Ads
Cakrawala

Pembagian Kerja Secara Seksual dan Konsep yang Harmonis

a group of people in the office
Avatar photo
Ditulis oleh Arfendi Arif

Dalam kehidupan manusia kita melihat  adanya diversifikasi kerja yang populer disebut pembagian kerja secara seksual. Yaitu suatu peran dalam kehidupan yang didasarkan atas jenis kelamin atau jender. Sistem pembagian kerja ini ternyata telah berjalan ratusan atau bahkan ribuan tahun dan berlangsung secara aman dan diterima masyarakat.

Dalam pembagian kerja ini laki-laki berperan di sektor publik yang lebih luas, sedangkan kaum perempuan berperan di lingkaran domestik atau rumah tangga. Pola pembagian kerja inilah yang kemudian dalam era masyarakat moderen  dikritik sebagai sistem yang tidak adil bagi kaum wanita. Disebutkan, bahwa kaum pria atau laki-laki mendapatkan peran yang menyenangkan, sedangkan kaum perempuan dapat peran yang membosankan, terbatas dan tidak memungkinkan untuk berkembang, maju dan mencerdaskan.

Salah seorang  seorang pengkritik yang cukup keras terhadap pembagian kerja secara seksual ini adalah sosiolog Arief Budiman, yang menyatakan bahwa pembagian kerja secara seksual merupakan  eksploitasi separuh dari umat  manusia oleh separuh yang lainnya.

Arief Budiman menegaskan, peran yang didapatkan  kaum wanita dalam pembagian secara seksual merupakan peran yang lebih tidak menyenangkan dari pada peran yang diberikan kepada laki-laki. Tentu tidak berarti bahwa peran yang diberikan kepada laki-laki merupakan peran yang mudah, seratus persen menyenangkan  dan tanpa persoalan. Tapi secara keseluruhan, peran yang diberikan kepada kaum laki-laki dapat dikatakan lebih menyenangkan karena  memberikan kemungkinan bagi laki-laki untuk mengembangkan dirinya.

Sebagai contoh, lanjut Arief Budiman, masyarakat Indonesia, kehidupan wanitanya berputar di sekitar kehidupan rumah tangga. Tujuan wanita seakan-akan hanyalah untuk menikah dan membentuk keluarga. Sesudah menikah hampir-hampir seluruh kehidupan wanita dilewatkan di dalam rumah tangga.

Dalam keadaan seperti ini wanita jadi tergantung kepada laki-laki secara ekonomis, karena pekerjaan yang dilakukan di rumah tangga tidak menghasilkan gaji. Ditambah lagi, wanita seakan-akan dipenjarakan di suatu dunia yang  tidak merangsang perkembangan kepribadiannya. Mereka mengerjakan pekerjaan yang itu-itu juga setiap hari, diulang jutaan kali. Teman-temannya serba terbatas, dan hidupnya kebanyakan dilewati bersama anak-anaknya ( Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual, PT Gramedia, Jakarta,1981, hal 4,5,20).

Selain Arief Budiman, tokoh Islam, ulama dan intelektual yang sekarang menjabat Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. H. Nasarudfin Umar, yang banyak menulis soal perempuan dan jender, membantah anggapan yang hidup dalam masyarakat bahwa kaum laki -laki memiliki hak-hak istimewa dibandingkan perempuan. Bahwa, laki-laki adalah jenis kelamin utama, dan perempuan jenis kelamin kedua ( the second sex).

Ia juga tidak setuju anggapan yang menjadikan Al-Quran sebagai dasar untuk menolak kesetaraan jender. Dari analisa Nasaruddin, misi utama Al-Quran adalah untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk anarki, ketimpangan, dan ketidakadilan. Jika ada penafsiran yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi kemanusiaan, maka penafsiran tersebut harus ditinjau kembali. Allah Maha Adil (al-Adl), maka tidak mungkin di dalam kitab suci-Nya terkandung sesuatu yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut.

Menurut Nasaruddin, dalam Islam ada beberapa isu kontroversial berkaitan dengan relasi jender, antara kain, asal usul penciptaan perempuan, konsep kewarisan, persaksian, poligami, hak-hak reproduksi, hak talaq perempuan, serta peran publik perempuan.

” Jika kita membaca sepintas teks ayat-ayat yang berhubungan dengan masalah tersebut, memang mengesankan adanya ketimpangan (ketidakadilan) terhadap perempuan. Akan tetapi, jika kita menyimak secara mendalam dengan menggunakan metode semantik (arti kata dan makna kata), semiotik( simbol dan tanda), hermeneutik (menafsirkan dan menterjemah), dan dengan memperhatikan teori sebab nuzul maka dapat dipahami ayat-ayat tersebut merupakan suatu proses dalam mewujudkan keadilan secara konstruktif di dalam masyarakat. Semua ayat-ayat yang berhubungan dengan masalah-masalah tersebut di atas, ternyata turun untuk menanggapi kasus-kasus tertentu yang terjadi di masa Rasul Saw. Ini berarti ayat-ayat tersebut bersifat khusus,”, jelas Nasaruddin.

Mengutip Yvonne Yazbeck Haddad, Nasaruddin mengungkapkan, Al-Quran adalah sumber nilai yang pertama kali menggagas konsep keadilan jender dalam sejarah panjang umat manusia. Di antara kebudayaan dan peradaban dunia yang hidup pada masa turunnya Al-Quran, seperti Yunani (Greek), Romawi, Yahudi, Persia, Cina,India, Kristen dan Arab (pra-Islam), tidak ada satu pun yang menempatkan perempuan lebih terhormat dan lebih bermartabat daripada nilai-nilai yang diperkenalkan oleh Al-Quran.

Maka, dengan tiga metode di atas semantik, semiotik dan hermeneutik, Prof. Nasaruddin melihat ada beberapa standar yang bisa digunakan untuk menganalisa prinsip-prinsip kesetaraan jender dalam Al-Quran. Standar tersebut diuraikannya sebagai berikut.

Pertama, laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba.

Salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada Tuhan. Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya punya potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam Al-Quran biasa diistilahkan dengan orang-orang yang bertakwa (muttaquun), dan untuk mencapai derajat muttaquun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis tertentu.

Kedua, Laki-laki dan Perempuan sebagai Khalifah di Bumi.

Maksud dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi, di samping untuk menjadi hamba (abid) yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah Swt, juga untuk menjadi khalifah di muka bumi. Kata khalifah dalam Al-Quran (al-An’am ayat 165) tidak menunjuk pada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu.  Laki-laki dan perempuan mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah, yang akan mempertanggungjawabkan tugas-tugas kekhalifahannya di muka bumi dan juga sebagai hamba.

Ketiga, Laki-laki dan Perempuan Menerima Perjanjian Primordial.

Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian primordial dengan Tuhan. Seperti diketahui, menjelang seorang anak keluar dari rahim ibunya, ia terlebih dahulu harus menerima perjanjian dengan Tuhannya. Dalam Al-Quran surat al-A’raf ayat 172 dikatakan,” Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka, seraya berfirman,” Bukankah Aku ini Tuhanmu”.Mereka menjawab,” Betul, Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi”. Kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat kamu tudak mengatakan,” Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini, keesaan Tuhan”.

Keempat, Adam dan Hawa, Terlibat secara Aktif dalam Drama Kosmis.

Semua ayat yang menceritakan tentang drama kosmis, yakni cerita tentang keadaan Adam dan pasangannya di surga sampai keluar dari bumi selalu menekankan kedua belah pihak secara aktif dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang atau humaa, yakni kata ganti untuk Adam dan Hawa, seperti dapat dilihat dalam beberapa kasus berikut.

Keduanya diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga ( al-Baqarah ayat 35). Kemudian, keduanya mendapat kualitas godaan yang sama dari syaitan (al-A’raf: 20), Selanjutnya, sama-sama memakan buah khuldi dan keduanya menerima akibat jatuh ke bumi ( al-A’raf: 22).

Kelima, Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Berpotensi Meraih Prestasi.

Dalam hal meraih peluang untuk prestasi maksimum, tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana ditegaskan secara khusus dalam Al-Quran. “Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun (an-Nisaa ayat 124).

Kemudian dalam surat al-Mu’min ayat 40,” Barang siapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan barang siapa nengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka nereka akan masuk surga, mereka diberi rezeki di dalamnya tanpa hisab”.

Prof. Nasaruddin menegaskan, ayat-ayat ini mengisyaratkan konsep kesetaraan jender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spritual maupun urusan karier profesional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama meraih prestasi optimal. Namun, dalam kenyataan di masyarakat, konsep ideal ini masih membutuhkan tahapan dan sosialisasi, karena masih terdapat sejumlah kendala budaya yang sulit diselesaikan (Prof. Dr.H. Nasaruddin Umar, Bias Jender dalam Penafsiran Al-Qur’an, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Tafsir pada Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sabtu 12 Januari 2002, hal. 1-13).

Problema Wanita dan Pria Bekerja

Baik Arief Budiman maupun Prof. Nasaruddin Umar menginginkan wanita berperan lebih luas, bukan hanya sebagai ibu rumah tangga mengabdi di sektor domestik. Namun, karena kehidupan wanita dan pria saling melengkapi, jika keduanya berperan di sektor publik, dan kemungkinan juga terjadi persaingan atau  kompetisi, bukankah kehidupan ini akan menimbulkan kekisruhan dan anomali atau tidak jelas tujuannya.

Bagaimanapun wanita secara biologis berbeda dengan pria. Wanita kodratnya mengalami kehamilan, melahirkan anak, mengalami haid dan lainnya. Secara psikologis wanita dan pria juga berbeda. Namun, kendala yang paling vital bagi wanita untuk berkiprah di bidang yang lebih luas adalah faktor biologis ini.

Memang, di kota-kota besar kita melihat wanita banyak yang berperan ganda. Artinya, sebagai ibu rumah tangga dan juga menjadi wanita karir. Mungkin anak-anak tinggal dengan pembantu atau baby sitter.. Bagi anak-anak yang seusia SLTP atau SLTA bisa ditinggal di rumah, namun yang masih kecil seusia SD atau TK terasa sulit berpisah dengan ibunya. Sehingga wanita harus memilih apakah tetap bekerja atau mundur dari pekerjaan. Dan, kalaupun wanita bekerja tentu masalah anaknya yang berada di rumah akan menjadi pikirannya di tempat kerja,  sehingga sulit untuk fokus bekerja.  Di samping itu masalah pendidikan anak di rumah akan terabaikan jika keduanya bekerja. Pendidikan di rumah adalah untuk menjaga anak-anak dari pergaulan yang tidak sehat. Sedangkan pendidikan di sekolah untuk menimba ilmu pengetahuan.

Bagi keluarga yang secara ekonomis sudah mantap, tentu seorang ibu bisa bekerja karena mampu membayar pembantu rumah tangga untuk mengawasi dan mendidik anak-anak. Namun, bagi keluarga yang secara ekonomi menengah ke bawah, kesulitan untuk membiayai pembantu rumah tangga sehingga tidak ada pilihan lain, kecuali mundur salah satunya dalam bekerja. Dan, biasanya yang berhenti bekerja adalah wanita.

Karena itu yang terbaik sesungguhnya adalah adanya pembagian kerja,  yang satu mencari nafkah dan lainnya mengurus rumah tangga dan mendidik anak. Dan, ini sesungguhnya cocok diperankan oleh wanita. Seperti kata Buya Hamka, rumah tangga yang aman dan damai ialah gabungan antara tegapnya laki-laki dengan halusnya perempuan. Laki-laki mencari dan perempuan mengatur ( Hamka, Kedudukan Perempuan Dalam Islam, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1996, hal. 14 ).

Kalaupun wanita ingin bekerja mungkin yang bisa dikerjakan di rumah, sehingga bisa tetap mengontrol anak-anaknya. Di era digital sekarang  hal ini bukanlah suatu yang mustahil. Banyak pekerjaan yang bisa di lakukan di rumah, yang tidak harus berkantor di luar rumah tangga dan bepergian setiap hari. Work From House ,( WFH) sebagaimana diterapkan sejak wabah Covid 19 membuktikan bahwa pekerjaan bisa dilakukan di kediaman masing-masing dan terhubung semua melalui komunikasi ekektronik, dunia internet atau digital.

Dalam ajaran Islam wanita yang bekerja di rumah tangga mendampingi suaminya  dengan niat karena Allah sebagai ibadah maka pahalanya tidak kalah nilainya dengan orang yang bekerja di luar rumah juga untuk keluarga.

Demikian juga dalam Islam seorang suami yang memiliki peran besar dalam memenuhi kebutuhan rumah tangganya diharapkan tetap menghargai, menghormati dan memuliakan isterinya yang bersusah payah bekerja di rumah mengasuh anak dan menyelenggarakan kebutuhan buat keluarga sehari-hari. Ia tidak dibenarkan menganggap rendah isterinya yang tetap di rumah memelihara  dan melancarkan kehidupan rumah tangga.

Sebenarnya,  konsep pembagian kerja secara seksual yang di Indonesia berjalan aman-aman saja hingga saat ini, merupakan sistem dan konsep kehidupan yang baik dan harmonis. Dan, selayaknya dipertahankan, dan berusaha diperbaiki kalau ada ekses dan kekurangannya.

Tentang Penulis

Avatar photo

Arfendi Arif

Penulis lepas, pernah bekerja sebagai redaktur Panji Masyarakat, tinggal di Tangerang Selatan, Banten

Tinggalkan Komentar Anda