Ads
Aktualita

Mengamati Munculnya Gagasan Menyimpang dari Keahlian

Avatar photo
Ditulis oleh Arfendi Arif

Dalam beberapa waktu terakhir ini masyarakat diramaikan dengan perbincangan  hal yang kontroversial. Salah satunya adalah masalah agama. Seorang tokoh yang menjabat dunia militer berkomentar tentang Tuhan dan agama. Pernyataannya memberikan kejutan dengan mengatakan semua agama benar di mata Tuhan dan tuhan bukan orang Arab. Pernyataannya menimbulkan kecaman dari tokoh masyarakat.

Kedua, ada seorang akademisi yang juga  membuat resah dengan mengatakan tidak ada perintah shalat lima waktu dalam Al-Quran. Sebuah masalah yang sebenarnya tidak perlu diungkit-diungkit dan  sudah  berjalan baik saja, kenapa harus dicari-cari yang akhirnya menimbulkan kegaduhan pula.

Ketiga, ada seorang yang disebut romo, sebuah atribut yang terhormat harus pula ikut bikin panas dalam masyarakat karena menuding MUI dengan sebutan jangan menjadi sarang  kelompok radikal. Pernyataan “lompat pagar”  tokoh Katolik ini menimbulkan antipati masyarakat karena mencampuri yang bukan urusannya. Padahal, selain tokoh agama ia juga duduk di BPIP yang seharusnya bersikap bijaksana, santun dan mengayomi, dan memelihara hubungan baik antarumat beragama.

Fenomena yang tersirat dari discourse atau pembicaraan publik  di atas adalah mengapa seseorang yang bukan bidangnya menyoroti materi di luar yang dikuasainya. Hal ini menjadi sebuah gejala atau katakanlah kebiasaan baru yang seharusnya tidak terjadi dan kurang sehat. Sebab, yang timbul di masyarakat kemudian adalah penafsiran yang macam-macam dan malah bisa menyesatkan  banyak orang. Apalagi, kalau hal itu menyangkut keyakinan beragama, dan terkait pula dengan masalah yang fundamental dan krusial seperti masalah ibadah, hal yang menyangkut teologis (kepercayaan pada Tuhan), dan juga berdampak pada hubungan dan keharmonisan antar umat beragama (toleransi).  Disinilah pentingnya seorang berbicara atas dasar keahlian dan mumpuni keilmuannya, dan tidak memasuki wilayah di luar kompetensinya. Plus, di disini perlu pula  unsur sensitivitas atau kepekaan tidak menyinggung antar keyakinan agama lain yang sekiranya akan menimbulkan kerawanan, gejolak dan ketersinggungan dalam sebuah negara yang multi kultural dan agama.

Selanjutnya pada satu sisi penting pula diingatkan bahwa seorang ilmuan harusnya menciptakan pencerahan dan membangun  hubungan yang baik dalam masyarakat. Dalam arti keilmuan yang dimilikinya sejatinya harus berkontribusi untuk menciptakan iklim kehidupan yang baik, bukan berkontribusi menimbulkan kegaduhan. Dalam konteks sekarang ini bisa kita lihat, terutama dalam era digital dan internet, media sosial telah menjadi ajang polemik dan perseteruan di antara pihak yang pro dan kontra dalam menanggapi berbagai masalah kehidupan sosial, politik, agama, hukum dan lainnya. Dan, pro kontra itu sudah melibatkan masyarakat dan terkadang berlangsung cukup tajam dan tidak sehat.

Situasi dan iklim yang tidak kondusif ini seharusnya menjadi pelajaran bagi para elit,  baik itu elit pejabat naupun elit intelektual dan akademisi untuk tidak ikut menambah kekisruhan sosial dan disintegasi yang ada di masyarakat. Seharusnya mereka ini berkontribusi untuk menciptakan keharmonisan dan integrasi  sosial. Dengan mumpuni ilmu bisa memberikan pencerahan kepada masyarakat. Suatu keanehan misalnya  jika seorang yang pakar di bidang komunikasi  mengekspresikan pemikiran dan gagasannya tidak  membangun komunikasi yang baik di masyarakat. Padahal, seharusnya  melemparkan gagasan yang justeru melahirkan situasi menjadi jernih, nyaman dan aman. Sebab, itulah fungsi dan kegunaan ilmu komunikasi yang dipelajarinya yaitu untuk membangun kenyamanan dan kerukunan,  bukan untuk menciptakan kekisruhan dan kebingungan dalam masyarakat.  Tentu tidak mungkin ilmu komunikasi yang dipelajarinya untuk menciptakan ketegangan sosial.

Saat ini tampaknya kita tidak bisa menafikan bahwa gagasan dan pendapat yang ditampilkan di publik memberikan efek, bukan saja mempengaruhi opini publik, tetapi juga memberikan efek politik, kekuasaan dan juga karir.

Pernyataan yang dilontarkan dan disampaikan ke tengah publik dalam nenyikapi berbagai masalah,  baik menyangkut kebijakan pemerintah maupun persoalan yang muncul dalam masyarakat baik oleh elit intelektual, politisi, pegiat sosial dan lainnya bukanlah  ide yang dilontarkan di ruang hampa. Gagasan, ide, pendapat dan pemikiran itu akan ada pihak yang menilai.  Dari sini  tentu akan diketahui bahwa mereka bisa dinilai sepaham atau segaris, dan kemungkinan bisa diajak bergabung untuk membantu dan mengisi jika ada pos-pos yang membutuhkan personil dan jabatan.

Hemat saya tidak bisa dinafikan bahwa munculnya gagasan kontroversial di masyarakat yang terkadang menyalahi atau tidak sesuai dengan  keahlian dan profesi seseorang, dipengaruhi oleh unsur politik sebagai bagian dari promosi diri untuk bisa terekrut ke dalam lingkaran kekuasaan dan birokrasi,  upaya kemungkinan mendapatkan jabatan tertentu. Inilah barangkali yang  menimbulkan fenomena kegaduhan lahirnya ide  dan pemikiran yang menyimpang dari keahlian seseorang. Apakah ini bisa dikatakan bahwa ilmuan tidak lagi netral dan objektif. Benarkah mereka telah menjadi intelektual tukang, seperti disinyalir Gus Dur. Masyarakat pasti punya jawaban dan penilaian.

Tentang Penulis

Avatar photo

Arfendi Arif

Penulis lepas, pernah bekerja sebagai redaktur Panji Masyarakat, tinggal di Tangerang Selatan, Banten

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading