Ads
Bintang Zaman

Fazlur Rahman (1): Dari Filsafat ke Tema Al-Qur’an

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Dialah contoh pengaruh orientalisme Barat pada kesarjanaan Islam kontemporer. (Maryam Jameelah) 

Pada dirinya berkumpul ilmu seorang alim dan ilmu seorang orientalis yang paling beken. (Syafii Maarif). 

Kulitnya hitam kelam. Kacamatanya tebal. Ia menyampaikan pikirannya dengan lancar dan penuh percaya diri. Penguasaan materinya mengagumkan, memukau hadirin yang biasanya gaduh dalam banyak pertemuan sejenis itu. Bahasa Arabnya sangat fasih. Begitulah sosok Fazlur Rahman yang saya saksikan ketika mengikuti orasi ilmiahnya di IAIN Jakarta pada 1985. Waktu itu ia berkunjung ke sini untuk mengikuti seminar tentang kajian-kajian Islam yang ditaja (dipelopori) LIPI dan ia menjadi “bintang”-nya. 

Kekecewaan Kepada Filsafat

Rahman lahir pada 1919 di Pakistan Barat Laut. Keluarganya amat religius, penganut mazhab Hanafi, yang dikenal lebih rasionalis dibanding tiga mazhab lainnya. Ayahnya orang alim keluaran Deoband, lembaga pendidikan tinggi paling terkemuka di Indo-Pakistan saat itu. Selain dari madrasah, dari ayahnya inilah Rahman memperoleh pendidikan awalnya. “Ketika saya memasuki usia sepuluh,” katanya dalam sebuah otobiografi ringkas (1985), “saya sudah dapat membaca Al-Quran di luar kepala.” 

Ia memperoleh gelar master dalam bahasa Arab di Universitas Punjab pada 1942. Ketika ia hendak melanjutkan pendidikan tingginya ke Inggris, Abul Ala Al-Maududi, pemimpin organisasi Jamaat el-Islam yang dikenalnya dengan baik, berusaha menahannya. “Makin banyak engkau belajar, makin beku kemampuan-kemampuan praktismu,” katanya, seperti dikenang Rahman. 

Tetapi Rahman bergeming. Belakangan, sebagian besar pemikiran keduanya memang bertolak belakang, meski Rahman tetap hormat kepadanya. Ketika Al-Maududi wafat pada 1979, ia menyebut kepergian tokoh itu sebagai “kehilangan bagi Islam.” 

Di Universitas Oxford, sejak 1946, Rahman memperdalam filsafat. Ia memperoleh gelar doktor dengan disertasi suntingan atas naskah klasik Ibn Sina yang kemudian terbit dalam Avicenna’s Psychology (1952) dan Avicenna’s De Anima (1959). Ia lalu mengajar di Universitas Durham dan sempat  menulis dan menerbitkan Prophecy in Islam (1958), sebuah karya teknis seputar debat antara para filsuf dan teolog mengenai doktrin kenabian. 

Alhasil, dekade ke-5 adalah tahun-tahun Rahman sebagai sejarawan filsafat Islam. Dan ia punya peralatan lebih dari cukup untuk itu. Ia antara lain bisa mengakses sumber-sumber berbahasa Parsi, Inggris, Prancis, Jerman, Yunani, dan tentu saja Arab dan Urdu. Inilah yang antara lain membuatnya diundang menulis beberapa entri mengenai filsafat Islam dalam The Encyclopedia Britannica. 

Namun, kegelisahan karena filsafat pulalah yang mengubah jalan hidupnya. Persisnya, kekecewaan dia 

kepada para filsuf. Dalam otobiografinya, ia mengenang: “Secara intelektual, para filsuf benar-benar cerdas, memukau dengan argumen mereka yang ruwet. Tetapi tuhan mereka tetap merupakan suatu prinsip yang kekurangan darah—melulu konstruksi intelektual, tanpa daya dorong maupun imajinasi. Sementara itu, meskipun kurang terampil secara intelektual, para teolog Islam tradisional secara instinktif menyadari bahwa tuhan sebuah agama adalah tuhan yang “berdarah segar” (fullblooded), yang memberi respons terhadap doa, menuntun manusia baik secara individual maupun kolektif, dan terlibat dalam sejarah.” 

Kekecewaan itu bermula dari perseteruan laten antara dua dorongan yang saling menolak dalam dirinya: gairah aktivisme dakwah Islam (seperti dipompakan ayahnya) versus rigidisme pandangan dunia para filsuf (seperti ditemuinya dalam kesarjanaannya). Dalam perseteruan ini, Rahman memihak yang pertama. Seraya menjauh dari pandangan dunia para filsuf, ia berkeyakinan bahwa Al-Qur’an bukanlah sebuah risalah mengenai Tuhan. Baginya, tuhan Al-Qur’an bukanlah sesuatu untuk dibuktikan, melainkan “ditemukan”. Dan, tulisnya, “Meskipun Allah (Tuhan) dianggap penting dan disebut Al-Qur’an di lebih dari 2.500 tempat (belum lagi persamaan-persamaannya dalam bentuk nama-nama Ilahi), tujuan pokoknya adalah memberi tuntunan kepada manusia dalam menjalani hidup.” Dengan kata lain, tambahnya, “Tema Al-Qur’an, yang pertama dan terakhir, adalah perilaku manusia, individual maupun kolektif.” 

Penulis: lhsan Ali-Fauzi,   pemerhati pemikiran Islam. Pernah bekerja di LSPEU Indonesia, Jakarta, kini direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina. Sumber: Panji Masyarakat, 11 Agustus 1997

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda