Ads
Cakrawala

Kolom Munawir Sjadzali : Kembali Ke Piagam Madinah

light city sky art
Ditulis oleh Panji Masyarakat

Di Madinahlah umat Islam, dengan pimpinan Rasulullah, mendirikan negara yang pertama dengan “kewarganegaraan” yang majemuk dalam hal suku dan agama. Yakni, suku Arab Quraisy, suku Arab Islam dari wilayah lain, suku Arab Islam asli Madinah, suku Yahudi penduduk Madinah, dan suku Arab yang belum menerima Islam. Sebagai landasan negara baru itu Nabi  memproklamasikan apa yang kemudian lebih dikenal dengan nama Piagam Madinah. Banyak ilmuwan politik Islam, yang beragama Islam maupun non-Islam, menyatakan bahwa Piagam Madinah itu konstitusi tertulis pertama negara Islam. 

Dengan piagam yang terdiri atas 47 butir itu Rasulullah telah meletakkan dasar-dasar kehidupan bernegara untuk masyarakat majemuk dalam hal suku dan agama. Intinya, semua umat Islam, meski berasal dari banyak suku, merupakan satu komunitas. Hubungan antaranggota komunitas Islam serta antara anggota komunitas Islam dan anggota komunitas lain didasari prinsip bertetangga baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang teraniaya, saling menasihati, dan menghormati kebebasan beragama.

Lima prinsip tersebut mengisyaratkan, pertama, persamaan hak dan kewajiban semua warga negara tanpa diskriminasi suku atau agama, dan kedua pemupukan semangat persahabatan dan saling berkonsultasi dalam menyelesaikan masalah bersama serta saling membantu dalam menghadapi musuh bersama. 

Konsepsi klasik negara Islam. Sangat disesalkan bahwa eksperimen Rasulullah itu tidak berlanjut, karena pengkhianatan suku Yahudi terhadap Piagam Madinah. Akibatnya merebaklah semangat permusuhan antara umat Islam dan golongan Yahudi, mulai mengentalnya sikap eksklusif umat Islam, dan hilanglah semangat toleransi terhadap umat lain. Keanggotaan masyarakat atau kewarganegaraan negara Madinah menjadi milik eksklusif umat Islam. Bertolak dari kegagalan tersebut, dalam perkembangan sejarah lahirlah konsepsi klasik Islam tentang negara. 

Menurut konsepsi itu, dasar negara Islam adalah ideologi atau agama, dan bukan politik, wilayah atau kebangsaan. Titik sentral konsepsi politik Islam adalah ummah, komunitas yang para anggotanya dipersatukan oleh persamaan iman, yakni Islam. Secara eksternal negara Islam sama sekali terpisah dari komunitas lain bukan Islam. Dalam konsepsi itu negara Islam tidak mengenal tapal batas selain tapal batas yang memisahkan darul Islam, wilayah yang dihuni dan diperintah oleh umat Islam, dan darul harb, wilayah yang bukan dihuni dan diperintah umat Islam yang tidak bersahabat, atau darul sulh, wilayah yang dihuni dan diperintah umat bukan Islam tetapi antaranya dan darul Islam terdapat perjanjian persahabatan. 

Secara internal warga negara-negara Islam adalah ummah atau sekelompok manusia yang dipersatukan oleh agama. Dengan kata lain kewarganegaraan penuh Islam dimiliki oleh orang Islam, sedangkan orang bukan Islam yang hidup di negara tersebut mendapat status ahlu dzimmah, masyarakat yang dilindungi, yang mendapat kebebasan menganut agama aslinya tetapi tidak mempunyai hak-hak politik. Sebagai imbalan perlindungan negara atas mereka serta kebebasannya itu, kepada mereka dikenakan jizyah, semacam pajak. 

Semangat keadilan Islam

Sebenarnya, negara yang didasarkan atas ideologi dan agama itu tidak hanya negara Islam dalam konsepsi klasik di atas. Sampai abad XV Masehi konsepsi negara di Barat juga universal world state, atau negara dunia yang tidak mengenal batas wilayah atau etnis, dan meliputi berbagai bangsa dan suku dari dunia Kristen (Christendom). Pada abad pertengahan, peradaban Eropa ditentukan oleh agama Kristen. Baru pada akhir abad XVIII Masehi kesetiaan politik dan peradaban di sana mulai ditentukan oleh faktor lain: nasionalitas atau kebangsaan. 

Konsepsi klasik tentang negara tersebut tidak lagi relevan untuk peta politik dunia bangsa abad XX. Pada zaman modern ini hampir semua negara di dunia adalah negara-bangsa (nation-state) yang berdasarkan atas kebangsaan dan bukan atas agama. Banyak di antara negara-negara itu berpenduduk majemuk agama, salah satunya di Indonesia. 

Dalam kehidupan bernegara di dunia sekarang ini, khususnya di Indonesia, lebih tepat kita kembali ke pola yang diajarkan Rasulullah pada negara pertama yang didirikan umat Islam dengan Piagam Madinah sebagai konstitusi tertulisnya itu. Di situ semua warga negara terjamin haknya untuk mengamalkan agama yang mereka pilih, memiliki persamaan baik dalam hak maupun kebijakan kepada negara, tanpa perbedaan berdasarkan atas agama, dan hidup dalam semangat kebersamaan, saling berkonsultasi dalam masalah bersama dan saling menolong. Itulah yang dikehendaki Islam sesuai dengan wahyu-wahyu yang diterima Rasulullah sewaktu beliau di Mekah dan pada tahun-tahun pertama periode Madinah yang, menurut saya, mencerminkan hakikat asasi risalah Islam. 

Suatu ungkapan Arab menyatakan “Addinu lillah, wal wathanu liljami”. Agama untuk Allah, sedangkan tanah air milik bersamaa. Dengan demikian akan terbina kerukunan hidup antarumat beragama.

Penulis: Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, M.A. (1925-2004). Berkarier sebagai diplomat sebelum menjabat menteri agama (1983-1993). Setelah itu, lulusan Mambaul Ulum Solo ini menjadi ketua Komnas HAM sampai tahun 1998.  Karyanya antara lain Islam dan tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (1993). Sumber: Panji Masyarakat, 28 April 1997. 

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading