Pak Anwar Harjono sekitar tahun 1995, “Umat Islam agar pandai-pandai mensyukuri iklim kondusif yang telah diberikan Allah ini. Apabila kita pandai bersyukur, yakinlah niscaya Allah akan menambah nikmatnya. Tetapi jika kita tidak bersyukur, bisa jadi Allah akan mempersulit lagi keadaan kita. Meskipun belum semua yang diharapkan tercapai, marilah kita terima dan syukuri yang telah ada ini, sebab tidak mungkin keadaan yang telah kita berjalan selama 24 tahun, dapat berubah drastis dalam waktu beberapa bulan.” ucap beliau.

Di sinilah saya melihat kelapangan hati dan ketabahan seorang pemimpin-pejuang pembela kebenaran, keadilan dan persatuan. Segala sesuatu dipasrahkan kepada Allah SWT dan bersikap realistis menyikapi keadaan.

Dalam artikel di majalah Media Dakwah No 254, Juli 1995 Pak Anwar Harjono menulis, “Kita dapat memulai timbulnya gejolak sosial kapan saja, tetapi kapan dapat mengakhirinya tak seorang pun dapat memperkirakannya. Kalau kekuatan beradu dengan kekuatan akan membuahkan kekerasan. Tetapi kekerasan tidak menyelesaikan persoalan, karena kekerasan akan membuahkan kekejaman. Dan kekejaman akan beranak dendam dan seterusnya. Dan setiap yang berlebihan akan mengakibatkan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.”     

Sebagai pejuang umat dan tokoh bangsa yang telah mengalami asam garam perjuangan Pak Anwar Harjono mengatakan bahwa antara mereka yang sedang memegang tanggungjawab dalam kekuasaan dengan mereka yang berada di luar kekuasaan, hendaknya tidak berdiri secara berhadap-hadapan, secara konfrontatif. Setiap konfrontatif, apalagi fisik, akan menjurus kepada gejola sosial yang akan tidak akan menguntungkan siapa saja.

Perubahan Di Awal Reformasi

Pada 21 Mei 1998 bangsa dan negara Indonesia memasuki babak baru kehidupan berbangsa dan bernegara. Gerakan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa dan mendapat dukungan massif dari kekuatan ekstra kampus meluas menjadi aksi pendudukan gedung MPR/DPR-RI. Gerakan reformasi berhasil memaksa turunnya Pak Harto dari kekuasaannya yang amat kuat dan berwibawa selama 32 tahun. Dengan berhentinya Presiden Soeharto, berakhirlah rezim pemerintahan Orde baru yang dibangun sejak 1966. Hegemoni Orde Baru selama tiga dasawarsa runtuh seketika disapu gelombang gerakan reformasi yang hanya beberapa hari.

Keruntuhan rezim Orde Baru secara dramatis mengingatkan saya pada tulisan Pak Anwar Harjono tahun 1985 dalam buku Catatan Perjuangan H.M Yunan Nasution. Beliau mengutip filosof muslim Ibnu Khaldun bahwa suatu rezim kekuasaan mempunyai batas-batas masa pemerintahannya sebagaimana manusia secara perorangan mengenal batas dan umur (ajal). Ini merupakan proses sejarah yang tak terelakkan. Pak Anwar Harjono lebih jauh mengutarakan, “Dalam sejarah umat manusia senantiasa tercatat perjuangan tak henti-hentinya dengan mengatasnamakan keadilan. Dan karena tuntutan keadilan jatuh dan bangun penguasa-penguasa di seluruh bumi Tuhan.”

Juru Bicara Masyumi itu masih sempat menyaksikan perubahan di awal reformasi. Meski dalam keadaan sakit dan menggunakan kursi roda, semangatnya untuk memberi kontribusi bagi kepentingan umat dan bangsa tak pernah surut.

Beberapa peristiwa politik pasca Orde Baru masih dapat disaksikannya. Meski itu baru merupakan titik awal dari perubahan yang diharapkan. Gerakan reformasi telah dibayar dengan korban moril dan korban materiil yang tidak sedikit. Pak Anwar Harjono sesepuh umat dan tokoh bangsa yang tak pernah berhenti berpikir dan berjuang dalam keadaan apa pun tentu sangat mensyukuri segala perubahan tersebut menuju keadaan yang lebih baik. Hari-hari akan selalu dipergilirkan Allah di antara umat manusia sesuai dengan takdir-Nya.

Dalam tulisan opini di Harian Umum Republika tanggal 9 Oktober 1998 berjudul Menyelesaikan Masalah Tanpa Menimbulkan Fitnah, Pak Anwar Harjono mengemukakan, “Dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa ini penulis menghimbau seluruh komponen bangsa agar kembali mengedepankan kebersamaan dalam kearifan negarawan sejati. Selanjutnya marilah kita menyerahkan diri kepada Allah SWT guna memohon kekuatan untuk menyelesaikan berbagai krisis yang melanda bangsa ini.”

Pak Anwar Harjono hadir dalam Silahturahim Nasional (Silaknas) Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia tanggal 1-2 Nopember 1998 yang dibuka oleh Presiden B.J. Habibie di Istana Negara. 

Kehadiran dan partisipasi terakhir Pak Anwar Harjono dalam agenda keumatan adalah pada saat berlangsungnya Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-3 di Jakarta tanggal 3-7 Nopember 1998 atau beberapa minggu sebelum beliau masuk rumah sakit yang terakhir kali. Di depan forum pertemuan akbar segenap komponen umat Islam dari berbagai kalangan profesi dan organisasi, Pak Anwar Harjono menyampakan pidato yang ternyata wasiat terakhirnya, “Umat Islam boleh berkamar-kamar, tapi masih tetap dalam satu rumah. Kita wajib melakukan taubat nasuha untuk tidak terpecah lagi.”  

Kenangan Di Rumah Sakit

Suatu kali saya bezuk Pak Anwar Harjono di Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih. Saat itu beliau menitip karyanya buku Indonesia Kita, Pemikiran Berwawasan Iman-Islam untuk dihadiahkan kepada Mayjen TNI (Purn) Ary Mardjono, Sekretaris Jenderal DPP Golkar.

Saya diarahkan agar meminta buku tersebut di Toko Buku Media Dakwah Jl. Kramat Raya 45 Jakarta. Pesan beliau, minta dua eksemplar, satu diberikan kepada Pak Ary Mardjono dan satu lagi buat saya pribadi. Saya hanya mengambil satu buku untuk dihadiahkan, sedangkan untuk saya sendiri tidak saya minta karena sudah punya. 

Saya baru tahu Ary Mardjono adalah menantu dari K.H. Taufiqurrahman, tokoh Masyumi. Pak Anwar Harjono meminta agar saya bertemu langsung dengan Pak Ary Mardjono. Setelah bertemu menyerahkan buku agar saya menelepon beliau melalui telepon rumah sakit. Sekjen DPP Golkar itu mengucapkan terima kasih atas kiriman buku dari Pak Anwar Harjono. “Pak Anwar Harjono itu sahabat ayah saya” ujar Ary Mardjono yang terakhir menjabat Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional pada kabinet terakhir Presiden Soeharto.

Pengalaman ini memberi pelajaran dan keteladanan bahwa silaturahmi dan hubungan pemikiran perlu dijalin antarsesama anak bangsa tanpa memandang perbedaan politik. Pak Anwar Harjono ingin agar resonansi pemikiran kebangsaannya dan pesan-pesan dakwah dibaca oleh petinggi Golongan Karya. Golkar di masa itu merupakan kekuatan politik yang sedang berkuasa dan mayoritas tunggal yang menentukan wajah politik Indonesia.    

Hampir semua buku karya Pak Anwar Harjono saya koleksi sebagai bacaan dan sumber pengetahuan yang berharga yaitu: Hukum Islam Keadilan dan Keluasannya (berasal dari disertasi doktor, 1968), Hukum, Kekuasaan dan Keadilan dalam Cahaya Al-Quran (1982), Dakwah dan Masalah Sosial Kemasyarakatan (1987), Indonesia Kita: Pemikiran Berwawasan Iman-Islam (1995), Di Sekitar Lahirnya Republik; Bakti Sekolah Tinggi Islam dan Balai Muslimin Indonesia Kepada Bangsa (ditulis bersama Lukman Hakiem, 1987, Kata Sambutan oleh Presiden Soeharto), dan karya paling akhir Perjalanan Politik Bangsa: Menoleh Ke Belakang Menatap Ke Depan (1997).

Pertemuan terakhir saya dengan Pak Anwar Harjono di ruang ICU RS Islam Jakarta, di bulan Ramadhan. Kondisi beliau masih sadar, namun tidak leluasa berkomunikasi karena sudah dipasang alat bantu pernapasan. Saya menyapa beliau dan dijawab melalui bahasa isyarat. Beberapa hari kemudian Pak Anwar Harjono menghembuskan napas terakhir. Media massa nasional meliput dan memberitakan meninggalnya Dr. H. Anwar Harjono, S.H.

Pak Anwar Harjono berpulang ke rahmatullah di Rumah Sakit Islam Cempaka Putih Jakarta Selasa, 16 Februari 1999 pukul 02.40 WIB dalam usia 76 tahun. Presiden B.J. Habibie dan sejumlah pejabat pemerintahan hadir melayat di kediaman almarhum. Dua puluh dua tahun kemudian, istri almarhum, Ibu Hj. Susilowati (91 tahun) wafat tanggal 6 Januari 2021 pukul 24.00 WIB di RS Abdi Waluyo Jakarta. Saya diberi kesempatan oleh Allah sehingga dapat hadir di  pemakaman jenazah Pak Anwar Harjono dan Ibu Anwar Harjono di TPU Tanah Kusir. Pada waktu Pak Anwar Harjono wafat, saya tidak berkesempatan menshalatkan jenazahnya. Saya diberi kesempatan oleh Allah dapat mengimami shalat jenazah Ibu Anwar Harjono di kediamannya yang diikuti sejumlah pentakziah. Saya mendoakan mereka berdua bahagia di Surga-Nya. Semoga generasi muda Indonesia meneladani perjuangan dan pemikiran para tokoh umat dan bangsa di masa lalu sebagai bekal dalam menghadapi tantangan hari ini dan hari esok.

Tentang Penulis

Avatar photo

Fuad Nasar

Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama di lingkungan Kementerian Agama RI, pernah menjabat Sesditjen Bimas Islam.

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading