Ads
Tafsir

Tafsir Tematik: Pergantian Kekuasaan (1)

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Ucapkan; “Allahumma, Pemilik Kerajaan, Kau berikan kerajaan kepada yang Kau hendaki, Kau cabut kerajaan dari yang Kau kehendaki. Kau muliakan yang Kau hendaki, Kau hinakan yang Kau hendaki. Di Tangan-Mulah kebaikan. Engkau, atas tiap-tiap apa saja, mahakuasa. Engkau masukkan malam ke dalam siang, Engkau masukkan siang ke dalam malam, Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Engkau beri rizki mereka yang Kau hendaki tanpa hitungan.”  (Q. 3: 26-27).

Betapapun,  peristiwa pergantian kerajaan, atau pemerintahan, adalah peristiwa penting. Itu termasuk hal yang dikesankan ayat-ayat di atas. Dalam konteks budaya lama, tak jarang bahkan pergantian itu dipercayai sebagai didahului tanda-tanda zaman yang mistis sifatnya, dan dibarengi dengan gejolak sosial atau bencana. Dalam tiga kali pergantian kekuasaan yang pertama di Indonesia (budaya lama), keguncangan besar dan perubahan drastis muncul di akhir era Soekarno, 1965—66, dan akhir era Soeharto, 1998—99.

Demikian pentingnya pergantian kekuasaan itu dalam perasaan orang, sehingga acap mereka baru waktu itu menyadari bahwa ternyata bisa terjadi. Dilihat dari jurusan itu ayat-ayat di atas lalu menjadi seperti pengingat-ingat. Pertama, bahwa segala sesuatu bisa berlaku berkat kuasa Allah. Kedua, bahwa perubahan sebenarnya hal yang ajek dan rutin. Pernyataan dalam ayat mengenai malam dan siang, dan seterusnya, menguatkan baik faktor kekuasaan Allah maupun sekaligus lingkaran keajekan itu.

Mengenai kekuasaan Allah, bisa diberikan dua contoh. Pertama, ketika demonstrasi besar-besaran mengguncang kursi Soeharto, presiden ini mengundang tokoh-tokoh dari berbagai kalangan— termasuk Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan kiai-kiai. Dinyatakan niatan Presiden untuk merombak kabinet dan membentuk komite reformasi. Waktu itu yang ada di kepala mereka, rupanya, reformasi harus digerakkan—di bawah Soeharto.

Tetapi Nurcholish dan satu-dua yang lain kemudian menyatakan tidak bersedia duduk dalam komite yang digagas itu. Sementara itu 17 menteri kabinet tiba-tiba juga menyatakan tidak bersedia duduk dalam komite yang digagas itu. Sementara itu 17 menteri kabinet tiba-tiba juga menyatakan mundur.  Itulah yang membuat Soeharto akhirnya berbulat hati lengser keprabon. Dan dengan cara seperti itu Habibie, sang wapres, tiba-tiba mendapat limpahan keprabon (“kerajaan”) dari sang senior.

Takdir Amien Rais

Contoh kedua mengenai Amien Rais. Begitu Habibie dilantik, se-orang anggota fraksi besar DPR/MPR menyatakan (lewat telepon) bahwa sebenarnya mereka lebih menginginkan sebuah presidium—dan disebutnya nama lima tokoh—yang akan memerintah 3-6 bulan, untuk menyiapkan pemilu dan pemilihan presiden berdasarkan perpu, peraturan pengganti undang-undang. Sayang, dikatakannya, usulan itu terlambat.

Tapi silakan bayangkan bahwa yang diinginkan fraksi itulah (kalau benar begitu) yang kemudian terjadi. Pemilu berlangsung tahun itu juga. Maka boleh saja orang mengkhayalkan kans paling besar untuk tampil sebagai presiden ke-4 RI ada pada Amien Rais Sebab tidak seorang pun, waktu itu, tokoh yang lebih terkenal  dibanding Amien. Paling-paling ia hanya bisa disaingi oleh Emil Salim, yang cukup populer sejak sebelum keberaniannya mencalonkan diri sebagai wakil presiden untuk Soeharto. Atau Rudini, yang tiba-tiba disadari sebagai ”tokoh dingin” dan banyak diwawancarai televisi. Di manakah Gus Dur? Belum terdengar suaranya di tengah massa. Apalagi Mega.

Amien, penyuara paling lantang reformasi, praktis berjalan di depan gelombang besar mahasiswa. Ia orang yang ditolak Soeharto untuk turut diundang dalam dua kali pertemuan yang sudah disebut. Ia jelas berseberangan dengan para undangan yang berpikir bahwa reformasi harus jalan tetapi di bawah Soeharto. Praktis gelombang besar orang menunggu komentarnya terhadap naiknya Habibie. Dan komentar itu baru datang esok harinya.

Ia menerima. “Biarlah kita beri kesempatan kepada Habibie,” katanya, “untuk memimpin sebuah pemerintahan transisi ….” Lalu ia menyebut jangka tiga atau enam bulan. Begitu. “Waktu itulah,” kata seorang wartawan Prancis belakangan, kepada penulis ini, ”Amien Rais berhenti sebagai reformis.”

Itu tidak benar, tentu saja. Tapi memang boleh orang kecewa. Boleh orang berpikir, coba dia menolak Habibie. Dan bersama dia, gelombang besar mahasiswa dan seluruh (harus dikatakan seluruh) kekuatan non-Islam (sebab yang Islam harus diakui lebih dekat ke Soeharto dan Habibie). Maka pergolakan akan berlanjut, demonstrasi akan kembali marak, sampai sebuah pemecahan besar ditempuh, mestinya dalam bentuk presidium. Revolusi? Apa boleh buat, kalau memang itu namanya—toh ini satu “revolusi tanpa darah”, meski jelas akan ditolak tokoh ”fikih konstitusi” sebangsa Yusril Ihza Mahendra. Yang jadi soal, mengapa Amien menerima Habibie?

Karena ia memang “bukan cithak presiden” —tidak dicetak untuk itu. Paling tidak untuk masa segera sesudah reformasi. Pada detik-detik ketika takdir kepresidenan menggantung-gantung di atas kepalanya, eh, ia malah menerima orang lain—dan jalan sejarah katakanlah berbelok, bagai pekik seorang pengawal, yang meneriaki Pangeran Hektor, menyebabkan Perang Troya dalam sejarah Yunani Lama, yang sudah dihalang-halangi agar tidak meletus, pada akhirnya meledak. Dalam hal Amien, ia justru ”dihalangi menjadi presiden. Dan penghalangnya, menurut jalan pikiran kita yang satu ini, adalah ICMI.

Benar, dua tokoh itu berseberangan: Habibie yang murid Soeharto (berkali-kali Amien sendiri mengingatkan ini) dan Amien yang musuh Soeharto. Tapi ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, organisasi yang dibentuk dengan restu Soeharto, tempat Amien akhirnya terdepak ke luar sebagai ketua Dewan Pakar, layaknya akibat tekanan Soeharto) adalah kubu, yang layak sekali bila pada seorang pribadi yang pejuang ormas seperti Amien (waktu itu masih ketua umum PP Muhammadiyah) menumbuhkan perasaan satu korps dengan Habibie. Paling tidak, ada rasa ”tak tega”.

Bersambung

Penulis: Syu’bah Asa (1943-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat, dan pemimpin redaksi majalah Panjimas.  Sebelumnya bekerja di majalah Tempo dan  Editor. Sastrawan yang pernah menjadi anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok ini sempat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Sumber: Panji Masyarakat, 10 November 1999.

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading