Rakyat kecil telah berjuang. Dan kita pun telah menyaksikannya di mana-mana. Jauh hari sebelum dunia ini dikerutkan ke dalam hanya sebuah sistem, peristiwa orang kecil yang menggeliat terhadap pijakan kaki kekuasaan telah tertulis dalam sejarah. Dan anehnya lagi hampir setiap sejarah pergolakan rakyat kecil melawan kekuasaan orang-orang besar selalu saja berdempetan dengan sejarah agama.
Maka Musa memimpin kaum lemah melawan Fir’aun. Isa diselimuti dengan kelembutan dan kebajikannya bangkit menentang kekuasaan Imperium Romawi yang ekspansif. Dan Muhammad, sang Rasul terakhir, mengikuti jejak pendahulunya. Dengan bekal firman Tuhan ia memimpin massa jelata merobohkan kekuasaan elite tradisional. Dan ia, bersama-sama dengan orang jelata itu, menang.
Kisah pergolakan rakyat kecil — yang berdempetan dengan sejarah agama — mungkin tidak terlalu menarik hati kita lagi. Dengan alasan sejarah — telah tertransformasikan dan dunia modern telah terlanjur menjulur ke luar. dunia seakan-akan telah mengesampingkan agama sebagai motor penggerak perlawanan terhadap kesewenangan. Dan kisah agama yang senantiasa menyandung kekuatan gugah bagi mereka yang terinjak seakan-akan punah tertelan masa.
Dunia memang kemudian dikejutkan oleh berbagai pergolakan massa yang menderita. Dan ideologi — setidak-tidaknya isme yang diangkat dan kenyataan empiris — telah menggantikan peran yang dahulu dimiliki oleh agama. Dari revolusi Prancis, revolusi Bolshewik Rusia, sampai pada berbagai revolusi-revolusi yang terjadi di beberapa tempat di Asia seperti Cina atau Vietnam — seperti agama di masa lampau — senantiasa berdempetan dengan sejarah ideologi. Apa pun bentuknya. Dan seperti juga gerakan-gerakan yang digugah oleh agama, ideologi ini meletakkan massa rakyat sebagai aktor dari setiap gerakan mereka. Di Cina petani-petani, yang terhempas ke bawah akibat tekanan kaum tuan tanah, menjadi aktor sejarah revolusi yang paling utama. Tapi kita juga melihat pemandangan yang sama di Vietnam Kamboja atau di beberapa tempat kawasan Amerika Latin.
Namun, justru di alam modern ini kita tetap tidak bisa segera memicingkan mata akan peranan agama dalam membudidayakan perlawanan massa jelata. Ideologi memang telah muncul. Bahkan dalam konteks gerakan, ideologi telah mengambil sebagian dari tanah garapan agama: sang rakyat jelata. Toh Iran menunjukkan kenyataan lain. Di negeri ini Islam bangkit melawan rezim yang telah ditransnasionalisasikan. Dan kita tidak bisa melihat perkembangan kekuasaan di Filipina dengan rasa besar hati, tanpa nafas agama yang menyertai gerakan massa. Keruntuhan Marcos — yang dilawan oleh kekuatan agama — hanya beberapa tahun saja setelah perlawanan angan Katolik yang heroik melawan komunisme di Polandia.
Dalam konteks kesejajaran perlawanan rakyat dengan semangat keagamaan inilah kita membagi penghayatan yang proporsional dengan apa yang sedang berlangsung di Afghanistan. Sebuah pertarungan habis-habisan antara penguasa komunis — ideologi yang mengklaim dirinya sebagai pengganti agama dengan kekuatan jelata atas nafas agama. Dan Islam berdiri tegak membentengi.
Dalam konteks penghayatan yang semacam ini, kita memang tidak perlu bicara siapa yang menang atau siapa yang bakal kalah. Sang jelata, seperti terlihat dalam sejarah, bisa menang. Tapi juga tidak selalu harus menang. Dan sang penguasa, konsisten dengan alur sejarah, tidak pernah bisa sempurna mempertahankan kekuasaannya. Sang jelata, sang penguasa, selalu harus naik dan turun. Gelombang masa punya kekuatan dahsyat untuk menghempas. Tapi agama, tetap saja berkobar memberi semangat. Dan perlawanan rakyat Afghanistan, mungkin merupakan contoh yang telak dari kobaran api perlawanan yang didukung Islam.
Kobaran api yang kita percaya. hampir tak pernah padam.

Fachry Ali, pengamat politik. Sosial dan budaya. Sumber: Panji Masyarakat, 1 Januari 1987